Chapter 47: Antara Uang dan Cinta

1009 Words
"Kalau gitu, Chesa permisi, Om. Maaf mengganggu waktunya, Om." ia tersenyum. Pandu membalas senyuman itu. Sesampainya di kamar lagi, Chesa menutup pintu rapat-rapat. Tubuhnya merosot ke bawah begitu ia sudah menutup pintu. Chesa bingung. Haruskah ia bersikap egois untuk kebahagiaan nya sendiri? Ia sungguh bingung. Apa yang harus ia lakukan untuk ke depannya. Rumah besar ini bukan miliknya ataupun sang ibu sebab Chesa tahu, Hana tak akan membiarkannya tinggal dengan tenang di sini. Sedangkan sekolah? Chesa berharap, ia tidak dikeluarkan dari sana. Kedua mata Chesa mendadak terpusat pada laci yang dia belum buka sama sekali sejak ia menginjakkan kaki di rumah ini. Chesa membuka laci yang sukses menarik perhatiannya. Ada sebuah bingkai foto dengan posisi telungkup. Chesa membaliknya. Seketika ia terkejut melihat Hana dengan wanita yang ia tidak kenal. Namun, Chesa yakin wanita itu adalah ibu kandung Hana. Keduanya memakai baju couple berwarna merah. Mereka sama-sama Cantik. Chesa sadar, Hana lebih mirip mendiang ibu kandungnya. "Kamu liatin apa?" Rumaisa merebut foto yang digenggam oleh Chesa. Chesa tersentak. Sejak kapan ibunya ini bisa masuk? Ia merutuki dirinya sendiri usai menyadari kalau pintunya tidak dikunci. Rumaisa benci sosok yang ada di sebelah Hana. Tentu saja dia kenal sosok itu. Leyna, teman sekolah masa SMA-nya. Leyna tidak pernah absen untuk membully dirinya. Dia dan wanita itu juga tidak jarang bertengkar setiap hari. Sampai akhirnya, Rumaisa difitnah dan dikeluarkan dari sekolah. Marah? Jelas. Sampai sekarang ia masih membenci Leyna walau kejadian itu sudah lewat. Dengan kasar, Rumaisa membanting foto yang dilapisi oleh bingkai itu hingga pecah. "Mama?!" ucap Chesa terkejut. Ia bertekuk lutut untuk mengambil foto itu. "Mama kenapa sih? Kasihan. Fotonya kan jadi--" ucapannya terpotong tepat ketika kaki Rumaisa menginjak foto tersebut. Ia perlahan mendongak. Wajah ibunya terlihat begitu marah sekali. "Jangan kamu ambil foto itu! Biarlah jika rusak." ujar Rumaisa. Chesa heran. "Mama kenapa?" "Sebaiknya kamu bakar saja foto itu." "Tapi, Ma--" "Kamu gak nurutin perkataan Mama? Oh, kamu mau jadi anak pembangkang, ya?" Rumaisa memotong. "Enggak. Bukan gitu. Gimana kalau Hana nyariin foto ini? Foto ini pasti berharga banget bagi dia, Ma. Sama kaya aku, aku enggak mau siapapun ngerusak foto aku sama ayah. Nggak, Ma. Aku bakal simpen foto ini." Chesa mengambil foto tersebut dan memeluknya untuk melindungi. Rumaisa geram. "Apa kamu mau Ayah baru kamu inget masa lalunya terus enggak menyukai Mama lagi? Kamu mau kita hidup miskin lagi?!" ia berbisik ketika mengatakan itu. Akan bahaya jika Pandu sampai mendengarnya. "Jadi Mama nikahin Om Pandu cuma karena ha--" "Bukan sepenuhnya benar. Mama juga ada rasa cinta. Di kehidupan, semua orang butuh yang namanya uang dan tidak bisa mengandalkan cinta, cinta dan cinta. Mama imbang, bukan tentang uang melulu." jeda. "Kamu bisa membuang foto itu ke tong sampah atau sembunyikan di mana pun itu. Jangan sampai ayah baru kamu melihatnya." ia berjalan keluar kamar. "Tapi enggak semuanya bisa dibeli dengan uang, Ma." ucap Chesa. Rumaisa tak memedulikan dan tetap melanjutkan langkah keluar. **** Chesa masuk ke gerbang dengan raut tidak semangat. Dari semalam, ia tak tidur karena memikirkan pernikahan ibunya terus. Haruskah ia bertanya pada Hana supaya rasa penasarannya mendapat jawaban? Namun, tidak ada salahnya, kan, untuk mencoba. "Hana!" Chesa berteriak, memanggil sosok di depannya. Hana menengok dengan mata memicing. "Apa?!" "Kita bicara, tapi jangan di sini." "Gak. Gue gak ada waktu." Hana melengos pergi ke kelas. Chesa berlari menghampiri dan berhenti tepat di hadapan Hana. "Ini penting." "Halah. Gak percaya gue. Minggir lo!" Hana mendorong Chesa ke samping menggunakan jari telunjuknya. "Han, sekali ini aja. Gue mau ngomongin sesuatu yang penting." Chesa terpaksa mencegah Hana dengan cara memegang lengan gadis itu. Hana spontan memberontak. "Ih! Apaan sih lo?! Jangan pegang-pegang tangan gue!" Chesa tersentak. Ia mundur beberapa langkah. "Ini tentang ayah kamu, Han. Dan juga tentang calon ibu tiri kamu." Hana terhenti. Ia bingung, kedua matanya bergerak ke sana kemari tanpa Chesa ketahui. "Bodoamat." hanya itu lah kata yang terakhir Hana ucapkan. Chesa berusaha menghentikan, tapi sudahlah. Hana sudah pasti tidak mau mendengarnya. Ia ingat perkataannya waktu itu saat di depan Raka. Biarlah Hana mengetahui sendiri. "Masuk dong. Kenapa berdiri aja?" Gio muncul dari belakang. **** "Ikut ibu. Ganti baju sekarang. Jangan lama-lama." ujar Rumaisa usai membuka pintu untuk Chesa. Chesa yang masih merasa lelah, langsung mengerutkan dahi. "Ada apa, Ma?" "Beli gaun pernikahan." Chesa tidak begitu terkejut, namun Hana... melintas di pikirannya. "Ma, tunggu." Rumaisa berdeham dengan nada seperti bertanya. "Apa anak kandung Om Pandu udah tau tentang pernikahan ini? Kok dia enggak pernah kelihatan ke rumah ini, Ma? Bahkan waktu pertunangan pun dia nggak datang." Chesa menjelaskan. "Dia tahu. Lagian, jika anak itu tidak tahu, dia akan tau dengan sendirinya. Tapi yang jelas, Mama sudah kasih tau dia tentang pernikahan ini. Kamu kenapa ngurusin dia? Harusnya kamu tidak perlu ikut campur. Cukup turutin aja perkataan dan permintaan Mama. Sudah. Kamu mau ikut tidak?" Chesa kecewa dengan respons sang ibu. Rumaisa tidak sepemikiran dengannya. "Tungguin Chesa, Ma." Ia berjalan ke kamarnya. Rumaisa memijit kening. Ada rasa takut ketika ia mengingat putri kandung dari calon suaminya. Rumaisa cemas, Hana tidak akan merestui pernikahan ini. Jika iya, tamatlah sudah riwayatnya. Rumaisa tak sanggup bekerja keras dalam keadaan hamil saat ini. Chesa mendatangi Rumaisa dengan pakaian sangat sederhana. Kausnya berwarna biru tua tanpa motif sama sekali alias polos, sedangkan untuk celana juga polos, namun berwarna hitam. Rumaisa geleng-geleng kepala. "Kamu pikir, kita mau ke pasar? Apa kata dunia kalau seorang anak pengusaha sukses, tapi pakaiannya sangat biasa? Kita ini sudah naik kasta. Cepat, ganti sekarang." ujar Rumaisa tegas. "Tapi mana pakaiannya, Ma? Bukannya selama ini kita cuma punya pakaian polos, Ma?" "Otak kamu digunakan, Chesa." Rumaisa berdiri. Ia menarik langkah, Chesa mulai mengikutinya. "Kamu, kan, memakai kamar bekas Hana termasuk lemari. Seharusnya kamu pakai baju yang ada di dalam lemari itu." setelah sampai di dalam, Rumaisa membuka lemari yang ukurannya lumayan besar. Chesa tahu hal itu, namun ia tidak mau memakai sesuatu yang masih menjadi milik Hana. "Aku enggak mau, Ma. Mending aku pakai baju ini aja." tolak Chesa. Rumaisa berhenti memilih pakaiannya. "Apa kamu bilang? Gak mau? Kamu mau bikin Mama dan ayah kamu malu?" sungut Rumaisa mulai kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD