Chapter 48: Menambah Rasa Benci

1025 Words
Bukan, Ma." "Terus apa? Mau kamu apa, sih? Hidup kita udah jauh lebih baik dari masa lalu. Kamu mau balik ke masa lalu, hah? Kalau kamu enggak bersedia pakai pakaian Hana, jangan akui saya sebagai Ibu kamu jika ditanya orang nanti dan juga saya akan bilang, kalo kamu itu pembantu." "Apa? Kenapa Mama tega bilang kaya gitu?" jelas, Chesa sakit hati. "Habisnya kamu tidak menurut. Kasar atau baiknya sikap Ibu, tergantung kamu patuh atau tidak." Rumaisa menjeda. "Sekarang silahkan pilih. Pakai pakaian Hana atau Ibu akan nganggap kamu sebagai pembantu di depan orang lain." lengannya bersilang di d**a. Chesa mengigit bibir bawah. Ia bimbang. Ketakutannya saat ia bertemu Hana. Bisa jadi kan? Ia dan Hana masih satu kota. Satu daerah. Chesa yakin akan hal itu walau ia sendiri tidak tahu di mana Hana tinggal sekarang. Chesa memejamkan mata rapat-rapat. "Aku mau." "Nah, bagus." Rumaisa kembali mengacak-ngacak lemari. Seketika kedua matanya tertuju pada sebuah busana berwarna kulit dengan motif kotak-kotak hitam di garisnya. "Ini. Sepertinya cocok." ia menyerahkannya pada Chesa. Dengan berat hati, Chesa menerimanya. Ia melangkah ke kamar mandi untuk mengganti baju. Selang 5 menit, ia keluar. Bibir tipisnya tak menyunggingkan senyum sama sekali seolah ia tidak menyukai pakaian yang kini telah ia pakai. Rumaisa memandang dari bawah sampai atas. Ia akui, putrinya ini cantik. Ya, meskipun mirip dengan suami pertamanya. *** Mereka berdua baru saja keluar dari sebuah butik setelah selesai membeli gaun pengantin. Memakan waktu cukup lama sebab Rumaisa harus melakukan video call dengan calon suaminya untuk meminta pendapat, mana gaun yang pas atau tidak. "Langsung ke mall saja. Jangan pulang dulu." titah Rumaisa pada sang supir. "Mama kenapa mau ke mall? Bukannya Om Pandu nyuruh kita langsung pulang, Ma?" "Diam. Ada sesuatu yang ingin Mama beli di sana." jawab Rumaisa lirih karena takut didengar oleh supir di depannya. *** "Ish! Acara TV enggak ada yang gue suka. Dikit-dikit iklan. Sebel gue." Hana membanting remote televisi yang sejak tadi dia genggam. "Remote rusak, lo yang harus beli, ya!" tegur Keisha--sedang memasak di dapur sana. "Lo ikut gak?" tanya Hana mendadak. Keisha mengernyit. Ia meletakkan spatula di meja dekat kompor, lantas menghampiri Hana. "Kemana?" "Mall. Biasa. Belanja. Uang transferan Ayah gue masih banyak. Daripada enggak dipake, mending dihabisin aja." "Kalo semuanya lo yang bayar, gue bakal ikut." ucap Keisha. "Gue ngajak lo, itu artinya gue bersedia traktir lo. Gimana sih." Hana kesal menjelaskannya. "Oke deh. Gue siap-siap sekarang." *** "Ma, jangan berlebihan." "Bukannya Mama udah punya barang itu?" "Kenapa beli lagi?" "Nanti kalau Om Pandu marah karena tagihannya banyak gimana?" "Ma, stop." Rumaisa mendengus kesal. Ia meletakkan barang yang ia genggam ke keranjang secara kasar. "Justru kamu yang stop! Mulut kamu seharusnya stop berbicara! Kamu tidak sopan, ya." "Aku takut Mama dimarahin Om Pandu karena belanja terlalu banyak. Maaf kalau aku udah lancang." "Ayah kamu itu tidak akan marah. Kenapa kamu masih memanggil 'om'? Dasar anak tidak sopan." "Aku belum bisa. Jangan paksa Chesa buat manggil kaya gitu, Mah." "Kalau kamu tidak dipaksa, kamu kapan berubahnya? Setelah pernikahan Mama selesai dilaksanakan nanti, otomatis Pandu akan menjadi ayah kamu." Rumaisa membuang nafas kasar. Ia sepertinya harus menggunakan kesabaran lebih banyak jika sedang berbicara dengan anaknya ini. Mendadak seseorang mendorong Rumaisa dari belakang. Chesa refleks menahan tubuh ibunya agar perut ibunya tak membentur sisi keranjang yang terbuat dari besi itu. Rumaisa menghela nafas lega. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika perut nya menabrak keranjang. "Anda---Hana?" Terkejut. Baik Chesa maupun Rumaisa, mereka sama-sama tercengang melihat Hana di dekat mereka. "Eh, maaf, Tante." ujar Hana begitu sopan dan lembut. "Han, lo dari mana aja, sih? Gue cariin enggak ada terus. Loh, ada pembantu lo sama pa--" Hana segera membekap mulut Keisha yang hampir saja mengucapkan sesuatu. "Kenalin, Tan. Ini Keisha. Keisha, ini Tante Rumaisa." Hana memperkenalkan. Keisha dan Rumaisa saling berjabat tangan. Keisha buru-buru melepaskan jabatan telapak tangan itu dengan ekspresi jijik di wajahnya. Rumaisa berusaha berpikiran positif. Sedangkan Chesa ketakutan setengah mati. Hana ada di hadapannya. Kira-kira Hana menyadari atau tidak kalau ia memakai pakaiannya. "Sekali lagi, maaf, ya, Tante. Hana tadi benar-benar gak sengaja." ujar Hana. Mata Keisha hampir keluar selepas mendengar ucapan Hana barusan. Sahabatnya itu sangat pintar sekali dalam ber-akting. "Tidak apa-apa." Rumaisa membalas dengan nada ramah. "Chesa?" Hana tiba-tiba memeluk Chesa singkat. "Lo kok enggak bilang-bilang kalau mau ke mall? Gak ngajak gue lagi." Chesa mengangguk. Sifat Hana seperti bunglon, bisa berubah kapan saja sesuai keadaan. Chesa paham sekali kalau sekarang Hana sedang berpura-pura. "Kalian sudah akrab dan saling mengenal satu sama lain ternyata. Saya lega. Semoga kalian tidak bertengkar setelah menjadi saudara nanti." "Tentu dong, Tan. Aku sama Chesa akrab kok. Bahkan sahabatan juga sejak masuk SMA." Hana menerangkan. Keisha melongo. Apa tadi kata pembantu itu? Saudara? Demi Tuhan! Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi sekarang di depannya! "Tante, aku boleh bawa Chesa enggak? Kita bertiga mau makan bareng." lanjut Hana bertanya. "Boleh sekali. Kalian jaga diri baik-baik, ya." Rumaisa melemparkan senyum. Hana membalas senyum juga, tetapi terkesan palsu dan dipaksakan. Rumaisa mulai mendorong keranjangnya, menjauh dari Hana, Chesa dan juga Keisha tanpa rasa curiga sedikitpun. Hana memberi tatapan tajam dan penuh peringatan. "Baju pemberian ibu gue, kenapa lo pake?!" ia berbicara lirih, tapi penuh penekanan di setiap katanya. Hana geram. Sangat! Ia tidak rela, apa yang menjadi miliknya direbut orang lain. Pakaian itu bukan pakaian biasa. Ada moment spesial di baliknya. Masa itu, ia sangat senang diberi pakaian oleh sang ibu, Leyna. Hana janji, tidak akan membiarkan siapapun memakai bajunya. Namun, lihat sekarang! Hana melangkah maju, kuku-kuku yang cantik sekaligus tajam mencengkram kulit lengan Chesa. "Gue benci sama lo, Chesa. Lo udah rebut Raka dan sekarang, lo rebut baju dari ibu kandung gue. Gue gak akan lepasin lo begitu aja. Gue akan buat lo dan ibu elo yang kampungan itu menderita! Gue jamin! Omongan gue nggak main-main." ia menekan kuku-kuku nya lebih dalam sampai-sampai tangan Chesa berdarah. "Ampun, Han." rintih Chesa. Hana menggila. Ia semakin menekan kuat, kemudian membuat cakaran di sana. Chesa lengang saat Hana melepaskannya. "Cabut!" ujar Hana pada Keisha. Keisha menurut. Ia melirik Chesa sekilas, lantas memasang ekspresi meremehkan. Chesa menghembuskan nafas perlahan. Ia meniup-niupi luka di lengannya berulang kali, berharap rasa perihnya berkurang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD