Bab 3. Negosiasi

1525 Words
Ruang makan rumah Herman sedang ramai sekarang. Gunadi—menteri pertahanan, Wawan—kepala kepolisian, Bayu—menteri pendidikan, Ujang—menteri luar negeri, Herman tengah mengundang mereka semua untuk makan siang bersama di rumahnya. Meja makan bermuatan sepuluh orang itu dipenuhi canda tawa. Empat tamu Herman tengah menggodanya tentang perilaku bodoh anaknya yang tidak bisa bermain cantik karena perselingkuhannya diketahui oleh istrinya. Beberapa pelayan tengah hilir mudik meletakkan makanan dari dapur menuju meja makan. Hidangan yang disajikan terlihat sangat menggiurkan. Mulai dari seafood hingga sayur-sayuran, semuanya fresh. “Kamu seharusnya mengajari anakmu itu cara berselingkuh yang baik dan benar,” kata Gunadi sambil terkekeh. “Tidak bisa begitu, Gun. Kamu sudah lupa? Herman juga dua kali ketahuan berselingkuh,” sambung Bayu membuat tawa di meja makan itu pecah. Ujang yang duduk di samping Herman menepuk pundaknya. “Meski begitu, dia tetap berhasil mendapatkan tujuannya. Keberuntungan masih ada di pihaknya.” Herman meletakkan tangannya di bawah meja sambil tergenggam kuat. Tidak seperti yang terlihat, senyum yang Herman tampilkan hanya untuk menutupi perasaan geramnya karena diolok-olok oleh mereka. Posisi Herman saat ini tidak memungkinkannya untuk bertindak sesuai yang ia mau. Jabatan sebagai gubernur Jakarta bisa terancap apalagi perolehan suara sementaranya saat ini masih belum stabil. Malah mengalami penurunan. Ia harus menelan ludah, menahan amarah dan membungkuk serendah mungkin di hadapan mereka agar ia bisa mendapat bantuan. Pelayan sudah selesai memindahkan semua masakan dari dapur ke meja makan. Juga telah menuangkan es teh manis ke gelas masing-masing tamu Herman. “Baiklah. Kita nikmati hidangannya dulu, setelah itu baru lanjutkan mengejekku.” Keempatnya tertawa. Mereka memulai mengambil nasi dan lauk. Anton, sekretaris Herman mendatanginya, berbisik, “Pak Arya ditangkap KPK.” __00__ Seratus lebih karyawan termasuk petugas keamanan di kumpulkan di aula kantor. Mereka duduk dengan rapi mendengarkan pidato Bita. Di atas panggung yang di bagian dindingnya bertuliskan -T-Tech Company cetak timbul, Bita mengungkapkan pemintaan maafnya, mewakili Arya. “Saya berjanji hal ini tidak akan terulang kembali. Saya, Bita Tio Wulandari memohon maaf yang sebesar-besarnya.” Suara notifikasi ponsel orang-orang di aula terdengar sahut-menyahut. Bita tersenyum. “Gaji kalian semua sudah saya bayarkan sebagaimana mestinya.” Wajah mereka semua terlihat berseri-seri. “Saya berterima kasih atas kerja keras kalian selama ini. Saya, selaku CEO T-Tech Company yang baru, akan berusaha membuat kalian semua betah bekerja di sini.” Tepukan tangan dan gegap gempita memenuhi aula. Tidak sedikit dari karyawan yang sampai berdiri menyorakkan nama Bita selaku pimpinan baru mereka. Di samping panggung, Bagas dan Juli tersenyum bangga atas keberhasilan Bita mengambil alih perusahaan alm. ayahnya. Gerakan pertama mereka berjalan lancar. Dan perlu diingat, ini bukanlah akhir. Mereka akan berhadapan dengan tantangan yang lebih besar lagi. __00__ Permintaan maaf Gania menuai pro-kontra. Lebih banyak yang kontra. Masyarakat menuntut Bita untuk tidak lagi tampil di publik. Manusia hina seperti Gania yang berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri seharusnya malu untuk menampilkan wajahnya. Akan tetapi, orang-orang yang menikmati video panas Gania dan Arya tetap mendukung Gania. Kapan lagi mereka bisa menikmati hiburan seperti itu dari gadis cantik dan seksi seperti Gania? Gania melempar ponselnya ke sembarang arah. Gelas dan piring kaca berisi camilan disibaknya hingga terjatuh ke lantai dan pecah. Ia merasa geram. Kalau bukan karena kepentingan gebrakannya ke depan, Gania tidak akan melakukan permintaan maaf itu. Ingin sekali rasanya Gania membunuh orang-orang yang mencapnya sebagai w************n dan makhluk hina. Pintu kamarnya diketuk. Rani masuk ke dalam. Ia menunjukkan beberapa foto di tabletnya. Foto itu menampilkan laki-laki usia 25-an bertemu dengan Bagas. “Siapa dia?” tanya Gania. Ia tidak tahu siapa dua laki-laki itu. Rani menunjuk laki-laki yang bersetelan jas. “Dia adalah sahabat Bita.” “Bita?” Gania terkejut mendengar perkataan Rani barusan sekaligus kagum. Sejak tadi malam Gania mencoba menerka siapa kira-kira di antara musuhnya yang mungkin melakukan hal itu. Siapa sangka, justru Bita dalang di balik rusaknya citranya. “Hubungi Bita. Aku ingin bertemu dengannya.” Gania berdecak. “Berani sekali curut itu menggangguku.” __00__ Bita sedang duduk di ruangan kunjungan khusus penjara. Ia baru saja menerima telepon dari asisten Gania yang memintanya untuk memenuhi undangan. Dengan senang hati Bita akan datang memenuhi undangan tersebut. Pintu besi itu terbuka. Bagas dan Arya masuk ke dalam ruangan. Sipir menutup pintu kembali. Bagas duduk di samping Bita sedangkan Arya duduk di seberang meja. Arya menatap Bita sendu. Entah kenapa ia merasakan sesuatu di dalam hatinya. Rasa itu sulit untuk dijelaskan. Arya sudah tidak terhitung berapa kali berhubungan dengan perempuan-perempuan untuk kepentingan bisnis ayahnya. Tapi, untuk pertama kalinya, Arya merasa ada sesuatu yang mengusik dirinya. Dan itu malah membuat hatinya seperti diiris belati tajam. “Aku nggak akan meminta maaf atas apa yang terlah menimpamu. Langsung saja. Aku datang ke sini ingin menawarkan negosiasi. Jika kamu mau menjadi saksi di persidangan nanti tentang kasus kecelakaan ayahku, aku akan membantumu bebas dari penjara. Aku tahu, seburuk-buruknya kamu, kamu nggak akan melakukan pembunuhan itu tanpa ada orang yang memaksamu.” Arya terkejut sesaat. Bita, yang selama ini ia anggap sebagai perempuan biasa yang bisa dibodohi seperti perempuan-perempuan korbannya yang lain, ternyata tidak benar. Selama ini Bita hanya menunggu kapan waktu yang tepat untuk memulai pergerakan. Rasa yang mengusik Arya, kini semakin menjadi. Bukan keinginannya untuk merasa bersalah, namun entah kenapa, dorongan hati kecil Arya, mendorongnya untuk meminta maaf kepada Bita. Tapi, pikiran dan rasa malu Arya masih bisa mengambil alih. Hingga ekspresi yang Arya tampilkan hanya senyuman kecil. Bita merasa geram. Bagaimana bisa di situasi seperti ini, Arya justru tidak menampilkan rasa bersalahnya setelah Bita tahu bahwa dialah orang yang menabrak mobil ayahnya dan membiarkannya terbakar di sana. “Satu lagi. Jika kamu mau kuajak bekerja sama, Bagas akan membantumu untuk mendapatkan keringanan hukuman.” “Terima kasih. Aku sudah punya pengacara sendiri.” Bita menoleh ke Bagas. Bagas paham dan memberikan kartu nama Bita kepada Arya. “Silakan hubungi nomorku jika kamu berubah pikiran.” Bita bangkit, disusul Bagas beranjak pergi dari ruangan kunjungan itu. “Tunggu.” Arya ikut berdiri. Bagas pergi meninggalkan mereka berdua. Bita menarik napas dalam sebelum menoleh. “Tolong berhenti,” kata Arya lembut. “Kumohon jangan teruskan niatmu.” Bita menyeringai. “Kenapa? Kamu takut bahwa namamu akan dikenal sebagai seorang pembunuh?” Terlalu banyak yang ingin Arya katakan. Namun, terlalu banyak juga pertimbangan yang harus ia pikirkan, hingga Arya hanya mampu berkata, “Nyawamu bisa terancam, Bita.” Bita melipat kedua tangannya. Ia merasa menyesal karena sudah berpikir bahwa Arya memanggilnya untuk meminta maaf. Nyatanya Arya ingin Bita berhenti mengusut soal kematian ayahnya. “Terima kasih atas nasihatnya.” Bita pergi meninggalkan Arya. __00__ Di depan lapas. “Kamu pulang sendiri saja, Gas. Aku harus pergi memenuhi undangan Gania,” suruh Bita. “Kamu yakin menemui wanita gila itu sendirian?” tanya Bagas khawatir. “Aku bisa memberinya energi yang sama. Aku bisa lebih gila darinya.” Bita berkata dengan niat bercanda, namun Bagas malah merespon dengan gelengan kepala. “Aku ikut.” “Kamu tenang saja, Gas. Aku bisa sendiri. Lagi pula kamu harus mengurus materi untuk persidangan, bukan?” Bagas menarik napas. Ia tidak bisa menolak permintaan Bita untuk meninggalkannya seorang diri. Ia masuk ke dalam mobilnya. Taksi yang dipesan Bita sudah sampai. Bita masuk ke dalam dan pergi menuju lokasi yang Gania sebutkan. Saat Bagas bersiap menginjak pedal gas, tiba-tiba ponselnya berdering. Panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. __00__ Lima belas menit berlalu namun Gania tak kunjung datang. Bita meminum jus jeruknya yang tinggal setengah gelas. Ia menatap keluar jendela kaca, melihat jalanan kota Jakarta yang dipenuhi kendaraan. Dari atas sana, mobil-mobil itu bak semut bercahaya yang berbaris rapi menuju rumah. Lokasi undangan Gania adalah restoran ternama di Jakarta. Orang-orang yang datang di sini sudah dipastikan mengeluarkan uang sepuluh juta bak uang seratus ribu saja. Pakaian mereka yang mahal dan make-up mereka yang menor, membuat Bita tampak kontras. Hanya dia seorang kaos panjang hitam garis-garis abu-abu dipadukan dengan celana palazzo hitam, sepatu kets hitam dengan polesan sedikit warna putih, dan hijab pashmina hitam. Penampilannya sangat biasa mengingat jabatannya sebagai CEO T-Tech Company yang baru. Dari kejauhan, Bita melihat Gania mengenakan dress ungu tanpa atasan, membiarkan bagian atas dadanya terpampang gratis dan ukuran roknya hanya beberapa centimeter di atas dengkul. Dress itu mencetak jelas tubuhnya. Rambut Gania dibiarkan terurai. Setelannya saat ini benar-benar sesuai dengan tempat yang dikunjungi. Gania tersenyum meremehkan melihat tamunya hari ini yang sangat biasa saja. Gania menarik kursi kemudian duduk. Seorang pelayan wanita mendatangi, menanyakan ingin memesan apa. Gania memesan ekspresso. Bita menawarkan jabat tangan. Alih-alih menyambut, Gania justru menatap tangan Bita seolah melihat bangkai. Bita menarik kembali tangannya. “Aku akan langsung saja.” Gania mendorong kursi ke belakang, kemudian tanpa aba-aba, ia menampar keras wajah Bita. Suara tamparan itu membuat beberapa orang yang duduk di sekitar mereka terkejut. Bita merasakan pipinya memanas. “Kamu pikir bisa menang melawanku, ha?!” bentak Gania. Bita tertawa sekaligus merasa geli. Ia pun berdiri, lalu melakukan hal serupa, membalas perbuatan Gania. Bahkan sepertinya tamparan Bita lebih keras daripada tamparan Gania. “Dan kamu pikir aku akan diam saja, atau memelas ampun padamu? Begitu?” Bita berdecak. “Kalau begitu, kamu salah orang!” Bita mengambil tasnya, kemudian meninggalkan Gania yang geram karena menjadi tontonan banyak orang.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD