Chapter 49: Chesa POV

1594 Words
Aku duduk di depan mall. Tidak peduli jika pakaianku kotor. Yang terpenting sekarang adalah luka cakaran di lenganku. Rasanya amat perih. Bahkan sampai mengeluarkan daaaarah. Mulutku meniup-niup luka itu dan sesekali aku mengelap darah menggunakan punggung tanganku yang satunya. Aku menengok ke sana kemari dan melihat sebuah angkutan umum. Ingin aku pulang ke rumah, tapi saat aku merogoh saku, hasilnya kosong. Tidak ada satu lembar uang sama sekali. Aku menyesal tidak meminta uang pada Ibu sebelum ibu pergi. Aku hanya bisa menghela nafas. Tiba-tiba... Pandanganku menjadi gelap. Ada dua telapak tangan yang menutup kedua mataku. Aku takut. Bagaimana jika di belakangnya ini orang jahat? Aku membuang pikiran negatif di kepalaku. Indra penciumanku mendengus, menghirup udara di sekitarku. Aku harap mencium bau parfum yang biasa Raka gunakan. Namun, nyatanya tidak. "Siapa lo?!" "Lepas!" "Lo jangan main-main sama gue, ya!" Chesa mencubit keras punggung tangan orang asing itu. Semoga saja dirinya selamat! Ia masih muda dan tidak mau meninggal terlebih dahulu! Sepahit dan se menyakitkan apapun hidupnya, Chesa tidak pernah berpikir untuk mati. Terdengar suara cowok mengaduh. Sepertinya Chesa kenal suara itu. Ia menoleh cepat. Gio. Chesa mendesau lega. "Kalo dateng bilang kek. Jangan diem aja." aku menegur. "Niatnya gue mau surprise, tapi respons lo malah berlebihan." Dia duduk beralih duduk di sampingmu. Aku memandang wajahnya. Aku baru menyadari betapa mancungnya hidung dia. Gio sekarang menengok, menatapku. Matanya lumayan sipit. Mungkin dia keturunan Tionghoa. "Jadi lo sendirian gitu di sini? Udah mau malam, Sa. Dan juga banyak cowok yang ngeliatin lo dari tadi." "Iyakah?" jujur, aku tidak peduli dengan sekitar. Biarlah mereka memerhatikan ku. Jika ada yang berani berbuat macam-macam barulah aku bertindak. "Ye. Dari tadi lo kelihatan kaya orang sibuk." ucapnya. Kedua mata Gio melihat ke lenganku. "Tangan lo kenapa, Sa?" aku terkesiap saat dia meraih lenganku. "Ini... Tadi gue dicakar kucing." "Kucing? Di mana? Di dalam mall-nya?" "Di rumah, Gi." jawabku. "Tapi gue gak pernah liat kucing di rumah lo." "Karena dia lagi di kandang." ya, lagi dan lagi aku berbohong untuk menutupi perilaku buruk Hana. Biarlah terbongkar sendiri nantinya. "Lo ke sini sendirian, Sa? Apa ada orang yang ikut?" Gio bertanya. "Gue sendirian, Gi. Ini lagi tunggu jemputan supir." Aku mendengar bunyi lonceng dari gereja di sebrang jalan sana. Gio tiba-tiba berdiri. Kepalaku mendongak. Pertanyaan mulai memenuhi pemikiranku. "Sa, gue pamit dulu." ujar Gio. Aku mengerutkan kening. "Lo mau pulang?" "Enggak. Gue bakal misa harian di gereja." Barusan aku tidak salah dengar kan? Mengapa selama ini aku tidak mengetahuinya? Bagiku, hal itu tidak menjadi tembok besar dan menghalangi hubungan pertemanan ku dengan Gio. Aku bisa menerima perbedaan ini. "Kaget, ya? Maaf gue gak kasih tau lo." ujarnya. Aku mengibaskan tangan, berusaha membuat dia supaya tenang. "Enggak kok." "Supir lo masih lama datangnya kan? Kalau mau, lo bisa ikut gue ke gereja, tapi lo duduk di depannya. Jangan masuk." jelas Gio. Perkataan nya itu ada benarnya juga. Hari sudah menjelang malam, di depan mall kebanyakan laki-laki. Aku jadi takut sendiri. "Iya." jawabku singkat. Gio mulai melangkah, aku mengikuti dari belakang. Sampainya di depan tempat ibadah itu, aku duduk. Banyak orang yang menyapaku. Aku balas menyapa. "Gue tinggal sendiri. Enggak apa-apa?" tanya Gio memastikan padaku. Aku mengangguk. "Gakpapa." "Gue pamit." Gio mulai menjauh sambil melambaikan tangan. Aku balas melambai. "Tidak masuk?" Aku melengak melihat seorang perempuan tersenyum padaku. Kalung salib emas silver nya menggantung di leher. Aku perlahan menggeleng. "Tidak. Saya Non.." "Salam toleransi." ucap perempuan itu, kemudian melenggang pergi. Beberapa jam aku menunggu. Aku lihat, seisi gereja keluar termasuk Gio dan seorang perempuan. Aku menyipitkan mata. Perasaan tadi Gio sendirian, mengapa sekarang malah bersama wanita? Aku bisa melihat wajah mereka hampir mirip. Pikiranku menebak kalau wanita itu adalah kakak atau tidak adik Gio. Mereka berdua menghampiriku. "Hai," perempuan yang berdiri di samping Gio menyapaku sambil melambaikan tangan. "H--hai," aku sedikit gugup membalasnya. "Nama kamu Chesa, ya?" "Iya, Kak." aku memanggilnya 'kakak' karena dia kelihatan tua. Sungguh, aku tidak tahu siapa dia. Dia mengulurkan tangan, aku menjabatnya. "Ilona Mauretta, " ucapnya. Oh, jadi namanya Ilona. Aku tersenyum. Dia pun balas senyum. "Ini Kakak gue, Sa." Gio menimpali. "Salam kenal," kataku. "Supir lo belum datang juga?" Gio bertanya. "Belum, Gi." "Mau Kakak anterin pulang gimana?" kali ini, Ilona yang bertanya. "Gak perlu, Kak. Paling sebentar lagi datang." tolak ku secara halus. "Mau aja, Sa. Udah gelap gini. Bahaya buat cewek kalau sendiri. Nanti kakak gue bakal nganter lo sampai ke rumah lo kok." Gio angkat bicara. Aku jadi bimbang sendiri. Aku menengok ke kanan ke kiri. Sampai akhirnya aku menjawab, "iya. Gue mau." "Bagus. Ayo," Ilona mulai berjalan ke arah parkiran yang ada di sebelah gereja. Aku mengikutinya begitupun Gio. "Nunggu lama, ya?" Gio bertanya padaku. "Lumayan." "Tadi gak ada yang gangguin lo, kan?" "Enggak ada kok." aku akui, Gio sangat peduli padaku. Aku masuk ke dalam mobil disusul oleh Gio setelah Ilona membukakan pintu mobil. Di sepanjang perjalanan, Kak Ilona terus menanyaiku dengan berbagai pertanyaan. Kak Ilona menanyakan bagaimana aku sekolah, siapa temanku, pelajaran apa yang aku sukai, apa cita-citaku, dan masih banyak lagi. Akan panjang jika diceritakan mereka. Tanpa sadar, aku melihat rumah Om Pandu sudah di depan mata. "Kak, berhenti." aku memberi intruksi. Kak Ilona menghentikan mobilnya. Aku membuka pintu, bersiap-siap untuk turun. Sebelum pergi, aku melambaikan tangan. Sampai akhirnya mobil mereka benar-benar pergi. Aku melangkahkan kaki, masuk ke dalam rumah. Aku disambut tatapan senang oleh ibuku. Ibu tiba-tiba memelukku. Ada apa ini? "Mama tidak menyangka ternyata kamu akrab sama Hana." ujar ibuku. Aku diam saja, tidak membalas pelukan. "Kamu pulang diantar siapa? Kenapa tidak ajak temenmu mampir ke sini?" "Diantar temen, Ma. Dia gak mau mampir." jawabku berbohong. Ya, tadi aku tidak sempat menawarkan kak Ilona dan Gio untuk singgah. "Hana bagaimana? Anak itu sudah pulang dengan aman?" Pertanyaan Ibu membuatku terpaksa untuk berbohong lagi. Boro-boro aku melihat bagaimana Hana pulang. Dia saja langsung pergi setelah melukai lenganku. "Aman, Ma." jawabku. "Bagus." "Kamu mandi dulu gih terus tidur." perintah ibuku. Hari ini kenapa ibu begitu perhatian sekali ya? Aku melangkahkan kali ke kamar. Begitu sampai, di dalamnya aku membuka pintu dan membersihkan diri. Aku langsung tidur setelah mandi. Rasanya cukup melelahkan. Pulang sekolah tadi, aku langsung diajak belanja dan menunggu Gio cukup lama. Walaupun duduk, tetapi tetap saja rasanya pegal. Sanyup-sanyup pandanganku meredup seiring dengan terpejam nya mataku. "Nak," Aku mendengar suara itu. Tentu aku mengenalnya itu suara Ayah. Mataku terbuka, mendadak segar. Betapa terkejutnya aku saat melihat ayah kandungku duduk di tepi ranjang. Pakaiannya putih bersih tanpa noda sekalipun. Wajahnya bersinar. Ayah menatapku teduh. Aku langsung memeluknya erat. Sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu dengannya. Aku segera melepaskan pelukan. "Ini benar-benar ayah? Aku gak salah liat kan? Ayah beneran ke sini?" tanyaku bertubi-tubi, merasa tidak percaya. "Iya. Untuk ke depannya, ayah harap kamu ingat perkataan ini. Walaupun orang di sekitar kamu jahat dan tidak ada yang mempercayai kamu sekalipun, kamu jangan merasa sendirian. Ayah selalu ada di hati kamu. Ayah selalu ada di dekat kamu. Jangan pernah berpikir untuk menghabisi diri kamu sendiri." ujar ayahku. Aku mengernyit heran. Tapi kemudian aku mengangguk, mengiyakan. "Tapi ayah janji gak akan pergi dari Chesa lagi kan? Ayah bakal selalu dampingin aku kan? Chesa mohon, ayah jangan pergi lagi. Aku sama Lova butuh kehadiran ayah. Ayah harus tetap di sini, ya?" ucapku menggebu-gebu. Ayah hanya tersenyum sambil menggeleng pelan dan mengusap air mataku. "Ayah tidak bisa, Nak. Tapi tenang. Ayah yakin, Tuhan mengirim seseorang untuk mengobati luka kamu. Ayah sangat yakin." perlahan ayah berdiri. Aku ikutan berdiri. Aku menggeleng cepat ketika ayah berbalik badan, terlihat seperti akan pergi. "Jangan, Yah! Jangan pergi! Temenin aku! Aku sendirian!" Mendadak muncul sebuah cahaya putih amat menyilaukan. Aku spontan memejamkan mata. Bersamaan dengan dibukanya mataku, aku melihat Raka. Pandanganku mengedar di setiap sudut kamar. Aku tidak menemukan ayah. Ayah ternyata pergi meninggalkanku untuk kedua kalinya. Pandanganku beralih pada Raka. "A--ayah tadi... Tadi ayah ke sini. Suruh ayah buat gak ninggalin aku lagi. Panggil ayah, Raka. Jangan biarin ayah pergi." dadaku terasa sesak. Tenggorokanku tercekat dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Raka menarikku ke dalam pelukannya. Aku menangis tersedu-sedu. "Ada aku. Meskipun ayah kamu enggak ada, tapi aku akan selalu ada buat kamu. Jangan nangis." "Beneran kamu gak akan ninggalin aku sendirian?" tanyaku. Dia menganggukkan kepala. "Aku, kan, sebelumnya udah bilang. Aku bakal jaga kamu walaupun kamu udah punya suami suatu saat nanti." Aku membenamkan kepala di dalam pelukannya. Desakan itu aku keluarkan semuanya. "Kenapa kamu bisa sampai ke sini? Ibu sama Om Pandu mana?" aku melepaskan pelukan. Akhirnya setelah beberapa menit, aku bisa mengendalikan diriku sendiri. "Tadinya aku berniat jemput kamu. Pembantu di sini bilang, kamu ada di kamar dan masih tidur. Ya udah, aku ke sini." "Dengan izin Mama?" aku khawatir jika Raka tak izin terlebih dahulu. Bisa-bisa Ibu dan Om Pandu tidak menyukai Raka sebab dia masuk tanpa izin. "Iya." dia menjawab. "Kamu tunggu aja di luar. Aku mau siap-siap." Raka menurut, lalu dia pergi. Setelahnya, aku tutup pintu dan mulai bersiap untuk berangkat sekolah. "Ayo." ajakku usai sampai di hadapan Raka. Kami berdua berangkat ke sekolah menggunakan sepeda motor. Sederhana, namun bagiku terasa membahagiakan. "Tangan kamu kenapa?" Aku mengatupkan bibir. Tidak. Aku tak boleh memberitahu yang sebenarnya. "Tadi ada kucing terus aku dicakar deh." jawabku. Raka malah menepi, lalu menghentikan motor. Aku kebingungan. "Kenapa kita berhenti di sini?" Raka diam. Ia melepaskan helm-nya. "Jangan berbohong, Ches. Di rumah lo nggak ada kucing. Gue tau itu. Bahkan ibu lo alergi yang namanya kucing." Dia sukses membuatku diam. Raka sekarang berhadapan denganku. "Hana. Dia pelakunya kan?" "Iya. Lo... Jangan marah. Lagian gue udah maafin dia kok," aku menunduk, tak berani menatap wajah Raka. "Kenapa lo nggak ngelawan dia, hm?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD