Tania Bab 4

1166 Words
Setelah lima hari menjadi penghuni baru apartemen di sebelah apartemen Delon. Dia tak pernah keluar dan hanya mengurung diri. Menghabiskan waktunya dengan tidur, mendengar musik, dia tak melakukan kegiatan apapun, sesekali menangisi keadaannya, terkadang lupa dengan dirinya yang ingin menjadi kuat. Baginya, pura-pura kuat di depan orang lain itu, melelahkan.  Sudah dua hari pesan dari Delon dia abaikan, dia lupa tidak memberi nama pada kontaknya. Nomor yang di pakai Tania baru dibeli beberapa hari yang lalu saat dia pergi ke mall bersama Delon. Dan hanya Delon yang tahu nomornya.  Hampir setiap pagi dan sore Delon menekan bell, namun pintu tak pernah terbuka. Tania benar-benar wanita aneh. Harus dengan cara apa Delon menerornya agar Tania mau membukakan pintu? Atau setidaknya membaca pesan darinya jika dia tidak mau membalasnya.  Delon menyelipkan surat ke bawah pintu. Kurang baik dan kurang sabar apa Delon, mau-maunya membujuk wanita manja seperti Tania.  Setelah itu dia pergi untuk mengurus beberapa pekerjaan di klub.  Tania berdiri di depan pintu, dia selalu mengintip Delon di balik pintu dari lubang kecil, terkadang dia tersenyum melihat wajah sangar Delon yang terlihat kesal karena pintu tak juga terbuka.  Tania berjongkok dan mengambil surat itu lalu membacanya.  Cewek aneh, mau sampai kapan kamu mengurung diri? Berhentilah meratapi nasib sialmu itu, membuat para setan bahagia melihatmu terpuruk.  Tania tersenyum mendapat secuil perhatian dari Delon.  Sekarang apa yang akan dia lakukan? Apa datang ke club menyusul Delon? Atau tetap di rumah saja? Dia bingung sendiri setelah mendapat surat singkat dari Delon.  Delon memiliki paras yang cukup tampan. Badannya besar dan kekar, otot-otot membentuk sempurna tubuhnya. Membuat jomplang Tania berdiri di sebelahnya. Tinggi Delon hampir dua meter, 187 cm. Jauh dengan Tania yang hanya 160 cm dengan berat 45 kg. Bahkan dia hanya sedada Delon, jika pria itu berbuat macam-macam dia pasti kesusahan untuk lari.  Setidaknya hari ini ada sesuatu yang bisa ditertawakan, meski hal kecil seperti itu. Tania mengurung diri dan menarik diri dari dunia luar selama hampir lima hari. Semenjak kepergian keluarganya, Tania memang sudah biasa seperti itu. Namun, hari ini mendadak dia ingin keluar dan menyusul Delon ke klub.  Dia bersiap-siap mengenakan tanktop hitam dengan jaket leather dan celana legging sobek-sobek berwarna senada. Rambut bob dibiarkan tergerai. Dia juga memberi warna marun pada bibirnya, riasan mata hanya menggunakan eyeliner dan maskara saja.  Dia menghentikan taksi di depan klub. Masih terlalu sore, untuk datang ke tempat seperti itu, tapi niat Tania adalah untuk menyusul Delon.  Tania melambaikan tangan saat melihat Delon keluar dari klub bersama beberapa orang pria berseragam hitam.  Delon mengernyit dan berlari ke arahnya. Kedatangan Tania merupakan kejutan baginya. “Hei, Honey. “ Satu kecupan mendarat di pipi Tania, membuat si pemilik mata bulat itu mematung seraya memelototinya. “Ada Wawan,” bisik Delon.  Tania mendengkus. “Wawan itu siapa?”  Delon memposisikan dirinya menghalangi tubuh mungil Tania dari pandangan jahat Wawan. “Orang kepercayaan Mami.”   Tania mengangguk paham. Dia harus mengikuti permainan Delon jika ingin selamat. Itu yang pernah Delon ucapkan padanya.  Delon merangkul pinggul Tania dan mengajaknya masuk ke klub.  *** Sudah hampir tiga minggu Tania bertetangga dengan Delon, dia menjadi lebih akrab, bahkan dia sudah tahu apa yang disukai dan tidak disukai Delon. Tania merupakan orang yang mudah belajar memahami orang lain, itupun jika dia mau. Namun, terkadang rasa malas dan tidak pedulinya terlalu mendominasi, jika saja ada satu hal yang tidak dia sukai dari orang itu. Dan sejauh ini Delon tidak banyak tingkah. Dia bukan penggombal seperti kebanyakan pria. Delon selalu menunjukan tindakan yang menurutnya wajar. Meski kadang seringai Delon membuatnya kesal.  “Kamu nggak kerja?” tanya Delon tak mengalihkan pandangannya dari televisi. Begitupun dengan gadis di sebelahnya yang sibuk mengunyah tanpa mendengar pertanyaan Delon. “Hei.” Delon menyikut Tania agar dia segera menjawab pertanyaannya. “Hmm … aku bingung mau kerja apa?”  Kaki ditekuk, namun Tania menutup paha mulusnya dengan selimut tipis. Dia tak ingin Delon bertindak nakal padanya. Mereka berdua memang punya selera yang sama tentang film, itulah sebabnya mereka mau duduk berdua di depan layar TV LCD menyaksikan film action comedy--Jumanji : The next level.  “Memang dulu kamu kerja apa?” Delon memasukan satu kacang oven ke dalam mulutnya.  “Dulu calon suamiku itu, Dokter dan aku Perawat.”  Delon terbatuk, dan segera menegakkan tubuhnya, kemudian menoleh ke arah Tania. Dia menatap Tania yang tetap fokus pada televisi. “Kamu serius.”  Tania mengangguk tanpa menoleh ke arah Delon. Mulutnya masih sibuk mengunyah kacang oven.  Delon mengambil air dan meminumnya. Dia menciut dibandingkan dengan dirinya yang hanya lulusan SMA. “Terus kenapa kamu nggak balik lagi kerja di rumah sakit?”  Tania menggeleng. “Aku nggak mau balik ke masa lalu, semua yang bisa mengingatkan aku tentang Rega, Reza, Rinda, Doni, Bayu, Mama Ranti, Papa Anton. Semuanya.” “Semuanya?”  Tania kembali mengangguk.  “Terus kamu mau kerja apa?”  Tania menggelengkan kepala. “Ibu punya bisnis butik, tapi aku gagal mengelolanya. Kemarin aku di telepon sama pengurusnya, kerugiannya banyak.”  Delon semakin prihatin. “Kamu jual saja aset di sana. Terus bisnis di sini.”  “Bisnis apa?” Tania sadar dia tak memiliki bakat berbisnis, tapi hanya itu satu-satunya cara untuk dia bisa membiayai hidupnya.  “Kafe? Karaoke?” Tania menoleh. Dia bisa meminta bantuan Delon. Atau mungkin kerja sama. “Memang mau kamu bantuin aku?”  “Tentu saja, Honey.”  Kenapa ada orang sebaik Delon. Padahal jelas-jelas mereka baru saling mengenal dan bahkan belum sampai satu bulan. “Delon,” panggilnya “Ya?” “Umur kamu berapa?” Delon tertawa. “Kenapa memangnya?” “Aku pengen tahu, Delon.” “Memangnya kalau aku lebih tua atau lebih muda dari kamu, kamu nggak mau temenan sama aku?” Tania menatap pria yang bahkan umurnya saja tidak dapat dia tebak, karena rambut gondrong dengan brewok yang lebat, seolah dia sedang menyembunyikan jati dirinya.  Tania tertawa. Dia memegang dagu Delon hingga bulu-bulu di dagu membuat geli telapak tangannya. Lalu dia menggoyang-goyangkannya ke kanan dan ke kiri. “Nggak gitu Delon. Siapa tahu kamu lebih tua dua puluh tahun dari aku, jadi aku bisa memperlakukanmu dengan sopan.”  Delon memegang tangan Tania, kemudian dia mengecup telapak tangan mungil itu. Membuat Tania merasakan debaran di balik dadanya.  “Umur nggak penting, Honey.” “Buat aku penting Delon. Kalau kamu lebih tua, mungkin aku bisa panggil kamu, Mas? Atau Pakde?”  Delon tertawa. Dia mengacak puncak kepala Tania dengan telapak tangannya.  Tania kembali memaksa Delon untuk memberitahu usianya.  “Aku 28 tahun, Honey.” Tania membulatkan matanya. “Kenapa kamu berpenampilan lebih tua dari umur kamu? Kamu kan jadi seperti pamanku. Padahal kita seumuran.” Dengan berani tangan besar dan kekar itu merangkul bahu mungil Tania dan merengkuhnya. “Mungkin nanti aku akan kasih tahu kamu alasannya. Tapi, mungkin juga tidak.”  Tania menjauhkan wajahnya dan menatap Delon. “Alasan?”  “Setiap yang aku lakukan harus beralasan.”  “Terus kenapa kamu mau bantu aku?”  Delon tak menjawab pertanyaan Tania. Dia tidak suka sudah beberapa kali Tania mengajukan pertanyaan yang sama.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD