FIVE: PELUKAN PERTAMA

2601 Words
"Rossie?" Rossie memalingkan wajahnya, tersenyum begitu menatap wajah Ditya. Pantas saja ia begitu mengenali suara bariton khas Ditya. "Ditya..." lirihnya. Ditya mendekatinya, memeluknya hangat, melabuhkan satu kecupan di puncak kepala Rossie. "Gue ga nyangka bakalan ketemu lo dj sini. Lo tinggal di sini?" tanya Ditya. Rossie mengangguk, lalu mempersilahkan Ditya untuk duduk di bangku taman di hadapannya. "Lo apa kabar, Dit?" "Fine. Thanks for asking. Lo sendiri gimana?" "Seperti yang lo lihat." "You look better, Ros." Rossie mendengus. Pilu terpancar dari pandangan kedua netranya. "Harusnya ga begini." lirihnya pelan seraya menundukkan pandangannya. Ditya tak ingin menanyakan maksud Rossie lebih jauh. Sudah bertahun-tahun mereka berdua tak pernah bersua, Ditya tak ingin mengacaukan pertemuan tak sengaja mereka ini dengan pertanyaan pribadi yang menyayat emosi. "Gue suka halaman lo. Nyokap gue juga suka menanam bunga-bunga di halaman rumah, tapi nyokap lebih suka mawar, sementara lo kayaknya lebih suka myrtle. Rossie kembali menegakkan punggungnya, menatap Ditya seraya tersenyum. "Makasih. Ga sesuai sama nama gue ya? Gue juga nanam mawar kok, cuma ga sebanyak myrtle. "Lo masih ngajar melukis?" tanya Ditya lagi. "Ngga. Elo?” "Gue juga ngga." Jawab Ditya seraya terkekeh. "Gue pikir lo suka banget mengajar lukis begitu.” "Banget. Tapi... Banyak hal terjadi di hidup gue, salah satunya adalah berhenti mengajar tanpa gue tau alasan apa yang bikin gue ngambil keputusan itu. Rossie tertawa. "Lo masih aja absurd tau ga.” "Kan lo bilang, 'absurd ' nama tengah gue.” Rossie lagi-lagi tertawa. "Ditya..." "Hmm..." "Sebelum lo datang, gue kepikiran pengen jalan-jalan ke London. Lo sibuk ga?” "Gue siap jadi supir dan pemandu lo. Mau jalan sekarang?” "Gue perlu make up-an ga?” "You're already beautiful, Ros." "Dasar tukang bohong!” Ditya tertawa geli. "Wait, I'll take my sweater and bag." "Ok." Setelah menunggu sekitar lima belas menit, Rossie muncul kembali di hadapan Ditya, wajah cantik perempuan itu terlihat lebih segar dengan pulasan tipis make up berwarna natural. "Maaf lama, gue harus ganti kursi roda. Kursi roda yang tadi gue pakai baterainya hampir habis.” "Tenang aja, gue ga punya isteri yang nunggu gue sambil ngangkat penggorengan di tangannya kalau gue pulang telat.” Rossie lagi-lagi tertawa geli mendengar candaan Ditya. "Stop it, Ditya!" "Are you ready to go?" "Hmm!" jawab Rossie seraya menganggukkan kepalanya. Ditya lalu mendorong kursi roda Rossie mendekati mobilnya, membuka pintu di samping pengemudi, lalu kembali mendekati Rossie. "I'm sorry, Ros." Ujar Ditya seraya bersiap menggendong Rossie untuk masuk ke mobilnya. "Gue bisa jalan, Ditya. Gue pakai kursi roda karena kaki gue lemas.” "Lo bisa jalan nanti, sekarang gue gendong dulu aja biar lo ga capek.” Ditya mengangkat Rossie, mendudukkannya di kursi, mengambil selimut rajut tipis yang tergeletak di jok belakang untuk menyelimuti kaki Rossie. "Thanks." Ditya hanya tersenyum, lalu beranjak melipat kursi roda dan memasukkannya ke bagasi mobil sebelum mereka melaju membelah jalan menuju kota London. "So, kemana kita akan pergi?" tanya Ditya begitu mereka mendekati kota London. "The Common Press, Fortnum & Mason, dan mampir di Palomar sebelum balik ke Shere." "Ok! First stop, a book café?" Rossie mengangguk dengan wajah riang. "Ok. Can you set it on GPS, please?" "Oke. Lo belum pernah ke The Common Press ya?” "Pernah, cuma gue ga mau buang-buang waktu gara-gara salah jalan.” "Ok." Sekitar setengah jam kemudian, mereka sampai di sebuah tempat bernama The Common Press. Toko buku itu memiliki atmosfer yang begitu nyaman. Pecinta buku kota London menyebut tempat itu sebagai surganya dunia sastra, bahkan jika beruntung, buku-buku yang tidak biasa ditemukan di toko buku besar bisa kita dapatkan di toko itu. Jangan lupakan secangkir kopi yang baru diseduh saat pengunjung memesannya sebagai teman saat membaca buku. Ditya mendorong kursi roda Rossie ke dalam tempat itu, memposisikan Rossie di bagian buku anak-anak. Entah apa yang dicarinya. "Ponsel gue ketinggalan di mobil. Lo bisa nunggu di sini sebentar sementara gue ngambil ponsel?" tanya Ditya. "Ok." "I'll be back." Ujar Ditya seraya meninggalkan Rossie. Setelah mengambil ponselnya, Ditya hendak kembali ke dalam bookshop. Begitu ia membuka pintu, langkahnya terhenti karena dua orang yang terdiam di depan pintu masuk. Ditya hendak melangkah melewati mereka, tetapi langkahnya pun ikut terhenti kala menatap Rossie yang terdiam dengan wajah sendu menatap dua orang di depan Ditya. Ditya memalingkan wajahnya, ikut terdiam melihat wajah shock Nadine dan Nathan. "Ehem!" Ditya berdehem, memecahkan kebekuan kedua orang di sampingnya yang tak menyadari kehadiran Ditya. "Ditya?" lirih Nadine. "Hey Nad, Nathan." Sapa Ditya. Nathan diam saja, kedua netranya masih terpaku pada Rossie. "Are you done, Ros?" tanya Ditya seraya melangkah mendekati Rossie. "Iya. Lo ga mau beli buku?” "Ngga! Gue mau nyoba kopinya aja, wanginya enak. Lo mau?” "Ngga, makasih. Gue mau beli s**u coklat di Fortnum & Mason." jawab Rossie. Ia sudah memalingkan wajahnya dari memandangi Nathan sedari Ditya mengajaknya bicara. Lebih tepatnya, menghindar dari tatapan Nathan. Ditya mengambil buku-buku yang ada di pangkuan Rossie, lalu melangkah ke kasir, membayar buku-buku itu sekaligus memesan satu cup kopi panas. Selagi menunggu, Ditya memperhatikan ketiga orang yang tak jauh darinya, tak ada yang bergerak, ketiganya tetap saja di posisi masing-masing, hanya Nadine dan Nathan yang sedikit menggeser posisinya agar tidak menghalangi pengunjung lain yang ingin masuk. Usai menyelesaikan urusan pembayaran dan mendapatkan kopi hangat yang diinginkannya, Ditya kembali mendekati Rossie, meminta perempuan cantik itu memegang cup kopinya, sementara Ditya bersiap mendorong kursi rodanya untuk meninggalkan toko buku itu. "Ros..." lirih Nathan. Ditya menghentikan langkahnya tepat di samping Nathan. "Kamu ngapain di sini?" tanya Nathan. Ditya bisa mendengar nada frustasi di balik suara Nathan. "Cuma jalan-jalan sama teman lama. Kami ga sengaja bertemu di Shere tadi." jawab Rossie. Sendu... Bahkan suara Rossie terdengar bergetar ketika menjawab pertanyaan Nathan. "Nanti gue yang antar Rossie pulang. Ga usah khawatir." ujar Ditya ramah. Nathan diam, hanya menatap lekat Rossie yang terus saja tak mau memandangnya. Ditya kembali melangkah, keluar dari toko buku, mendekati mobilnya yang diparkir di depan tempat itu. Baru saja Ditya selesai menggendong dan menempatkan Rossie di kursi penumpang, Nathan mendekatinya ketika Ditya melipat kursi roda Rossie. "Rossie sama gue aja." ucap Nathan seraya menahan bahu Ditya. "Pardon?" "Rossie biar sama gue." ulang Nathan. Kali ini Nathan melepaskan cengkramannya di bahu Ditya. Ditya tertawa sinis. "Terus lo ninggalin Nadine sendirian?" "Gue udah ngomong sama dia, dia ga keberatan pulang sendiri. Atau kalau lo mau, lo bisa antar Nadine." Ditya lagi-lagi tertawa sinis. "Wah! You're really something, man!" Nathan hendak mengambil kursi roda dari tangan Ditya, tetapi Ditya tak membiarkannya, tangannya mencengkram pergelangan tangan Nathan. " Rossie mau jalan-jalan, dan gue udah bersedia nemenin dia. Gue ga perduli ada apa di antara lo berdua. Yang pasti, sekarang Rossie tanggung jawab gue. Gue yang nemenin dia dan gue yang bakal nganter dia pulang." tegas Ditya. "Rossie tunangan gue!" desis Nathan. "Terus Nadine cewek lo? Wah! Maruk banget lo!" sindir Ditya. "Ga usah ikut campur! Bukan urusan lo!” "Gue tau ini bukan urusan gue! Kalau lo mau ngomong sama dia, nanti begitu dia sampai rumah. Sekarang, biarin dia senang-senang, nyiapin hatinya buat ngomong sama lo. Kalaupun lo sekarang sama-sama, lo berdua cuma bakalan bertengkar. Lo mau bikin malapetaka dengan ribut sepanjang jalan?” Kali ini Nathan terdiam. Ditya tak memperpanjang ucapannya, ia kembali bergerak, memindahkan kursi roda Rossie ke dalam bagasi mobilnya, masuk ke balik kemudi, lalu pergi meninggalkan Nathan yang terpaku di tempatnya, juga Nadine yang terdiam sendu masih di tempatnya berdiri sedari tadi. *** "Ros? Are you ok?" Tanya Ditya begitu ia memarkirkan mobilnya di depan rumah Rossie. Rossie menatap Ditya datar. Ditya tahu, temannya itu tak yakin apa yang akan dihadapinya nanti. "Lo mau gue temani masuk?" Tanya Ditya lagi. Kali ini Rossie menggeleng. "Dia suka kasar sama lo?" Ditya bertanya lagi. Rossie pun menggeleng lagi. "Gue bisa instal aplikasi spy kalau lo ijinin. Cuma perlu satu kata dan suara lo untuk aktivasi. Gue bakalan datang kalau terjadi hal-hal yang di luar kontrol.” "Ga usah, Ditya. Gue tau banget dia. Dia bukan orang yang kasar. Kalaupun dia nyakitin gue, itu jauh lebih baik daripada hidup kayak gini.” Ditya mendengus. "Dia cinta sama lo?” "Banget, menurut gue!” "Lo tau cewek yang sama dia tadi?” Rossie mengangguk. "Dia yang ngisi hati Nathan waktu gue ninggalin Nathan begitu aja.” "Dan lo ga masalah lihat Nathan kayak gitu?” "Dia takut gue mati, Ditya.” Ditya terdiam. "Gue tau, apapun alasannya, Nathan ga seharusnya seperti itu. Tapi cuma Nadine yang bisa mengerti Nathan, seperti gue mengerti dia.” "Harusnya gue ga pernah kembali. Sekarang, kalaupun gue pergi diam-diam, Nathan bakalan nyariin gue. Semuanya salah gue." Lirih Rossie lagi. Ditya benar-benar tak bisa memahami situasi aneh diantara mereka bertiga. Sepertinya mereka terjebak dalam keadaan saling menyakiti. "Gue hamil, dan gue ga ngerti gimana caranya bilang sama Nathan.” 's**t!' Ditya sungguh tak berani menanggapi. Ia takut terlalu ikut campur dan justru memperumit masalah. "Dan kehamilan berbahaya buat gue. Mungkin gue bakalan mati sebelum ngelahirin anak kami.” Ditya menarik napas panjang, menahannya di paru-parunya, menghembuskannya perlahan. Pilu, ia begitu pilu membayangkan nasib teman baiknya yang duduk di sampingnya saat ini. Tak lama mereka saling terdiam, Nathan datang mengetuk pintu mobil di sisi Rossie. Rossie memaksakan senyumnya, membuka kunci pintu. "Hi baby..." sapa Rossie ramah, seolah tak ada kejadian apapun sebelumnya. Nathan terdiam, menatap lekat Rossie. Ya, Ditya bisa melihat, pria itu menyayangi Rossie. Ada gurat penyesalah di wajahnya. Entah apa alasannya bermain hati hingga enggan melepaskan Nadine. "Hey..." lirih Nathan pelan. Ditya turun dari mobilnya, menyiapkan kursi roda Rossie. Sementara Nathan sudah menggendong Rossie di depan dadanya, menunggu Ditya mendekat. "Sayang, kamu keberatan gendong aku ke dalam?” Nathan tersenyum, lalu menggeleng menjawab pertanyaan Rossie. "Biar gue yang bawa ini semua ke dalam." Ujar Ditya menanggapi tatapan Nathan padanya. Tak lama, Ditya pamit, meninggalkan pasangan itu. Berharap semoga tak ada kejadian apapun yang akan mendatangkan sesal bagi keduanya. *** Sekitar satu jam kemudian, Ditya memarkirkan MPV hitam miliknya di garasi kediamaannya. Sebelum mematikan mesin mobilnya, ia melirik ke dashboard, mencari tahu berapa lama ia menghabiskan harinya di luar rumah hari ini. 'Wah, udah hampir tengah malam.' Ditya berjalan santai memasuki rumahnya melalui pintu belakang rumah. Langkahnya semakin lambat kala menatap seorang gadis tengah duduk di living room rumah itu. "Nadine?" tegur Ditya penuh tanda tanya, tak paham dengan keberadaan Nadine di rumahnya. "Hey. Besok Nadine flight pagi. Ditya keberatan temani Nadine ke airport?" "Oke. Jam berapa?" "Flight jam sembilan." "Ok." "Aku ke kamar ya?" tanya Ditya. Ia benar-benar tak yakin apa yang membuat Nadine ada di rumahnya. "Ngobrol sebentar boleh?" tanya Nadine. Ditya melangkah ke mini bar sejenak, mengambil secangkir air, lalu kembali ke living room, duduk di single sofa di samping Nadine. Ditya urung bertutur sama sekali, hanya diam, tak memulai pembicaraan. Setelah beberapa menit yang hanya diisi dengan kesunyian, akhirnya Nadine membuka suaranya. "Maksud Ditya jalan sama Rossie apa?" Ditya mengerutkan keningnya, menatap Nadine dalam. Nadine tahu, Ditya tak mengerti maksud pertanyaannya. "Apa Ditya ketemu Rossie untuk ngomongin sesuatu dari pembicaraan kita kemarin?" Ditya mendelik, lalu mengatupkan bibirnya, lantas tersenyum pada Nadine. "Kamu curiga aku ikut campur urusan kalian?" Kali ini Nadine yang terdiam. Memang itu maksud pertanyaannya. "Kenapa ga tanya Nathan?" tanya Ditya lagi. Nadine masih diam. "Well, aku punya sahabat di Shere, dia buka café dan minta tolong aku untuk design perlengkapan marketingnya. Pulang dari tempat dia, aku lihat Rossie, lalu aku parkir, turun dari mobil, dan nyapa dia. Dia bilang dia kesepian, pengen jalan, tapi karena kondisinya ga memungkinkan jalan-jalan sendiri, aku menawarkan diri untuk nemenin dia jalan." Ditya mengambil napas sejenak, seraya menatap Nadine yang masih terdiam. "Di jalan, aku baru tau kalau Rossie tinggal dengan Nathan. Habis jalan dan semua yang Rossie pengen didapat, aku antar lagi dia pulang. That's it." "Sorry, Nad. Aku bukan tipe orang yang senang ngorek-ngorek masalah orang lain. Kalau aku dipercaya untuk mendengarkan, aku dengarkan. Kalau tidak, ya sudah. Aku ga punya hak untuk menghakimi atau ikut campur kehidupan orang lain, kecuali orang itu keluarga atau orang yang aku cintai." Lanjut Ditya lagi. "Ditya sedekat apa sama Rossie?" "Cukup dekat, tapi ga sedekat itu sampai kita mau berbagi kehidupan pribadi." Nadine lagi-lagi terdiam. "Masih ada yang mau kamu tanya?" Nadine tak menjawab, ia hanya meremas-remas jemarinya sedari tadi. "Is this conversation end?" tanya Ditya lagi. "Ditya... Nadine ga ngerti kenapa Nathan ga bisa memilih satu diantara Nadine dan Rossie." Lirihnya. "Kamu ga ngerti, atau kamu berusaha denial?" "Maksud Ditya?" "Kamu tau maksud aku, Nad." "Nathan cinta Nadine." "Lantas kenapa dia ga bersama kamu seutuhnya?" Nadine memalingkan wajahnya, menatap Ditya lekat. "Dia yang ngambil Nathan dari Nadine!" ucap Nadine getir. Ditya memilih diam. Percuma menasihati seseorang yang belum siap menerima masukan kita. Lagi pula Ditya tak tahu apapun tentang cerita mereka. Terlalu banyak hole plot dari curhatan yang Nadine ceritakan kemarin, ditambah Rossie yang bungkam sepanjang perjalanan mereka tadi. "Nad, aku ga punya kapasitas untuk nasihatin kamu. Ditambah lagi aku ga ngerti apa yang terjadi di antara kalian bertiga. I can only offer myself to be your friend. Kalau kamu butuh teman, untuk dengarin kamu, untuk mendukung kamu, I will try my best." "Hmm..." "Kita istirahat?" "Ditya duluan aja." "Kok gitu? Besok kamu flight pagi kan? Yuk, istirahat." Mau tak mau, Nadine mengangguk. Ditya berdiri dari tempatnya duduk, begitupun Nadine, berjalan beriringan menuju tempat mereka beristirahat malam itu. "Kayaknya baru kamu cewek yang nginap di sini? Daddy ga bilang apa-apa?" "Viona emang ga pernah nginap?" "Ngga. Aku yang ke unitnya. Atau di hotel. Kalaupun ke sini ga pernah nginap, Daddy ga suka." "Oh. Kok Nadine malah ditawarin tadi?" "Oh ya?" "Iya, tadi Nadine datang udah bawa suitcase. Rencananya habis ngobrol sama Ditya, Nadine mau nginap di hotel dekat airport aja. Mungkin karena Nadine datang pas hujan, jadi Om nawarin nginap aja. Besok diantar Om atau Ditya katanya." Ditya terkekeh. "Ngga. Daddy bukan tipe orang yang gampang kasihan hanya karena hujan. Pasti Daddy suka sama Nadine." Kini Nadine yang terkekeh. "Pantas tadi Om iseng banget pertanyaannya." "Nanya apa?" "Nadine mau ga jadi mantunya?" ucap Nadine sambil tertawa. Ditya justru diam. Seumur-umur dia memiliki pacar atau teman perempuan, tak satupun yang pernah diajak bicara hal pribadi seperti itu oleh Wisnu, walaupun sekedar bercanda. "Ditya?" "Oh, maaf ya Nad. Maaf kalau Daddy bercandanya keterlaluan." "Kok ngomong gitu? Nadine bukan tipe Ditya ya?" Pertanyaan Nadine justru membuat Ditya salah tingkah. "Kalau pertanyaannya aku balik, jawaban Nadine apa?" Dan akhirnya Nadine pun terdiam. Dalam sunyi mereka melangkah di anak-anak tangga rumah itu. "Good night, Nad." Ujar Ditya begitu mereka tiba di selasar lantai dua rumah itu. "Good night, Ditya." Balas Nadine. Ditya berjalan ke kanan, menuju ke kamarnya. Sementara Nadine masih terdiam menatap punggung Ditya. Begitu Ditya berdiri di depan pintu kamarnya, kilasan wajah sendu Nadine kala bertemu dengan Rossie dan dirinya muncul di benaknya, hatinya turut berdenyut nyeri membayangkan betapa sakitnya hati perempuan yang belum genap sebulan ini ia kenal itu. Ditya berbalik. Pandangan mereka saling bersirobok, menatap dalam satu sama lain. Tak ada yang berusaha memalingkan pandangannya. Entah apa yang merasuki Ditya, ia melangkah pasti mendekati Nadine, merengkuh lembut Nadine dalam pelukannya. Nadine terdiam, tapi pelukan Ditya rasanya begitu nyaman. Nadine bisa merasakan bentuk tubuh atletis Ditya, menghindu wangi maskulin yang berpadu dengan parfum lembut yang digunakannya. Dan entah apa yang terjadi pada Nadine, kedua tangannya terangkat, balas merengkuh Ditya lembut. Keduanya bahkan bisa merasakan detak jantung mereka yang mulai tak normal. Untuk beberapa saat, tak ada yang ingin mengurai pelukan itu, hanyut dalam kenyamanan karena kehadiran satu sama lain. "Ditya..." lirih Nadine pelan. "Nadine..." balas Ditya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD