Tania bab 5

1133 Words
Seminggu Delon menemani Tania di Semarang untuk mengurus aset-aset peninggalan keluarga Tania yang akan di jual. Berupa tanah, rumah dan toko. Tapi Delon menyarankan agar Tania hanya menjual tanahnya saja. Karena rumah dan toko bisa untuk disewakan dan bisa sebagai tabungan masa depan bagi Tania.  Tania merasa Delon memang memiliki banyak pengalaman dalam hal ini. Dia beruntung dipertemukan dengan Delon. Meski baru mengenal, entah mengapa Tania begitu mempercayai Delon.  “Menjual tanah saja sudah cukup kalau untuk modal kafe dan karaoke. Kamu bisa beli tempat kosong di sebelahku, jadi biaya pembangunan sudah tidak usah kamu pikirkan lagi,” ucap Delon dalam penerbangan dari Semarang kembali ke Jakarta.   “Delon, kamu benar-benar baik.” Tania menatap Delon penuh kekaguman.  Telapak tangan Delon yang besar mengusap wajah mungil Tania. “Kamu jangan memperlihatkan wajah bodoh kamu di depanku.”  Tania mendengkus. “Delon,” pekiknya. Apa dia sebodoh itu? “Aku tahu kamu zero dalam bisnis seperti ini.” Tania benar-benar tidak suka dengan seringai Delon. Tapi dia harus kuat, karena saat ini hanya Delon yang mau membantunya.  “Kamu tenang saja, aku akan bantu kamu untuk mengelolanya.” “Sekali lagi. Ini bukan kebodohanku. Aku hanya diajarkan untuk berterima kasih dan mengakui kebaikan orang lain terhadapku,” ucap Tania dengan lantang. “Terima kasih bapak Delon yang terhormat karena telah membantuku,” imbuhnya.  Delon tersenyum tipis. Namun, Tania tidak dapat melihat senyumnya. Hanya Delon sendiri yang tahu alasan di balik dia mau membantu wanita yang baru dikenalnya.  *** Tania dan Delon semakin kompak, selera mereka dalam mendesain interior cafe dan tempat karaoke hampir sama. Bangunan dua lantai itu dijadikan cafe di lantai satu dan tempat karaoke di lantai dua.  Setelah mereka mengungkapkan keinginan mereka pada desainer interior. Mereka membiarkan para ahli mengabulkan keinginan mereka.  Tania dengan gaya tomboy, namun image feminim tetap melekat kuat di dirinya. Membuat Delon sulit menerima Tania, baginya perempuan yang kini duduk di jok belakang motornya dan melingkarkan tangan ke perut ratanya itu, terlalu aneh dan terlalu memaksakan diri agar terlihat beda. Meski begitu, Delon tetap memakluminya, karena besic Tania yang seorang perawat dan terbiasa rapi.  Sedangkan Tania merasa kemisteriusan Delon dengan menyembunyikan identitasnya, tidak begitu menakutkan, dia tidak berpikir sama sekali, apakah Delon itu teroris, pembunuh bayaran, atau bandar narkoba, atau jangan-jangan dia seorang mafia? Yang jelas Tania merasa nyaman dan cocok saat membangun kedekatan dengan Delon. Dia tidak peduli saat ini dia berurusan dengan siapa dan masalah apa yang akan dia hadapi. Yang dia tahu Delon hanya seorang pemilik klub dan bar dalam satu gedung. Satu lagi dia anak Mami Ine--wanita tua yang memaksa tubuh kendornya agar tetap terlihat kencang. Tania menepis semua keanehan dari ibu dan anak itu. Dia terlalu fokus pada kebaikan Delon dan cara Delon memperlakukannya. Tania memang wanita yang mudah menaruh hati.  “Kita istirahat dulu, di sini,” ucap Delon yang tiba-tiba menghentikan motornya.  Tania turun dari motor dan berdiri menghadap langit jingga, membelakangi Delon yang tetap berada di atas motor.  “Delon, kamu sudah lama mengurus klub?” tanya Tania sembari tetap menatap langit. “Tujuh tahun yang lalu.” Delon menatap sisi rambut Tania.  “Kenapa kamu memilih klub dan bar?” Tiba-tiba Tania menoleh. Membuat mata mereka bersirobok dalam jarak yang sangat dekat. Mata Delon menyapu seluruh wajah Tania. Kecantikan dan kepolosannya membuat Delon merasa ingin memilikinya. Tapi, dia tidak menyukai Tania yang terlalu banyak bertanya dan ikut campur.   “Kamu terlalu banyak bertanya,” desis Delon.  “Maaf.” Tania segera menundukkan pandangannya. Kemudian dia naik kembali ke atas motor Delon.  Delon terdiam. Dia tak langsung melajukan motornya. Senyumnya tipis terukir. Kecurigaan Delon terhadap Tania memang benar, Tania orang yang tidak enakan dan selalu menghindari masalah. Padahal dengan menghindari masalah justru dia sedang menambah masalah baru.  *** Setelah hampir satu bulan Tania mengelola bisnis kafe dan karaoke dengan Delon, dia merasa lebih baik dengan kesibukannya sekarang, karena membuatnya lupa dengan masalah berat dan rasa kesepiannya. Meski modal yang dikeluarkan belum tergantikan dengan hasil yang didapatnya.  Delon melambaikan tangan pada Tania yang sedang duduk di meja kasir memeriksa beberapa data keuangan. Tania segera berdiri dan berjalan ke arah Delon.  “Ada mami,” bisik Delon sembari merangkul pinggul Tania.  “I-iya.” Tania gugup, namun tetap berusaha tenang. Dia menegakkan dan merapatkan tubuhnya hingga menempel pada Delon. Agar aktingnya terlihat maksimal di depan perempuan beralis pensil itu. “Sore Mami,” sapa Tania ramah.  Mami Inne melewati Tania begitu saja, bahkan sapaan Tania pun tak dihiraukannya.  Tania mendongak menatap Delon. Kenapa dia harus sedih, bukankah dia dan Delon hanya pura-pura pacaran.  Delon tersenyum tipis memberi isyarat agar Tania tak memasukan ke hati perlakuan Maminya.  “Delon jadi ini, bisnis baru kamu?” Wanita tua itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe, sembari duduk. “Iya, Mi. Full modal dari Tania,” ucap Delon sembari mendaratkan bokongnya.   “Oh,” deliknya.  Delon mengajak Tania untuk duduk di sebelahnya.  “Kamu nggak mau bikinin Mami kopi?”  “Siap, Mi.” Tania hendak beranjak tapi pergerakannya di hentikan telapak tangan Mami Inne yang mengacung ke udara. “Panggil pelayannya ke sini.”  Tania mengangguk sembari duduk kembali. Dia harus berada di antara orang-orang dengan seringai yang sering kali melukai hatinya, tapi bukankah itu yang akan melatih hatinya menjadi kuat.  Delon melambaikan tangan pada salah satu pelayan kafenya. “Pacar kamu anak orang kaya, ya? Bisa modalin kamu kafe sama karaoke.” “Kita bisnis bareng, Mi. Bagi hasil,” terang Delon  “Oh. Mami kira.” “Ya kali.” Delon membuang muka.  Tania lebih baik diam. Seringai nenek tua itu tidak pantas untuk dibantah biarkan anaknya saja yang menjawab pertanyaannya.  “Kata Wawan, kalian sibuk pacaran. Klub jadi nggak keurus.” Bibir tipis itu hanya percaya apa yang dikatakan Wawan. “Nggak juga kok, Mi. Tiap malam aku ke Klub, buat mantau.”  “Ini Kafe tutup jam berapa?”  Lagi-lagi wajah datar nenek tua membuat Tania merasa tak perlu menjawabnya. Tania hanya menarik napas dan mengeluarkannya perlahan. “Jam sepuluh,” jawab Delon, tanpa melepas rangkulan tangannya dari bahu Tania.  “Good.” “Mami pergi ya,” ucapnya usai menenggak kopi terakhir. Dia beranjak tapi kemudian menoleh. “Inget, pacar kamu jangan sampai hamil.”  Delon tersenyum kering. Bisa-bisanya Mami berkata seperti itu di tempat umum seperti ini.  Tania mengernyit. Apa Delon memang sering menghamili anak orang? Sampai Maminya mewanti-wanti Delon seperti itu.    Mami Inne pergi diikuti Wawan orang kepercayaannya. Tania menatap Delon dengan tajam. “Kamu sering hamilin anak orang?”  Delon hanya mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban.  Tania bangkit. “Terus kenapa Mami ngomong gitu?”  “Nggak usah di pikirin, Mami emang gitu.” Delon ikut berdiri.  Tania mendengkus. Dia harus dapat jawaban kenapa Mami Inne berkata seperti itu. Tania melenggang pergi dari hadapan Delon. Dia salah kalau berpikir Delon tidak pernah tidur dengan wanita lain.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD