Tania Bab 2

1183 Words
Tania menatap pria gondrong, berwajah sangar di depannya. Sama sekali dia tidak merasa takut padanya. “Dua bulan setelah itu, aku pulang ke Semarang,” ucapnya masih dengan nada yang membuat Delon merasa iba. “Kenapa?” “Hati aku terjebak di masa lalu. Hidup dengan dua orang berbeda, satu wajah yang sama, itu menyakitkan.” Tangannya tak berhenti memberi isyarat. “Ya namanya juga kembar, pasti mirip.” “Gila, ini semua terlalu gila.” Tania kembali bersendawa. Delon semakin mengernyit. “Tapi ini terlalu absurd, Honey. Harusnya mereka melapor polisi dan memberitahu semuanya padamu, bukan mencari tahu sendiri dan--” “Menyembunyikan kematiannya,” pungkas Tania terbata. Delon mengangguk.  “Aku memang bodoh. Aku merasa mereka memanfaatkanku.” Dia menunjuk dadanya. Delon tertawa. “Padahal nyatanya kamu menyusahkan mereka, ‘kan?” Tania menatapnya tidak suka. “Iya. Aku memang sengaja melakukan itu.”  “Berarti kamu pintar.” Tania terdiam sejenak. Dia memang selalu berpikir buruk tentang dirinya sendiri. Tania merasa rendah, diri, lemah, bodoh dan tidak berarti. Tapi, dia  merasa pria di depannya ini berpikir sebaliknya tentang dirinya.  “Aku menghabiskan waktu di Semarang bersama keluargaku.”  “Terus kenapa kamu balik lagi ke sini? Harusnya kamu tetap di sana.” “Satu bulan yang lalu.” Tania menarik napas. “Bapak, Ibu, Mas Bagas, Mbak Delia, Renata … dan si lucu Juno.” Dia membuang napas. Lalu terdiam sejenak. Matanya berembun. “Mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan. Mobil mereka terperosok ke dalam jurang.” Butiran bening turun dari sudut matanya.  Delon menganga. Dia tak mengira memutuskan untuk menyelamatkan Tania dari si hidung belang adalah keputusan yang benar. Jika saja dia mengabaikannya. Tania akan semakin hancur, jika tubuhnya dijamah oleh si biadab. “Honey, Don't cry.” Delon mengusap lembut pipi Tania dengan ibu jarinya. “Aku tahu kamu kuat. Kamu tidak boleh menunjukkan sisi lemah kamu. Keluarga kamu tidak akan suka itu.” Tania menatapnya. Dia mencoba menebak apa yang sedang dipikirkan pria yang ada di depannya itu. “Sekarang aku nggak punya siapa-siapa.”  “Kamu punya keluarga di Jakarta?” Tania mengangguk. “Tante Mia, Dimas. Mereka mengajakku untuk kembali tinggal dengan mereka seperti waktu itu.” “Kalau begitu aku antar kamu pada mereka.” “No, Delon. No!” Tania mengacungkan jari telunjuknya dan menggerak-gerakkannya ke kanan dan ke kiri.  “Kenapa?” Tania menggelengkan kepala cepat. “Aku ingin jadi Tania yang beda. Aku bisa hidup sendiri.”  Delon hanya mengangguk walau tidak paham. “Ini Jakarta Utara, ‘kan?” “Iya.”  “Mereka ada di Selatan.” Tania menunjukkan telunjuknya asal. “Termasuk tempat tinggal calon suamiku, yang sudah bahagia bersama bidadari-bidadari surga.” Dia menatap Delon.  Delon mengangguk. Ada rasa iba di hatinya untuk wanita cantik di depannya ini. Tapi, tidak mungkin Delon menyembunyikan Tania di apartemennya.  “Tapi, kamu nggak bisa tinggal di sini. Terlalu berbahaya, kalau Mami tahu.” Delon menggaruk keningnya. Dia harus memikirkan jalan keluarnya.  “Aku punya uang dan aku bisa membeli satu unit apartemen.”  Delon menatap Tania, tak percaya. “Oke, mana uangnya?”  Mata Tania mencari sesuatu. Tiba-tiba dia memukul keningnya. “s**t!” Dia menatap Delon. “Koper.”  Delon berjalan keluar kamar dan kembali membawa koper Tania. “Ini?”  Tania sumringah. “Haa … iya. Delon you are my angel.” Dengan nada nakal.  “Lebih baik, sekarang kamu mandi. Aku akan hubungi pemilik Apartemen di sebelah. Kebetulan satu unit di sebelahku mau di jual.” “Haa … i like it. Delon. Kamu baik,” Tania sengaja membuat suaranya menggemaskan. Delon melenggang pergi.   *** Ting, tong, ting, tong.  Suara bell membuat Delon panik. Dia mengintip di balik lubang pintu. Kemudian berlari untuk memberi tahu Tania.  Delon masuk ke kamar tanpa mengetuk. Tania keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk dengan rambut sebahunya yang basah.  Delon terdiam menatap Tania. Dia terpesona dengan kecantikan alami yang dimiliki Tania.  “Kenapa?” tanya Tania.  Delon mengerjapkan mata. “Ada Mami.” “Mami?” “Iya. Gawat kalau dia tahu ada perempuan.”  “Terus gimana?”  “Kalau aku bilang kamu adalah kekasihku di depan mami, kamu harus mau. Kalau mau selamat kamu harus nurut.” “Oke.”  “Sekarang kamu di baju. Jangan lupa kalau mami nanya, kita pacaran baru dua bulan. Kenal tiga bulan.” Tania mengangguk. “Masalah baru,” gumamnya. Delon menyampirkan handuk kecil di bahunya. Dia menunduk di bawah wastafel dan membasahi kepalanya dengan cepat.  Kemudian berlari ke depan pintu. Membuka kunci dan membukanya. “Pagi, Mi?”  “Kamu lama benget, Mami sampe pegal nungguin kamu.” Mami Inne masuk dan langsung duduk di sofa.  “Maaf, Mi. Nanggung lagi di kamar mandi.”  “Wawan bilang, kamu bawa cewek ke sini?” “Kurang ajar si Wawan, pake bilang-bilang ke Mami,” gerutu Delon. “Ceweknya mana? Buat Mami aja.”  “Jangan Mi, dia pacar aku, Mi.”  “Oya? Bukannya pacar kamu si Dewi.”  “Itu dulu.” “Oh udah ganti. Namanya siapa?”  “Tania Saputri Diningrat.”   “Ow, anak ningrat?” Delon tersenyum saja. Cari aman.  “Udah dapet?” “Udah Mi.” “Ingat, jangan sampai hamil,” bisiknya. Delon tertawa. “Kamu panggil dia, Mami pengen ketemu.”  Delon bangkit. Berjalan ke kamarnya yang tidak begitu jauh dari tempat mereka duduk. “Honey, Mami pengen ketemu.”  Tania menarik tangan Delon ke kamar. “Mami kamu aneh,” bisik Tania.  “Kalau kamu ikut cara aku bermain, kamu akan selamat,” seringainya.  Tania merinding. Tapi, dia tidak boleh menunjukan sisi lemahnya.  Delon menarik tangan Tania keluar kamar.  “Ini Mi, calon menantu mami.” “Pagi Tante,” Tania mengangguk ramah. Dia meraih tangan Mami Inne dan mengecupnya.  “Jangan panggil tante, panggil Mami saja.” Tania mengangguk. Dia mendaratkan b****g di sebelah Delon. Delon segera merangkul dan merengkuh Tania, agar Mami Inne tidak curiga. Dia mendekatkan hidungnya ke rambut Tania, kemudian menghirup wangi yang menyeruak dari rambut juga parfum Tania. “Kamu wangi.”  Tania merinding. Dia menepuk paha Delon. Berani-beraninya Delon melakukan itu. Mereka baru saling mengenal.  Mami Inne berdehem. Seringainya tidak suka melihat kemesraan Delon pada Tania. Tania tersenyum pada wanita enam puluh tahun yang masih terlihat cantik dan modis itu. “Kata Wawan, pacar kamu ini minggat?” Delon membuang muka. Kemudian menoleh pada Tania. “Iya, Mi.” “Kenapa?” “Masalah keluarga, Mi,” jawab Tania hati-hati.  “Emang kamu tinggal di mana?”  “Di daerah Jakarta Selatan, Mi,” tangkas Delon. Tania menatap Delon. “Di mana nya?”   Sebenarnya Tania tidak terlalu suka penampilan dan gaya berbicara Ibunya Delon. Terlalu menginterogasi.  “Daerah Kemang, Mi.” “Mi, please. Nggak usahlah.” Delon memberi isyarat yang hanya Mami Inne yang mengerti.  “Nggak, S ayang.”  “Benar ya, Mi?” Mami Inne mengangguk. Namun, Delon tetap mewaspadai wanita yang menghabiskan sisa umurnya di meja operasi, hanya agar terlihat awet muda itu. “Mami pergi dulu, ya.” “Iya, Mi.” Delon berdiri untuk mengantar Mami Inne ke depan. ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD