Tania Bab 3

1122 Words
Setelah mengurus beberapa administrasi, Tania resmi pindah ke apartemen sebelah Delon. Hari ini Delon mengantarnya berbelanja keperluan rumah dan beberapa furniture. Mereka mudah sekali menjadi akrab, padahal, baru saling mengenal tadi pagi.   “Makasih, udah mau bantuin.”  “Ya,” jawab Delon singkat.   “Kenapa kamu mau menolong aku?” Delon mengernyit. “Harusnya kamu nggak perlu tanya itu. Karena itu menunjukan sisi lain dari kamu yang kurang percaya diri,” ucap Delon sembari tetap melangkah.  Tania berhenti melangkahkan kaki. Delon benar. Dia memang selalu ingin tahu alasan orang menolongnya.  Delon menoleh. “Apa perkataanku menyinggungmu?”  Tania tertawa kering. “Tidak, tentu saja tidak. Hanya saja hatiku membenarkan perkataanmu.” Delon ikut tertawa. “Kamu terlalu good girl, walaupun sekarang berpenampilan seperti ini, celana leather hitam, jaket leather, rambut bob.” Delon mencembungkan sebelah pipinya saat menyebut bob. “Marun kecoklatan.” Delon mengibas rambut Tania. Wangi sweet rose menyentuh hidungnya. Kemudian membelai telinga Tania. “Tindikan anting yang banyak.” Lalu dia kembali tertawa.  Tania terdiam saja saat Delon mengejeknya. Dia memang anak yang manis. Dia tidak pernah keluar dari jalurnya, meski dia ingin. “Apa sih, dalaman kamu apa? Tanktop?” Mata Delon bertindak nakal pada Tania.  Tania mendorong wajah Delon agar menjauh darinya. Baru kali ini ada laki-laki selancang itu padanya.  Berkali-kali Tania menolak panggilan dari Mia. Hingga dengan tega dia berniat membuang kartu di dalam ponselnya, sebelum akhirnya Delon mencegah tangan Tania yang hendak menjatuhkan kartu SIM tersebut. “Bukankah dia keluargamu satu-satunya?”  Tania terdiam.  Delon segera merebut ponsel dan merapikannya kembali. “Jangan pernah lakukan hal bodoh seperti itu, karena kamu akan menyesal.” Delon mengembalikan ponsel ke telapak tangan Tania.  Delon benar, setan apa yang merasukinya, hingga dia ingin membuang keluarganya sendiri? Ia kembali berjalan mengikuti langkah lebar Delon.  Beberapa furnitur sudah dipesan. Dia harus segera pulang untuk merapikan apartemennya.  Tapi Delon menarik tangannya. “Kita harus membuat Mami percaya, kalau kita pacaran,”  “Maksud kamu apa?” Tania mengernyit.  “Kamu jangan pura-pura lupa. Mulai sekarang, ‘kan kita pacaran.”   “Hanya pura-pura,” desisnya. Lagi pula Tania tidak mengenal sebahaya apa Delon itu. Dia harus bisa menjaga dirinya dan mewaspadai semuanya.   “Kamu harus bikin tato seperti ini.” Delon menunjukan pergelangan tangan kirinya, yang bertuliskan king dengan mahkota raja di atasnya.  “Apa hak kamu ngatur-ngatur hidup aku?” Tak akan pernah terulang, saat hidupnya dikendalikan orang lain.  “Aku nggak ngatur. Aku cuma mau kamu selamat?”  “Maksud kamu apa?” “Udah nggak apa-apa, kamu nggak akan nyesel kok,” ucapnya sembari menarik tangan kanan Tania.  “Ini terlalu kekanak-kanakkan.” “Anak-anak nggak ada yang masang tato,” terang Delon.   Tania menatap Delon. Apa Delon mengajak setiap perempuan yang di pacarinya, untuk membuat tato yang sama? Tania menggeleng pelan. “Nggak apa-apa, ayo dong, Honey.” Tania tersenyum kering. “Nggak! Ini absurd, Delon. Kita baru kenal.” “Memang apa salahnya? Ini hanya tato, good girl.” Mata Delon menusuk tajam. “Biar, Mami percaya, kalau kita memang ada hubungan.” “Emang kalau Mami kamu tahu, kita nggak pacaran, kenapa?”  Pria berwajah sangar seperti Delon ternyata seorang anak Mami?  “Pokoknya kalau kamu mau selamat, kamu harus ikuti permainanku.” Delon menarik tangan Tania. Dia akan membawa Tania ke tempat jasa pembuatan tato yang ada di mall itu. Tania merasa aneh. Apa saat ini dia sedang berada dalam masalah.   “Kamu serius, ajak aku ke sini?” Tania berhenti di depan pintu.  “Katanya mau jadi beda.” Delon menurunkan bahu.  “Beda nggak harus di tato, Delon. Kamu tidak sedang memanfaatkan aku, ‘kan?”  Delon tertawa. Dia mengacak puncak kepala Tania. “Nggak Honey. Ini hanya sebagai tanda bahwa kamu itu punya aku.” Tania mencebik. Bahkan, Delon baru bertemu dengannya tadi malam. Masalah apa lagi ini?  Tania mengedarkan pandangannya ke ruangan satu petak. Dengan beberapa poster orang bertato. Dia bergidik jijik. Tapi, Delon terus saja meyakinkannya.  “Memang kamu punya berapa banyak Tato?” Delon tertawa. “Cuma ini, Honey.” Delon menunjuk pergelangan tangannya. “Bohong.” Tania membuang muka. Apa harus dia percaya Delon? Hal sepele memang, kenapa Tania harus menanyakan itu? Tak peduli jika seluruh tubuh Delon dipenuhi tato sekalipun. “Nanti kita cek di kamar. Oke.” Tania mengangkat ujung kiri bibirnya ke atas. “Jijik.” Dia seorang perawat. Apa Tania benar-benar ingin berpenampilan berbeda. Apa membuang masa lalu harus seperti itu? Delon tersenyum gemas. Kemudian berjalan pada si pentato dan memberitahunya agar memasang tato di pergelangan Tania sesuai keinginannya.  Ini gila, kenapa Tania mau saja. Bagaimana kalau gagal? Bagaimana kalau hasilnya jelek? Tapi, satu-satunya orang yang mau menampungnya hanya Delon. Bukankah dia ingin menghindari semua orang di masa lalunya?  Akhirnya Tania mengangguk pasrah dan duduk saat Delon memintanya untuk duduk. Dia meringis saat jarum mengenai tangannya. Delon memang berada di sampingnya. Tapi, Tania terlalu aneh karena percaya begitu saja pada orang yang baru dikenalnya, hingga rela melakukan ini.  Dia menatap pria konyol di sebelahnya.  “Nggak apa-apa.” Alisnya terangkat.  Tania memang orang yang tidak bisa tegas pada dirinya sendiri. Dia terlalu mudah  menjatuhkan hati dan mempercayai orang lain.  Sudahlah, mungkin suatu saat tato itu bisa di hapusnya. Dia memandangi tato di tangan kanannya, kulitnya memerah akibat tusukan jarum. Dia merasa berbeda, meski kesan buruk sudah tertanam. Tapi, ini memang terlihat cantik di pergelangan tangannya.  Delon datang membawa dua buah es krim. Dia duduk di sebelah Tania dan menyatukan tangan mereka berdua. “Ini cantik, Honey.”  Entah kenapa Tania tidak menolak saat Delon menyebutnya Honey. Bahkan, hatinya pun tak ingin berontak.  Kini mereka menikmati es krim masing-masing. Tania tertawa saat melihat Delon si pria berwajah tampan, tapi sangar itu, memakan es krim seperti anak kecil.  “Berantakan ih sumpah. Kayak anak kecil.”  “Kamu juga.” Delon mendorong es krim yang sedang dinikmati Tania, membuat es krim itu mengenai hidung dan bagian atas bibirnya. Delon tertawa, begitupun dengan Tania. Dia segera mengambil selembar tisu dan menyekanya.  “Cewek serapi kamu, kenapa bisa jadi seperti ini?” tanya Delon sembari tetap menikmati es krim cone strawberry.  Tania mengernyit. Apa dia harus membiarkan es krim tetap berada di hidungnya hingga kering? “Aku tidak mungkin membiarkan es krim mengering di hidung, Delon?”  Delon tertawa. “Bukan, maksud aku penampilan kamu. Aku yakin ini bukan diri kamu.”  Delon benar, ini bukan dia yang sesungguhnya.  “Kenapa kamu ingin beda, sementara kamu merasa tidak nyaman?” “Kenapa kamu memaksa aku memasang tato? Padahal jelas-jelas aku tidak nyaman.” Delon menelan es krimnya. “Yang itu memang aku harus maksa kamu, biar kamu selamat dari Mami.” “Maksud kamu?” Delon tak menjawab. Dia malah menarik tangan Tania untuk segera pulang. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD