SIX: CINTA YANG TIDAK BAHAGIA

1945 Words
Shere, beberapa waktu lalu. "Kamu sudah makan malam, sayang?" tanya Nathan pada Rossie. "Wanginya enak banget. Kamu masak apa?" "Baked potatoes, bolognese sauce, and melted cheese. Kamu mau makan?" "Hmm!" jawab Rossie seraya menganggukkan kepalanya. "Padahal tadi aku membeli makanan di Palomar, tapi masakan kamu terlihat lebih menggiurkan,” lanjut Rossie lagi. "Tadi kamu makan malam sama Ditya?" "Ngga, aku order take away. I miss you." Nathan tersenyum, tulus. Ia memotong kentang panggang dari pinggan tahan panas, lalu menyendoknya ke atas piring Rossie. "Mau aku suapin?" Rossie mengangguk tegas seraya tersenyum. "Nathan..." lirih Rossie. 'Please... Not now, baby...' Rossie mengulurkan kedua tangannya, meminta Nathan mendekatkan wajahnya. Rossie menangkup wajah Nathan, mengusap lembut rahang tunangannya itu, lalu menariknya mendekat, memulai kecupan di bibir Nathan yang tak ragu Nathan balas dengan lembut. "I love you, Ros..." lirih Nathan. Genangan air mata mulai terlihat di kedua netranya. "I'm sorry," lirihnya lagi seraya menundukkan wajahnya, mengusap air mata yang mengalir begitu saja. "Bukankah mencintaiku terasa seperti kutukan?” Nathan menggeleng. "Aaa..." ujar Rossie, meminta Nathan mulai menyuapinya. Tak ada satu patah kata pun dari keduanya selama moment makan malam itu. Hanya sunyi. Genggaman tangan Nathan di tangan Rossie tak kunjung ia lepaskan. Pria itu tahu, gadis di genggamannya inilah yang ia inginkan, sedari dulu. Tetapi bayangan bahwa ia akan sendiri jika gadis ini pergi terlalu membuatnya ketakutan. Nathan pernah merasakannya. Ia menjadi pecandu alkohol. Tak pernah ada jeda di setiap malam – yang ia lalui sejak Rossie meninggalkannya – tanpa minuman laknat itu. Hingga suatu pagi, Nathan menemukan satu buku resep di kabinet dapurnya, buku resep yang seringkali dijadikan inspirasi bagi Rossie untuk membuatkan makanan untuknya. Karena keteledorannya yang masih dalam pengaruh alkohol, ia tak sengaja menumpahkan sebotol madu ke atas buku itu. Buku itu rusak. Nathan panik, baginya tak boleh ada kenangan Rossie yang rusak atau menghilang. Nathan pergi ke setiap toko buku yang bisa ia datangi, hingga di satu toko buku di London, ia bertemu Nadine, sang penulis buku resep itu. Usai makan malam dalam sunyi, Nathan membawa Rossie ke dalam kamar mereka. Membantu Rossie mengganti baju setelah membersihkan diri, lalu bersama bergelung di balik selimut hangat. "Nat..." "Hmm..." "Temanin aku ya ke Berkhamsted?" "Mau ngapain?" "Aku dengar hospice mereka nerima pasien kayak aku." Nathan mendengus. Tak menjawab permintaan Rossie. "Kamu harus melanjutkan hidupmu, Nat. Kalau kamu mau, kamu bisa menjengukku setiap akhir pekan," lanjut Rossie lagi. Nathan diam saja. Ia menutup netranya, berharap Rossie menghentikan kicauannya. "Nat, kita sama-sama tahu, aku tak mungkin lagi sembuh, sementara kematian tak kunjung mendatangiku. Aku malah membuatmu terbelenggu. Jantungku kian melemah, aku semakin sulit berjalan, hanya tinggal menunggu organ-organku yang lain rusak saja.” Nathan tak mampu lagi mendengar setiap perkataan Rossie, habis sudah kesabarannya. Ia bangkit, turun dari tempat tidur, melepas semua helai kain yang melekat di tubuhnya. "Nat, listen to me, please..." lirih Rossie. Air matanya mulai mengalir lagi, ia sangat tahu, Nathan tak pernah suka percakapan ini. Setiap kali Rossie memulainya, Nathan akan bereaksi seperti ini, menyetubuhinya hingga Rossie lelah dan tertidur. Nathan naik kembali ke atas ranjang, melepas semua helai kain di tubuh Rossie tanpa perlawanan sama sekali. Mencumbui setiap jengkal wajah dan tubuh Rossie, memujanya tanpa kata. Keintiman memang menjadi penawar bagi keduanya, saat dimana mereka bisa melupakan segala ujian dalam hubungan mereka. "I love you, Ros..." lirih Nathan setelah pelepasannya, netranya terkunci pada kedua netra berwarna madu milih Rossie. "Nat..." "Please baby, let's sleep, ok? Kamu pasti lelah," lirih Nathan, kali ini ia bertutur seraya menutup kedua matanya. "Nat... Aku hamil..." lirih Rossie. Sendu. Nathan membuka kedua netranya, menatap Rossie dengan tatapan terkejut. Rossie tak mampu lagi menahannya, ia menangis pilu, terisak dalam rengkuhan Nathan. *** Pagi menjelang. Nathan duduk di pinggir ranjang, menatap wajah Rossie yang masih terlelap. Nathan mengenalnya sejak usia tujuh belas tahun. Kala itu, di ulang tahun seorang temannya, Rossie pun turut hadir di sana. Nathan tak mampu menyembunyikan kekagumannya pada sosok yang masih terbuai mimpi di sampingnya. Rossie yang cantik, Rossie yang cerdas, Rossie yang kerap kali mendebatnya, Rossie yang selalu mengandalkannya dan bisa ia andalkan, Rossie yang tak pernah sekalipun mengkhianatinya, Rossie yang begitu sabar menghadapi kebodohannya, Rossie yang akan selalu memarahinya sambil menangis pilu kala Nathan melakukan kesalahan – lalu setelahnya memaafkannya tanpa syarat, Rossie yang telah mendampinginya sejak ia susah hingga usahanya berjalan lancar sampai saat ini. Rossie yang begitu ia cintai. Nathan terus mengusap puncak kepala Rossie, sesekali melabuhkan kecupan kecil di wajahnya. "Nathan..." lirih Rossie parau. "Wake up, baby..." Rossie membuka kedua matanya, menatap senyum pria yang paling dicintainya. "Jangan bergerak! Aku bersihin mata kamu dulu." "Ga mau! Malu-maluin ih! Aku bisa sendiri," cegah Rossie, tetapi Nathan justru menahan kedua tangannya, mengecup pipi Rossie sesaat, lalu mengambil tissue di atas nakas, membersihkan sudut-sudut mata Rossie dengan lembut. Sementara Rossie memajukan bibirnya, memberengut, malu. "Sekarang minum dulu jus smoothie ini." Rossie menerima gelas yang disodorkan Nathan, meneguk smoothie-nya perlahan. Mual karena kehamilannya begitu terasa di pagi hari. 'huek.' "Kamu mau muntah sayang?" Rossie mengangguk. Nathan segera menggendongnya ke kamar mandi, lalu menunggu Rossie memuntahkan smoothie yang baru saja diminumnya tadi. "Aku mau mandi," lirih Rossie. "Ayo kita mandi sama-sama.” "Nat..." "Apa sayang? Udah lama lho kita ga mandi bareng?" ujar Nathan santai. "Tunggu ya, aku isi bathtub-nya dengan air hangat dulu," lanjutnya lagi. Rossie tak mampu menolaknya. Tempat ternyaman baginya adalah dalam rengkuhan Nathan. Ia rela mengorbankan apapun demi bisa terus dicintai oleh Nathan, sekalipun jalan yang dipilihnya kerap kali menyakitinya berulang kali. "Baby..." lirih Nathan. Ia masih memeluk Rossie dari belakang, melingkarkan sebelah tangannya di pinggang Rossie, sementara satu tangannya memegang shower puff dan membersihkan tubuh Rossie dengan lembut. "Hmm..." "Kita harus gimana dengan kehamilan ini sayang?" "Aku akan pertahankan." "Tapi ini bahaya untuk kamu." "Ga ada bedanya, Nat. Toh pada akhirnya aku akan mati juga. Setidaknya, selain bersama kamu, sekarang aku punya tujuan untuk sedikit bertahan, menunggu hingga bayi kita cukup kuat untuk dilahirkan. Jadi, ketika aku mati nanti, kamu ga akan merasa sendiri.” Nathan tak merespon. Rossie hanya merasakan punggungnya yang sedikit bergetar. Pasti Nathan menahan tangis di belakangnya. "Aku akan meninggalkan Nadine," ucap Nathan. Tegas. Bahkan ucapannya membuat Rossie merasa menjadi orang jahat. "Nat..." "Ini pilihanku, Ros. Cukup sudah! Kita bertiga hanya akan menyakiti satu sama lain. Aku tidak bisa membagi hatiku denganmu dan Nadine.” "Bukannya kamu mencintainya?” Nathan hanya diam, ia hanya mengelus tubuh Rossie dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher kekasihnya itu. "Nat, jawab aku... Tidak apa-apa jika kamu mencintainya. Itu tidak membuatku berhenti mencintaimu." Nathan mendengus. Sebenarnya ia sangat malas membahas semua masalah yang menyita hati dan pikirannya. "Aku tidak tahu, Ros. Awalnya, saat kamu kembali, aku yakin aku masih mencintainya. Sebenarnya aku marah padamu. Saat itu, aku ingin menjadi walimu karena kita sudah bersama begitu lama, dan aku cukup yakin aku tidak akan jatuh cinta padamu lagi, bahkan kupikir mungkin aku bisa sedikit menyakitimu jika kita bersama. Agar kamu mengerti betapa sakitnya aku ketika kamu pergi. "Tapi setelah terjebak denganmu lagi, perasaan itu kembali. Aku tidak bisa membencimu. Aku tahu jika aku berada di posisimu, aku akan melakukan hal yang sama. Tidak ada orang yang ingin terlihat lemah di depan orang yang kita cintai. "Beberapa kali aku mencoba mengatakan padanya bahwa aku akan bersamamu. Tapi setiap kali aku melihat harapan di matanya, dan mendengar kata-katanya bahwa dia akan menungguku, aku terdiam lagi. Jika kamu meninggalkanku lagi, siapa yang akan menemaniku? Aku hancur, Ros. Aku hancur tanpamu. Aku butuh seseorang di sampingku. "Aku b******n bukan? Aku b******n yang takut kehilanganmu, lalu bermain dengan hati orang lain.” Rossie menarik kedua lengan Nathan agar memeluknya lebih erat. "Aku sangat tahu bagaimana rasanya, Nat. Aku tahu bagaimana rasanya sendirian," lirih Rossie. "Aku sangat ingin sembuh... " lirih Rossie lagi. *** Di tempat lain. Nadine terus saja diam sejak MPV hitam milik Ditya meninggalkan kediaman Baskara. Kedua netra perempuan itu tak lepas dari layar ponselnya, bolak balik menyalakan dan mematikan layar, juga bolak balik mendesah, mendengus putus asa. "Masih jam setengah delapan. Mau ngopi dulu?" tanya Ditya begitu ia memarkirkan kendaraannya di tempat parkir London Heathrow. "Nathan ga menghubungi Nadine sejak kemarin..." lirih Nadine. Ditya diam saja. Hanya memandang Nadine lekat. "Apa sebaiknya Nadine akhiri saja?" tanya Nadine pelan. Ditya masih diam. "Kemarin Nathan ngantar Nadine ke tempat Livy, Nathan pergi begitu saja begitu Nadine turun." Ditya terus terdiam. "Ditya?" "Hmm..." "Menurut Ditya apa yang terjadi?" Ditya mendengus, lalu menggelengkan kepalanya. "Ditya kan cowok, pasti Ditya bisa nebak kan?" "Nad, aku ga tau." "Ga tau atau Ditya takut Nadine denial seperti yang Ditya bilang semalam?" "Tunggu saja dia menghubungi kamu." "Sebelumnya Nathan ga pernah begini, baru setahun belakangan Nathan jadi susah dihubungi." Ditya menarik napas panjangnya. Ingin sekali ia teriak agar Nadine berhenti mempermainkan hatinya sendiri. "Ditya?" "Nad, stop it, ok?" "Apa?" "Berhenti menyiksa diri kamu." "Maksud Ditya?" "Sudah berapa lama kamu meninggalkan hal-hal yang kamu sukai?" Nadine mengerutkan keningnya, bahkan kedua alisnya terlihat bertaut. Dia tak mengerti arah pembicaraan Ditya. "Nad, aku seorang game developer. Freelance. Tapi jasaku lumayan dipakai banyak perusahaan. Aku suka memasak, karena waktu kecil aku tukang makan. Well, sebenarnya sampai sekarang pun begitu." Ditya memberi jeda. "Selain itu, dulu aku sering menghabiskan waktu di studio musik kecil milikku. Ada di belakang café. Aku sanggup menabuh drum dan bermain gitar seharian." Nadine masih lekat memperhatikan Ditya. "Sebulan sekali biasanya aku solo trip. Sekedar mancing, naik gunung, atau surfing." "Lalu?" "Aku jadi jarang melakukan itu sejak kenal dengan Viona. Lebih tepatnya sejak hubunganku dan Viona bermasalah. Negative vibes yang muncul bikin aku malas ngapa-ngapain. Kegiatanku jadi menjemukan, hanya seputar menyelesaikan kerjaan, bantu Daddy di café, atau jogging. Ga ada lagi Ditya yang sering ngacak-ngacak dapur setelah café tutup, nyari menu baru. Ga ada lagi Ditya yang sering pergi ketemu teman-temanku untuk memperluas koneksi. Ga ada lagi Ditya yang setiap bulan solo trip. Bahkan Widi sampai ngomel karena studio musikku berdebu sangkin jarang aku urus." Kali ini Nadine menunduk. "Selain masak, apa yang kamu suka, Nad?" "Kerajinan tangan, solo trip sambil menulis." "Masih rutin melakukan itu?" Nadine menggeleng. "Bahkan dulu Nadine membuat meja dan kursi Nadine sendiri. Sekarang kalaupun ada waktu senggang, Nadine justru ke Shere," ucapnya pilu. "Dua bulanan lagi aku ke Vienna. Kita ketemu di sana?" "Ditya..." "Aku ga akan membesarkan hati kamu, Nad. Aku ga tau apa yang terjadi antara mereka berdua. Tapi aku yakin, kamupun bisa melihat... Kalau cara mereka saling memandang..." Ditya ragu melanjutkan. "Seperti itu..." Wajah Nadine semakin sendu. Ya, ia bisa melihat, Nathan memandang Rossie tidak dengan cara yang sama pria itu memandang dirinya. Kemarin, bahkan Nathan tak meliriknya sama sekali kala tak sengaja bertemu dengan Rossie. Tatapan Nathan terpaku, bahkan mungkin Nathan menghitung berapa kali Rossie menarik dan menghembuskan napas. Nathan tak pernah berhenti mencintai Rossie. 'Ponsel Nadine bergetar di genggamannya.' Nadine menatap layar ponselnya yang terus saja tak henti bergetar dan memecahkan lamunannya. Entah kenapa, kali ini ia gelisah melihat nama Nathan yang muncul di sana. "Nathan..." "Kamu ga apa-apa, Nad? Sudah sampai bandara?" "Hmm..." "Nad..." Nadine terdiam... Nada suara Nathan terdengar begitu berbeda. "Nad?" "Ya?" "Selama beberapa waktu mungkin aku tak akan bisa dihubungi. Tapi mungkin sekitar tiga bulan lagi aku akan menemuimu di Vienna.” "Kenapa?" "Aku harus merawat Rossie?” 'Sekarang bahkan dia berani mengatakan ini.' "Kamu ga perduli sama aku lagi?" Nadine bisa mendengar Nathan mengatur napasnya di ujung telpon sana. "Kamu bilang kamu ingin menyerah. Mungkin kamu benar, Nad." "Nathan!" "Nanti aku kabari begitu akan pergi ke Vienna. I’m sorry, Nad." Nadine membeku ketika mendengar nada putus di ponselnya yang mengakhiri pembicaraan mereka berdua tadi. "Nadine?" tegur Ditya. "Nad?" "Nadine ga jadi balik, Ditya. Nadine harus ketemu sama Nathan!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD