TWO: THE PASTRY CHEF

1844 Words
Vienna, dua tahun yang lalu. “Ini strawberry pure-nya sayang, masak dengan api kecil sampai tertinggal setengahnya. Pastikan di aduk, kalau purenya gosong aku ga mau ngomong sama kamu!” ujar Nadine. Hari ini adalah hari istimewa Nadine dan Nathan. Disebut demikian karena tepat dua tahun yang lalu, mereka memulai hubungan kasih mereka. Pertemuan pertama mereka terjadi di sebuah toko buku kecil di tengah kota London. Kala itu, Nathan tengah mencari sebuah buku resep yang rusak karena ulahnya sendiri. Ia sudah berkeliling ke beberapa toko buku besar tapi tak satu eksemplarpun ia dapatkan. Hingga di toko buku besar terakhir yang ia datangi, seorang staf di sana mengatakan padanya jika buku yang ia cari baru dijual di toko-toko buku kecil. Bukan karena buku itu tak bagus, tetapi konon sang penulislah yang memutuskan demikian. Ia ingin orang yang membeli bukunya adalah orang yang memang mencintai dunia pastry sepertinya. Resep-resep di dalam buku itu memang menggunakan bahan baku yang mudah didapat dan dengan harga yang relatif murah, teknik membuatnya pun sederhana dan bisa dilakukan di tengah dapur yang minim perlengkapan baking sekalipun. Setelah mendapat penjelasan tentang sang penulis dan toko yang menjual buku resep yang dicarinya, Nathan mulai menyusuri gang-gang di tengah kota London. Di saat itu juga, Nadine yang memiliki profesi sebagai pastry chef tengah menjejakkan kakinya di toko buku yang sama dengan yang Nathan datangi. ‘Cup!’ Lamunan Nadine menguap kala Nathan mendaratkan kecupan kecil di pipi kirinya. “Apa yang kamu lamunkan sayang?” tanya Nathan. “Jangan sampai gosong,” ujar Nadine. Nathan tertawa. Ya, ia memang seringkali mengacaukan masakan Nadine. “Sedih banget sih! Kamu bahkan ga liat tanganku mulai gemetar karena mengaduk sedari tadi,” ujar Nathan, berpura-pura sedih dengan menarik kedua sudut bibirnya ke bawah. “Manja banget!” “Jadi, ngelamunin apa?” “Ngga ada, cuma ingat pertama kali kita ketemu aja.” Nathan kembali tertawa. “Ya, hari yang indah. Dan konyol!” “Kenapa konyol?” “Karena aku mencari buku yang kurusak dan ternyata aku berhadapan langsung dengan penulisnya.” Nadine pun menyuarakan tawanya. “Apa yang kamu pikirkan saat melihat buku yang kamu tulis hancur seperti itu?” tanya Nathan kemudian. “Tunggu, aku harus mengaduk cream ini. Aku punya resep strawberry frosting yang baru. Kucampur dengan cream cheese. Kamu pasti suka!” “Aku suka apapun yang kamu buat sayang!” “Oh iya, aku lupa kalau kamu tukang makan.” “Oh, my tummy!” “Nat! Iiih jorok banget sih!” kesal Nadine saat melihat kekasihnya menjilat sutil yang ia gunakan untuk membuat selai strawberry. Nathan mencengir, salah tingkah karena tertangkap basah. “Ga akan kenapa-kenapa kok. Kan purenya mendidih, tak akan terkontaminasi.” “Ya ampun, cowok siapa sih jorok banget!” gerutu Nadine lagi. Nathan malah kembali terkekeh geli. “Ganti sutilnya, awas aja kalau dimasukin lagi ke saucepan!” ketus Nadine lagi. “Oke! Kamu belum jawab pertanyaan aku, Nad.” “Mmm, kesal sih pastinya. Tapi yang lebih terpikir adalah, kenapa wajahmu sampai begitu putus asanya mencari pengganti buku yang rusak itu.” Kali ini Nathan tak lagi terkekeh, hanya senyum simpul yang tercetak di wajahnya dengan kepala yang ia tundukkan. Sekelebat ekspresi sedih masih bisa Nadine lihat setiap kali kenangan tentang buku yang rusak itu terkuak kembali. “Jadi, ada kenangan apa dengan buku itu?” Nathan terhenyak, tangannya yang tengah mengaduk spontan berhenti. Setelah dua tahun bersama, baru kali Nadine bertanya tentang cerita di balik buku yang susah payah dicarinya kala itu. Sayangnya, cerita itu tak pernah mampu Nathan utarakan. “Nat, diaduk!” “Oh, sorry.” “Tak ada kenangan apapun. Aku hanya menyukai resep-resep di dalamnya. Kamu membuat semua orang yang memiliki buku itu bisa membuat kue,” lanjut Nathan lagi, berdusta. Nadine terdiam, selalu saja jawaban yang sama. “Sayang, itu strawberry jam?” “Iya.” “Kenapa kamu memintaku membuat lagi?” “Karena kita menggunakan stock terakhir sayang. Dan cake ini tidak ada di daftar menu kue yang aku jual di café ini. It’s special! For our 2nd anniversary.” “Ah, ya, I got it!” “Aaa!” Nathan membuka mulutnya, menerima suapan strawberry frosting yang baru saja selesai dibuat Nadine. “Gimana?” “My tummy is happy!” Jawaban khas Nathan saat mengatakan makanan yang ia cicipi rasanya sangat enak. “Akan aku sisihkan dan menjauhkan frosting itu darimu kalau begitu.” “Lho, kenapa emangnya?” “Bisa-bisa habis kamu makan sebelum cake kita jadi!” Nathan terkekeh lagi. “Spatulanya jangan dicuci, mangkuknya juga, biar aku saja yang membersihkannya.” “Dengan lidahmu?” “Ah, you know me so well, baby!” jawab Nathan seraya mengedipkan sebelah matanya. “Jorokmu memang sudah tak tertolong Nat!” gerutu Nadine pada Nathan. “It’s ok, selama kamu mencintaiku.” “Harusnya aku yang bilang begitu!” ‘Ha ha ha!’ *** “Here we go!” ujar Nadine riang seraya membawa cake yang dibuatnya ke tengah meja makan. Hari itu, mereka menutup café, khusus untuk merayakan hari jadi di tahun kedua hubungan kasih mereka. Nadine bahkan sudah bersiap jika hari ini Nathan akan membuatnya tak mampu menolak keintiman pertama mereka. Segalanya sudah dipersiapkan Nadine sebaik mungkin. “Jangan duduk di depanku, duduk di sini aja,” pinta Nathan seraya menepuk-nepuk kedua pahanya. Nadine tersenyum, dan menurut. Ia kembali berdiri dari kursinya, melangkah mendekat pada Nathan, duduk di pangkuan sang kekasih. Kedua tangan Nathan melingkari tubuh Nadine. “Tiup lilin sekarang?” “Hmm!” ‘Fuuuh!’ “Kupotong sekarang ya?” “Nad...” lirih Nathan. Nadine menoleh, menatap Nathan yang tengah menatapnya lekat. “I love you,” lirih Nathan lagi. Ia menyatukan kedua bibir mereka begitu saja, mengecup dan mengecap selama beberapa waktu. “I love you too, Nat.” “I know...” “Kita potong kuenya?” tanya Nadine lagi. Nathan mengangguk setuju. Strawberry cake yang Nadine buat untuk perayaan mereka berdiameter 20 cm. Nadine membuat kue itu terdiri atas tiga layer yang semua bagiannya menggunakan strawberry di dalam resep. “Kupikir panen kita kali ini akan banyak yang terbuang karena strawberry-nya banyak sekali,” ujar Nathan. “Tidak akan ada yang terbuang sayang. Kan bisa dibekukan. Lagipula aku sudah membuat resep untuk seasonal menu kita, untuk memanfaatkan strawberry yang banyak itu.” “WOW! Look at that! That crumble, beautiful!” ujar Nathan ceria saat sepotong cake diletakkan Nadine di atas piringnya. “Coba dulu! Rasanya secantik penampilannya atau ngga,” Nathan membuka mulutnya, menerima suapan yang disodorkan Nadine. “Mmm!” “Gimana?” “Oh my God, baby! My tummy is extremely happy!” “Oh ya?” “Hmm! Cobalah!” Kali ini bergantian, Nadine yang membuka mulutnya, menerima suapan Nathan. “Wah!” “See? Kamu harus jual sayang, kue ini bakalan laris banget untuk seasonal menu,” “Iya ya, enak banget! Aku ga nyangka.” “Kenapa bisa kelihatan tekstur remahnya gitu sih?” tanya Nathan, masih takjup melihat hasil karya Nadine. “Tapi ga runtuh ya?” “Nah itu yang unik!” puji Nathan lagi. “Butternya aku campur di adonan kering. Biasanya kan kucampur di adonan basah makanya tekstur cake-nya bisa halus banget. Aku pun ga nyangka kok, dengan beda teknik, kali ini tekstur cake-nya bisa unik begini.” “I see. Ga begitu ngembang juga ya sayang?” “Iya.” “Lembut, halus, padat tapi ga terlalu berat. Pas. Dan tekstur remahnya, oh I’m in love!” “Lama-lama kamu bisa jadi pastry tester lho Nat,” “Yah, itulah akibatnya mencintai seorang pastry chef!” Nadine terkekeh. “Aku serius...” ujar Nathan lagi. “Serius apa?” “I love you.” “I love you too, Nat. Apa aku harus bilang seribu kali?” “Ngga sih, better diganti dengan one passionate kiss aja. Gimana?” Nadine berhenti mengunyah. Pandangannya menatap Nathan lekat. Ia lalu meletakkan sendoknya, memutar posisinya agar menghadap Nathan, masih di atas pangkuan kekasihnya. “Bibir kamu belepotan,” lirih Nadine. “Bisa tolong bersihin?” Nadine menangkup wajah Nathan. Menatap lekat kedua manik mata hijau yang membuatnya tak mampu berpaling. Kedua ibu jarinya mengelus lembut rambut-rambut halus di rahang Nathan. Nathan menahan diri, membiarkan Nadine yang mendekat terlebih dulu, tak ingin membuat kesan jika dirinya terlalu agresif dan membuat Nadine ketakutan. Kedua tangan Nathan bergerak, mengelus punggung dan lekuk tubuh Nadine saat bibir hangat Nadine menyapu bibirnya, mengecap setiap sisa strawberry frosting yang tersisa di sana. “Yummy!” lirih Nadine. “Hmm! I’ll taste you too, Nad. I love you!” Satu tangan Nathan menahan tengkuk Nadine, memberi ciuman dalam dengan rasa strawberry yang masih menyelimuti indra perasa keduanya. Tak ada yang menahan diri. Nadine pun pasrah saat jemari Nathan mulai membuka kancing blousenya satu per satu dan ciuman hangat itu menjalar turun ke leher Nadine, lalu berlanjut mencumbui tubuh bagian atasnya. Entah sudah kali keberapa lenguhan halus terdengar dari mulut Nadine, rasanya ia sudah sekuat tenaga menahan diri, tetapi tetap saja sentuhan Nathan membuatnya melayang. “Nat...” Nathan kembali mengecup Nadine, mengajak bibir keduanya saling berpautan. “Kita pindah ke kamar?” desah Nathan. “Hmm!” jawab Nadine seraya mengangguk. “Okay!” “I love you, Nathan.” “Nadine...” ‘kling, kling!’ Keduanya menoleh bersamaan. Bodohnya mereka, tak ada yang mengingat untuk mengunci pintu café terlebih dulu. Nadine tergesa menutup tubuhnya yang terekspos, beranjak dari pangkuan Nathan, dan sambil menunduk mengaitkan kancing-kancing blousenya kembali. Sementara Nathan, membeku. Pandangannya terpaku pada sosok seorang perempuan yang berdiri di tengah pintu masuk café. Perempuan itu kurus sekali, wajahnya tetap terlihat cantik meskipun lingkaran hitam terlihat jelas di bawah kedua matanya. Rambutnya terlampau pendek dengan model buzz cut, ya model rambut para tentara. Dan perempuan itu menopang dirinya dengan sepasang kruk. “Hai Nathan, maaf jika aku mengganggu kalian.” Nadine spontan membeku. Siapa peremuan itu? Kenapa ia bisa mengetahui nama Nathan? Apa dia kenalan Nathan? Kenapa Nadine belum pernah melihatnya? Apa Nathan lupa menceritakan soal perempuan yang terlihat seperti sedang sakit parah di hadapan mereka itu? Berbagai asumsi muncul begitu saja di benak Nadine. “Nat, siapa dia?” Nadine memberanikan diri, walaupun hatinya sudah mengingatkan jika ia akan menghadapi badai sesaat lagi. Itu terlihat jelas karena Nathan memandang perempuan itu seolah menandang seluruh dunia secara bersamaan. Nathan bangkit dari tempatnya duduk, kedua matanya kini terlihat berkabut. Sedang bermimpikah dia? “Nat, dia siapa?” lirih Nadine lagi. Nathan tetap tak menjawab, seolah Nadine tak ada di sana. Sesak mulai terasa di dadanya, kedua matanya mulai memanas. Siapa perempuan itu, kenapa kedatangannya seolah membuat Nadine tak kasat mata? “Nathan...” lirih Nadine lagi, air matanya mulai menetes kala melihat Nathan terus saja berjalan pelan mendekati perempuan itu. “Rossie?” lirih Nathan. “Kamu benar-benar Rossie?” tanyanya tak percaya. Nadine terhenyak, kedua telapak tangannya naik menutup mulutnya yang menganga. Sementara perempuan di tengah pintu itu tersenyum diiringi tetesan air matanya yang berderai tanpa henti. ‘Rossie? Dia kembali?’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD