THREE: KABAR BURUK

2188 Words
Beberapa cup kosong yang tadinya berisi iced americano, cappuccino, latte atau minuman dengan espresso based lainnya tersebar nyaris di setiap sudut ruangan berukuran 21-meter persegi itu. Sudah dua hari pria berumur 35 tahun itu tak keluar dari unitnya, berkutat dengan rangkaian algoritma, Pascal, dan compiler untuk membuat satu program yang akan ia gunakan di project besarnya saat ia kembali ke London nanti. Ia memang berusaha agar pikirannya teralihkan dari pedihnya perpisahan dengan perempuan yang sangat ia cintai. Bunyi ketukan sepuluh jari yang beradu dengan tombol-tombol keyborad nyaris tak berhenti terdengar di dalam kamarnya. Ia hanya sesekali beranjak dari benda yang memiliki Central Processor Unit andalannya, sekedar untuk memenuhi kebutuhan manusianya. ‘Suara getar ponsel yang beradu dengan permukaan kayu terdengar di telinga Ditya.’ ‘Ponsel itu bergetar kembali.’ Ditya menegakkan punggungnya, menautkan jemari dari kedua tangan, memilin, lalu menarik kedua tangannya yang saling mengunci, tinggi di atas kepala. Ia diam beberapa saat di posisi itu agar ketegangan di sepanjang tulang belakangnya sedikit mengendur, sebelum menarik tubuhnya kembali ke sisi kiri dan kanan. Ponselnya yang bergetar sedari tadi masih tak dihiraukannya. ‘Lagi. Alat komunikasi itu kembali bergetar.’ Ditya melirik ke benda pipih yang tergeletak di sampingnya. Hanya terpaku membaca nama dan foto yang muncul di depan layar. Ia menggemeretakkan giginya sangkin berusaha menahan geram yang begitu ingin meledak di dalam dadanya. Tangan kanannya menggenggam handle mug dengan erat. Sementara paru-parunya bekerja ekstra agar oksigen tetap lancar mengalir ke setiap sel otaknya. ‘Sabar Dit! Sabar! Kuat!’ Suara getaran itu kembali mengganggu ketengangan Ditya. “ARE YOU KIDDING ME?” 'PRANG!' Kini, dentuman keramik dengan salah satu sisi dinding yang terdengar nyaring. Mug yang tadi ia genggam kini berubah menjadi serpihan, tersebar di salah satu sisi studionya. Ditya mengangkat kedua tangan, mengusap wajahnya kasar. Ia beranjak dari tempatnya duduk, naik ke atas tempat tidurnya, membawa beberapa helai pakaian yang harus disusunnya kembali ke dalam koper. ‘Ya Allah, kenapa sesakit ini?’ “Adakah keikhlasan Dalam palung jiwamu mengetukku? Ajarkanmu bahasa perasaan Hingga hatimu tak lagi membeku “Haruskah ku mati karenamu? Terkubur dalam kesedihan sepanjang waktu Haruskah kurelakan hidupku? Hanya demi cinta yang mungkin bisa membunuhku...” Lantunan pilu sebuah lagu berjudul Haruskah Kumati oleh ADA Band mengisi setiap sudut unit studio yang Ditya sewa untuk tempatnya tinggal selama di Jakarta. Ia membeku, terdiam dengan beberapa helai pakaian yang masih tergeletak di atas kedua pahanya. Ya, mungkin hanya jika Ditya mati, Viona akan merasakan kehilangannya. Atau bahkan tidak sama sekali? Bahkan berpikir jika Viona akan menangisi kematiannya terlalu bagus bagi Ditya. Entah sudah berapa kali ponselnya berbunyi tiga hari ini, Ditya hanya memandang kosong ke arah benda pipih berwarna hitam itu. Kelu. Memperjuangkan Viona benar-benar membuatnya kelelahan lahir dan batin. Setelah pertikaian sengit mereka tiga hari yang lalu, Viona masih saja berani menghubunginya. Gila bukan? Mungkin jika perempuan itu sehat, ia sudah ada di depan pintu unit Ditya. Merayu Ditya kembali, yang bahkan rayuannya terasa begitu nyata, cinta palsu Viona benar-benar terasa nyata bagi Ditya. "Ya Allah..." lirih pria berumur 35 tahun itu. Pilu. Dering ponselnya berhenti, dan layarnya kembali meredup. Ditya kembali memasukkan lembar demi lembar pakainnya ke dalam suitcase untuk dibawanya kembali ke London. Kali ini, sungguh-sungguh pergi, Ditya sudah bertekad tidak akan lagi kembali pada Viona. Ponselnya kembali berdering. Ditya menekan tombol hijau, lalu menekan tombol loudspeaker. "Ya, De..." "Abang jadi pulang?" suara merdu Widi, adik Ditya terdengar di ujung pesawat telpon sana. "Iya, jadi." "Sudah dapat tiket, Bang?" "Sudah. Besok malam Abang berangkat." "Ditya?" "Iya, Dad?" "Ada apa, nak? Daddy khawatir." "Ga ada apa-apa. Urusan Ditya di sini sudah selesai." Ditya mendengar pria paruh baya yang bicara tadi mendengus di ujung sana. "Viona nelpon Daddy, nak." Kali ini Ditya yang mendengus. Lalu diam. "Kata Viona, kamu ga bisa dihubungi?" tanya Wisnu, ayah Ditya. Ditya masih terdiam, rasa sesak kembali menyapanya, jika ia menjawab, ia yakin, ia akan bicara bersamaan dengan isak yang tak akan mampu ditahannya. "Dia menyakitimu lagi?" lirih Wisnu. Sudahlah. Pria yang sedang bicara itu adalah Ayahnya, sahabatnya, orang yang selalu mendukungnya. Apa yang mampu Ditya tutupi? Tanpa Viona menelponnya pun, Wisnu pasti bisa merasakan ada yang tak beres dengan putera kebanggannya itu. Isak Ditya tak mampu lagi terbendung. "s**t! I'LL KILL THAT WOMAN!" pekik Wisnu, memaki di ujung sana. "Pulanglah, nak. Jangan lagi kamu berani mendatanginya, walau ia mati sekalipun. Daddy patahkan kakimu dengan tangan Daddy sendiri jika kamu berani mendekatinya lagi. Perempuan itu ular, Ditya!" "Hmm..." lirih Ditya. "Ini sudah sebelas tahun, Ditya. Sudah sebegitu lamanya kamu berusaha. Cukup, nak. Cukup! Kamu yang berhenti, atau Daddy yang akan menghancurkannya sampai ke akar-akarnya." Ditya tahu, Ayahnya itu tak sekedar mengancam. Jangan tanyakan jaringan seorang pensiunan intelijen negara, menghancurkan satu keluarga sampai ke akar-akarnya bukan hal yang sulit bagi seorang Wisnu Baskara. Kepergian Ditya kali ini ke Jakarta adalah kesempatan terakhir yang diberikan Wisnu. Wisnu sudah mengatakan pada Ditya sebelum keberangkatannya, jika kali ini Viona menyia-nyiakannya lagi, maka Ditya benar-benar harus berhenti. "Ditya?" panggil Wisnu lagi. "Iya, Dad. Ditya flight jam sembilan malam besok. Ini sedang packing. Ditya ga akan kembali lagi. Sudah cukup." "Ok." "Ada yang mau Ditya bicarakan nanti di London, Dad." "Apa?" "Nanti saja di London." "Sekarang saja. Setidaknya berhentilah membuat Daddy khawatir." Ditya terkekeh di tengah kesedihannya mendengar omelan Wisnu. "Maaf, Dad." "It's ok. Jadi ada apa?" "Apa tawaran Daddy tentang pindah ke Vienna masih berlaku? Ditya ingin pergi dari London. Terlalu sesak di sana." "Oke. Ayo kita bicarakan lebih lanjut begitu kamu tiba di sini, sementara Daddy akan bicara dengan Widi." "Ok, Dad." "Hati-hati. Chat Daddy begitu kamu akan terbang. We love you, boy." "Ok, Dad. I love you, both." *** Ditya sedang duduk termenung di dalam gudang bahan baku dari bangunan yang menjadi tempat usaha keluarganya selama lima belas tahun terakhir. Café and Bakery yang awalnya dikelola oleh Nola – sang Ibu, kini dikelola oleh Wisnu, Ditya dan Widi. Sebelumnya, Nola dan kedua anaknya tinggal di Jakarta, sementara saat itu Wisnu sedang menangani satu kasus yang membuatnya harus tinggal di London selama beberapa tahun. Hingga suatu hari, Ditya kejang dan hilang kesadaran di kampus tempatnya menimba ilmu. Setelah menjalani beberapa pemeriksaan, ternyata Ditya memiliki glioma di salah satu bagian otaknya. Wisnu yang terlalu khawatir dengan keadaan Ditya dan keluarga kecilnya akhirnya meminta mereka pindah dan melakukan pengobatan untuk Ditya di London. Sudah seminggu terakhir, setelah Ditya kembali ke rumahnya di London, ingatan tentang Nola selalu saja muncul. Ibunya yang begitu memanjakan kedua anaknya, Ibunya yang selalu mendengarkan setiap ceritanya, Ibunya yang akan memasak semua makanan kesukaannya kala Ditya sedang murung, Ibunya yang memanggilnya Amang*, Ibunya yang doa-doa malamnya seringkali tak sengaja menyapa telinga Ditya. "Abang!" "Hmm?" "Ih, bengong mulu sih. Udah sih, Bang. Lama-lama gue kesal tau ga lihat Abang begini!" repet Widi pada Ditya. Sudah seminggu Ditya kembali ke London, tetapi berkali-kali adik perempuannya itu menemukan sang abang termenung dengan wajah pilu. "Sorry..." lirih Ditya. "Ayo keluar. Ada yang mau ketemu tuh. Teman Abang. Cantik!" "Siapa?" "Ya lihat aja dulu." Ditya bangkit dari tempatnya duduk, melangkah malas kembali ke area dining. Di meja paling sudut, tempat paling cocok untuk menyendiri di café itu, seorang wanita tersenyum hangat dan melambaikan tangan padanya. "Nadine?" "Hey!" "Kok di sini?" "Ga boleh?" Ditya terkekeh. "Boleh." "Duduk dong, Dit. Temanin Nadine sebentar. Tadi Nadine sudah bilang Om kok, pinjam Ditya." Lagi-lagi Ditya tertawa renyah. "Ditya murah senyum ya ternyata." "Masa ada tamu mau di cemberutin?" "Ditya apa kabar?" Ditya tersenyum lagi. "Ya seperti yang Nadine lihat." "Jadi, Nadine ada perlu apa ke London?" Kali ini Ditya yang bertanya. Nalurinya mengatakan Nadine tak mungkin hanya mau berbasa basi dengannya ke kota ini. "Kepo banget sih." ‘Hahaha!’ Ditya justru tertawa. "Hmm... Nadine ada café di Piccadilly, bareng teman sih, kami dari culinary school yang sama, dan kita biasa saling crosscheck café. Bulan ini giliran Nadine yang ke sini. Selain itu, Nadine juga habis lihat teman. Dia sakit." 'Teman? Sakit? Kenapa wajah kamu begitu?' batin Ditya. "Ooo... Sakit apa?" "Ditya, Nadine kepingin nasi goreng rendang dan jasmine tea dong. Pesanin..." pinta Nadine manja. Ditya tahu, Nadine berusaha mengalihkan pembicaraan. "Oke. Tunggu ya." Ditya berjalan menuju kitchen bar, memasukkan pesanan Nadine, lalu kembali ke meja tempat Nadine menunggunya. "Jadi gimana? Jadi mau pindah ke Vienna?" tanya Nadine setelah Ditya duduk kembali di hadapannya. "Kenapa? Pengen banget ya punya teman di sana?" "Iiih, ditanya bener malah ngeledek. Tapi iya sih." Ditya kembali terkekeh. Sudah seminggu mereka berteman sejak perkenalan mereka di pernikahan Dirga dan Kei. Kei yang memperantarai mereka agar tahu satu sama lain. Alasannya agar Ditya memiliki teman yang bisa diajak berdiskusi tentang rencana kepindahannya ke Vienna, dan kebetulan sudah empat tahun belakangan Nadine menetap di sana. Sejauh ini, hubungan pertemanan mereka begitu hangat, entah karena gaya sapa mereka yang membuat keduanya merasa dekat, atau memang percikan-percikan rasa yang belum mereka sadari sudah mulai menyapa. "Jadi? Nadine bakalan punya tetangga sebangsa ga nih?" tanya Nadine lagi. "Iya, jadi inshaaAllah. Udah deal harga juga sama Granny. Tapi Granny minta waktu tiga bulan untuk beres-beres. Aku juga nunggu Dirga dan Kei dulu, mau nitip café ini sama mereka. Sayang kalau ditutup." "Oh gitu? Di sini sewa atau tempat sendiri?" "Tempat sendiri. Dulu kan Mommy punya resto di Jakarta. Pas pindah ke sini semua restonya dijual, Mommy ga ketemu orang yang bisa diandalkan untuk maintain resto. Sampai sini, beli tempat ini. Buka café and bakery ini deh." "Oh. Tante di mana?" "Udah ga ada. Serangan jantung," lirih Ditya. "I'm sorry, Ditya." "It's ok. Sudah sepuluh tahun yang lalu." "Nadine sampai kapan di sini?" tanya Ditya lagi. "Lusa mungkin Nadine balik ke Vienna. Rencananya sih gitu, ga tau deh kalau tiba-tiba masih kepingin main di sini beberapa hari." "Oh. Terus yang sakit itu teman kamu yang di Piccadilly?" "Bukan..." lirih Nadine seraya menggelengkan kepalanya. "Pacar kamu?" Nadine kembali menggeleng. "Nadine ga mau ngomongin dia yang sakit itu ya?” Kali ini Nadine menatap lekat Ditya. "It's complicated!" lirih Nadine lagi. "Hmm... I'm a master of complicated relationship. Hehehe." Canda Ditya. Nadine tersenyum mendengar kelakar Ditya, walaupun Nadine tahu, kalimat yang barusan Ditya ucapkan bukanlah candaan sama sekali. Nadine memainkan jemarinya, meremas-remas satu per satu. Ia ingin bercerita, tetapi ia ragu karena khawatir akan mendengar saran yang tak ingin ia dengar. Ia ragu, karena ia mulai terbiasa dengan kehadiran Ditya. Apakah jika Ditya tahu keadaannya, Ditya akan tetap mau menjadi temannya? Atau justru... Saat keduanya masih saling termenung, ponsel Ditya berbunyi, menampilkan nama Ian – Lawyer di layarnya. "Assalammu'alaikum," sapa Ditya. "Wa'alaikumsalam. Sehat, bro?" "Sehat, Yan. Lo gimana?" "Gue... Sehat," lirih Ian di ujung telpon sana. Ditya bisa mendengar nada pilu, bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. "Ada apa, Yan?" "Andien..." lirih Ian lagi. "Andien? Kei? Kenapa dia?" Jantung Ditya berdetak lebih cepat. Biasanya, jika nada sang lawan bicara sudah seperti ini, kabar yang akan disampaikan adalah kabar duka. Ian mendengus, semakin membuat Ditya yakin jika kabar yang akan didengar olehnya bukanlah kabar baik. "Ian?" tegur Ditya. "I'm sorry to tell you this. Andien ditusuk Viona. Keadaannya sekarang kritis, koma," lirih Ian akhirnya. Ditya membeku, ponsel yang tadinya ada di telinganya terlepas, meluncur jatuh ke samping kakinya. Nadine segera berdiri, kebingungan melihat wajah Ditya yang berubah menjadi pias. Ponsel yang terjatuh itu diangkatnya, menatap nama yang ada di layar ponsel, lalu menempelkan benda itu ke telinga kanannya. "Dit? Halo? Ditya?" sang penelpon memanggil-manggil Ditya berulang kali. "Bang Ian?" tanya Nadine. "Iya, ini siapa?" "Nadine." "Nadine - Sandra?" "Iya." "Kok Nadine di situ?" "Ada urusan di London, cek café yang di Piccadilly, terus mampir ke café Ditya. Ada apa Bang? Kok Ditya..." "Andien kritis, ditusuk Viona. Gue lagi nanganin kasusnya." Kali ini Nadine yang terdiam. "Nad?" Nadine masih diam. Netranya memanas. "Nadine?" panggil Ian lagi. Nadine mengerjap-ngerjap, air matanya tumpah membayangkan perempuan yang sudah dianggapnya kakak keduanya dalam gerbang antara hidup dan mati. "Kak Sandra kok ga kasih tau..." tangis Nadine. "Kejadiannya cepat banget. Ini baru selesai operasi. Sandra shock, udah beberapa kali pingsan." "Bang Ian di Rumah Sakit?" "Belum sempat ke Rumah Sakit. Dari tadi telponan sama Dewa aja, ga ada yang bisa dihubungi selain Dewa. Gue lagi di kantor polisi, sama penyidik. Nad, telpon Sandra gih. Kalau sama lo mungkin dia bisa lebih tenang." "Iya, Bang." "Ditya udah bisa diajak ngomong belum? Gue perlu bicara." Nadine menepuk bahu Ditya, mengembalikan kesadarannya dari kekosongan. "Bang Ian perlu bicara, Ditya bisa?" ucap Nadine sambil terisak. Wisnu sudah mendekati meja mereka, terheran-heran menatap keduanya yang berwajah sendu dan pias. Ditya meraih kembali ponselnya, sementara Nadine menceritakan kabar yang didapatnya pada Wisnu. Baik Nadine dan Wisnu tak ada yang mendengar pembicaraan Ditya dan Ian selama beberapa saat ketika Nadine berkisah, hingga akhirnya suara Ditya kembali menyapa telinga mereka. "Yan, gue masang spy app di ponsel Viona dan abangnya. Tapi seminggu ini ga ada gue cek sama sekali. Datanya sih bisa ke record atau di recall semisal dia nekat ngapus bukti." "Kalaupun ada, bukti yang didapat dengan cara ilegal begitu ga bisa dimasukin ke pengadilan, bro." "Iya sih." "Gini deh, lo coba cek, kalau ada yang mencurigakan lo info ke gue. Biar gue yang urus selanjutnya." "Oke." "Gue bisa percaya lo kan, Dit?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD