Chapter 03

1874 Words
    Helena mengernyit melihat rupa di depannya. Berbagai kalimat sarkarstik sudah bermain di otaknya dan menunggu untuk bibirnya keluarkan kepada pria yang masih tersenyum di depannya.     Oh, betapa dirinya ingin menghapus senyum memuakkan itu! Namun alih-alih melakukannya, dirinya malah berdiri.        Mengulas senyum lembut nan menggoda yang pernah dirinya latih bersama sahabatnya dulu.     Biasanya, ketika dirinya memberikan senyum tersebut kepada para pria, mereka akan bersemu, tampak malu-malu, merasa superior, atau terpesona kepadanya. Namun hal itu tidak berlaku kepada pria di depannya.     Mungkinkah dirinya sudah kehilangan pesonanya? Pikirnya bingung.     "Biarkan aku menduga, kau adalah Earl yang baru, My Lord?" tanya Helena lembut. Berusaha menutupi rasa penasaran akan hilangnya efek yang biasanya ia timbulkan.     Pria itu masih tersenyum. Dan Helena semakin membencinya. Seseorang yang terlalu tersenyum dan bersikap sopan biasanya menyimpan 'bisa' di dalamnya.     "Ya. Aku adalah Bramwell Granville. Earl of Griffin yang baru," jawab pria itu dengan suaranya yang berat.     Helena mengernyit. Menyadari bahwa senyum dan suara pria itu benar-benar tidak cocok sama sekali. Suaranya terlalu mengintimidasi dan seharusnya, jika pria itu memiliki niat untuk membodohi orang-orang dengan penggambaran seorang yang ramah, dirinya harus membuat suaranya lebih ringan dan terdengar ceria. Namun yang Helena tangkap dari suara berat itu adalah banyak rahasia, kepedihan, dan duka.     Helena terperanjat ketika mendengar suara deheman di depannya. Ia mendongak dan melihat netra berwarna abu-abu gelap yang menatapnya dengan penuh penilaian. Hampir sama seperti apa yang biasanya dirinya lakukan ketika bertemu dengan para pria bangsawan yang hobi bersolek.     Oh, Helena sangat membenci tipe pria pesolek.      Namun tidak, pria di depannya jelas bukan tipe pria pesolek. Sosok di depannya hanya menggunakan pakaian sederhana dari bahan katun yang terlihat nyaman dan menempel dengan sempurna di badannya. Membuat Helena, mau tidak mau mengakui bahwa meskipun tidak terlalu besar, otot-otot sang earl tercetak jelas karenanya. Jelas Bram bukanlah seseorang yang hanya tahu bersenang-senang.     "Apakah kau tidak mau memperkenalkan dirimu, Sepupu?" Helena berjalan memutari meja kerjanya. Dagunya terangkat dan ia menekuk sedikit kakinya kemudian.      "Maafkan sikap kasarku, My Lord. Saya adalah Helena Whitney, anak angkat dari pasangan Whitney yang baik hati," katanya hormat. Helena mengatakannya tanpa emosi. Seolah dia sedang mengomentari cuaca dan bukannya status dirinya di dalam keluarga ini.      Sementara itu, di tempatnya Bram lagi-lagi merasa terkejut dan bingung. Ia bisa melihat wajah menilai dari wanita di depannya. Dan walau disembunyikan dengan begitu rapat, wanita di depannya terlihat ingin menghujat dan memakinya alih-alih tersenyum dengan memesona kepadanya. Membuat Bram harus menguatkan ragumnya dan memakai topeng ramahnya dengan sebaik mungkin. Kemudian, wanita itu memperkenalkan diri. Mengakui dirinya dan Bram semakin penasaran apakah wanita di depannya tidak memiliki perasaan.      Ah, seperti dirimu memiliki perasaan saja, Bramwell. Maki dirinya sendiri di dalam hati.     "Kulihat kau sangat sibuk, sampai tidak menyapa sepupumu di hari kedatangannya?" tanyanya langsung.        "Benar. Banyak yang terjadi di hari ini, My Lord. Tapi kupikir Veronica –adikku– akan menyapamu sementara aku mengerjakan pekerjaanku sebelum kuserahkan sepenuhnya ke tanganmu," katanya cepat. Helena baru mengingat mengenai Veronica dan waktu saat ini yang harusnya digunakan mereka untuk makan malam. Namun melihat bahwa pria itu ada di ruang kerja bersama dirinya, membuat Helena menyimpulkan bahwa Vero mangkir dari perjanjian yang mereka buat. Perjanjian untuk membuat sang earl jatuh cinta kepada Vero.      Helena mencatat di dalam hati bahwa ia akan berbicara kepada adiknya yang keras kepala itu. Namun sebelumnya ia harus menghadapi pria di depannya. Bram lalu berjalan melewati Helena. Duduk di kursi yang sebelumnya diduduki olehnya dan mulai melihat pekerjaan Helena.      "Kau yang mengerjakannya?" tanyanya tanpa menatap Helena. "Ya, aku hampir selesai untuk mencatat pembukuan di bulan ini. Kau bisa melanjutkannya ketika aku telah selesai," katanya mencoba seramah mungkin. Helena yakin dengan semua pekerjaannya, namun melihat bahwa aset keluarga mereka tidak terlalu banyak, membuat Helena dilanda kekhawatiran. Ia lagi-lagi mengkhawatirkan kedua adiknya dan ibunya.     Semoga saja pria di depannya cukup memiliki belas kasihan sehingga mereka bisa tinggal di sini seterusnya. Namun satu pikiran Helena yang waras menjawab, untuk berapa lama?         Sang Earl membutuhkan pewaris, dan istri masa depannya – jika Vero tidak berhasil menjerat sang earl– sudah pasti tidak menginginkan beban untuk rumah tangga mereka. Keadaan seperti itulah yang Helena khawatirkan. Sementara dirinya bisa saja kembali kepada ayah kandungnya, dan ia juga bersedia untuk membawa kedua adik dan ibunya. Namun, Helena tidak bisa membayangkan mereka yang selama ini hidup nyaman dan dilayani, tiba-tiba harus hidup dengan sederhana.      "Aku akan memeriksanya besok dan sebaiknya kau membantuku untuk menjelaskan semua ini," kata Bram sembari menyingkirkan semua berkas itu. "Nah, Sepupu. Apakah kau bersedia menemaniku untuk santap malam?" Bram lagi-lagi mengulas senyum palsunya. Membuat perut Helena seakan dipukul dari dalam.      Namun dirinya juga melakukannya. Memberikan senyum palsu untuk sang Earl alih-alih mulutnya sudah sangat gatal untuk berkata sinis kepada pria itu dan menyetujui ajakannya untuk ke ruang makan.      Bram berusaha membangun percakapan dengan Helena. Berusaha memancing wanita yang berjalan di sampingnya untuk menceritakan mengenai apa saja. Dari situ, Bram biasanya dapat menemukan karakter tiap orang. Apakah dia adalah orang yang membangga-banggakan dirinya dan merendahkan orang lain, atau sebaliknya.      Namun selihai apapun Bram berusaha, wanita itu terus menerus menahan diri. Memasang topeng yang sama seperti dirinya dan membuat Bram kembali harus memantapkan hati untuk tidak mengguncang tubuh Helena yang mungkin saja bisa membuat pengait dalam otaknya dalam kondisi normal.         "Kau pasti sangat cerdas sampai earl sebelumnya mempercayakan kepadamu seluruh estatnya," pancing Bram.      Helena tersenyum sopan. "Papa mengajarkan apa yang perlu kutahu, dan aku mengerjakan apa yang Papa katakan."      "Ide untuk berinvestasi di perkebunan anggur adalah idemu?" tanya Bram lagi. Mereka masih berjalan menyusuri lorong dan sekilas ketika berada di ruang kerja, Bram melihat dokumen tersebut. Perkebunan itu terlihat masih baru dan tidak begitu luas. Bram sangsi bahwa keuntungan darinya bisa menutupi biaya produksi yang mungkin dibutuhkan.      "Papa telah berjanji untuk membantu Xavier, maka itu yang kulakukan," ujar Helena datar. Xavier adalah anak dari Henry, kepala pelayan kediaman Griffin yang sudah melayani keluarga ini sejak lama. Bahkan nenek moyang dari Henry sudah menjadi pelayan Griffin dan untuk berterima kasih kepada mereka, earl terdahulu memberikan sebidang tanah untuk kemudian Xavier kembangkan menjadi perkebunan anggur. Earl of Griffin terdahulu telah meyakinkan bahwa tanah itu adalah milik mereka walaupun keluarga Henry terlihat enggan mengakuinya dan kebingungan untuk memanfaatkan tanah itu. Sampai kemudian Helena bertemu dengan Xavier, berbincang sebentar dengannya dan menemukan ide untuk membangun perkebunan anggur. Hasilnya memang tidak banyak, tapi produk anggur rumahan yang Xavier dan dirinya rintis mulai dikenal oleh para Ton.      Mereka lalu sampai di ruang makan. Henry membuka pintu ganda dan ekspresi terkejut terlihat di wajah kedua tuannya. Seseorang gadis dengan surai keemasan duduk dengan hidangan yang mengelilinginya. Ia tampak biasa saja dan sedang mengangkat sendok ketika ia mendongak menatap dua orang yang baru saja datang. Ia lalu melihat Helena dan Bram bergantian dan mengedikkan bahunya.      "Kalian terlambat. Jadi bukan salahku jika aku makan terlebih dahulu," katanya ringan.     Gadis itu –Veronica– kembali memakan supnya. Sementara Helena ingin sekali menerjang adiknya yang menyebalkan itu dan meminta untuk menanggalkan sikap keras kepalanya.      Helena menarik napas pelan. Berusaha untuk menyembunyikan rasa frustrasi di dirinya dan berbalik untuk tersenyum kepada Bram.      "Dia adalah Veronica Whitney. Putri pertama dari pasangan Whitney, dan adiknya, Emily Whitney, saat ini sedang tidak dalam kondisi yang baik untuk bergabung dalam santap malam ini," jelas Helena. "Kemudian ibuku," Helena tercekat, "Ibuku tidak boleh terlalu lelah."      Bram mengangguk. Dirinya sudah tahu bagaimana kondisi Lady Nerida yang terlihat sangat mengkhawatirkan.      Tidak lama kemudian, mereka sudah duduk di kursi di mana Bram menempati kursi yang dulu milik ayah mereka. Ada rasa seperti cubitan di jantung Helena, menyadari bahwa pria pengasih itu sudah tidak ada lagi di dunia ini.      "Berhentilah melamun dan makan makananmu, Ellen," ujar Vero sinis. "Kau tidak bisa memutar waktu, jika itu yang kau pikirkan."      "Aku tahu. Terima kasih atas perhatianmu," jawab Helena singkat.       Vero mendengkus. Mengabaikan Bram yang ia tahu, mengamati perilaku mereka sejak tadi.      "Jangan lupa bahwa kau harus melihat keadaan Emmy setiap dua jam," ujar Vero lagi.      "Ya," balas Helena lagi.      "Keadaan Mama sudah lebih baik, dan jika kau mau, kau bisa menemuinya."      Helena mengangkat wajahnya dari sup yang beberapa menit belakangan ini hanya ia aduk. Nafsu makannya menghilang ketika Vero mulai membuka mulutnya. Namun mendengar apa yang baru ia katakan...      "Kau yakin?"      Vero mendengkus lagi, "Jika kau mau, kubilang. Jika tidak-     "Aku mau," sambar Helena cepat.      Ia masih berada di euforia miliknya ketika Vero mengalihkan perhatiannya kepada pria yang sedari tadi ia abaikan.     "Kau adalah earl yang baru." Sebuah pernyataan dan bukan pertanyaan.      Bram cukup tahu bahwa hubungan Vero dan Helena tidak terlihat baik. Ia hanya mengulas senyum dan berniat menjawab.      "Helena ingin agar aku merayumu dan membuatmu menikahiku," potong Veronica cepat.      Sendok Helena yang baru saja singgah di bibirnya terjatuh.      Membuat satu-satunya suara yang terdengar saat itu.      "Apakah kau mau menikahiku, My Lord?" tanyanya lagi.     "Veronica!" sembur Helena murka.     Vero hanya tersenyum sinis. Mengabaikan sang kakak angkat yang memiliki wajah semerah surai rambutnya karena rasa marah.      "Karena kau diam dengan raut wajah tidak suka. Kuanggap jawabannya adalah tidak."      "Vero!" teriak Helena lagi. Ia berdiri dengan cepat. Membuat kursi yang tadinya ia duduki terjengkang ke belakang.      Vero dengan gerakan anggun mengusap bibirnya. Ikut berdiri dan menatap Helena dengan mata yang terlihat bosan.      "Kau pikir siapa dirimu sehingga bisa mengaturku?"      "Kau sudah berjanji. Demi Tuhan!"      Vero tertawa. Menikmati wajah merah sang kakak. "Aku tidak akan melepasmu begitu saja. Kau pikir kau bisa bebas setelah melihatku menikahi pria ini?"      "Kau tahu bukan itu yang kuinginkan!"      "Tetapi itu ada dalam salah satu agendamu!" teriak Vero. "Kau hanyalah kakak angkatku, dan kau tidak bisa mengaturku begitu saja," desisnya. Vero lalu mengabaikan wajah merah Helena yang juga tampak terluka. Berpaling kepada sang earl dengan dahi yang kini mengeryit. "Aku sudah selesai. Selamat malam." Vero lalu meninggalkan ruang makan. Memegang d**a kirinya dan merasa pedih dengan apa yang baru saja ia lakukan kepada Helena.        Ada saatnya ia akan bersimpuh di depan Helena dan meminta maaf. Tetapi itu akan ia lakukan nanti, di saat Helena sudah bisa berpikir jernih dan normal kembali.     Sementara itu, di ruang makan diliputi dengan aura yang tidak menyenangkan. Helena berusaha menormalkan napasnya, menelan kesedihan dan rasa sakitnya diam-diam, lalu berusaha untuk tidak menangis. Tidak, seorang Whitney tidak akan selemah itu.      Bram masih terdiam. Bingung dengan drama yang baru saja ia lihat.      "Maafkan aku. Aku sudah selesai," ujar Helena dengan suara bergetar.     "Tunggu!" seru Bram tiba-tiba. Membuat dirinya mengutuki diri dengan cepat. Ia tidak tahu mengapa mulutnya mengatakan hal itu. Seharusnya ia tahu kapan harus mundur dari situasi ini.      Tapi melihat sosok Helena yang berhenti di tengah langkahnya membuat mau tidak mau ada setitik rasa senang di dirinya.      "Kau tidak apa-apa?" Pertanyaan yang bodoh dan keluar dari mulut bodohnya.      Secepat angin, Helena berbalik. Tertawa pilu dan menatap Bram tajam. Kepalanya ia miringkan dan ia tidak bisa menghentikan dirinya untuk berkata, "Aku penasaran sampai kapan kau akan memainkan topeng itu, Sepupu."      Tubuh Bram langsung siaga. Rahangnya mengeras dan ia menunggu kata-kata lanjutan dari wanita di depannya.      "Jika aku adalah dirimu, aku akan malu dan memilih untuk membunuh diriku sendiri sebelum menipu orang lain dengan senyum palsumu," tambahnya. Helena lalu tersenyum getir. Itu adalah kata-kata yang seharusnya ia tujukan kepada dirinya sendiri dan ia melayangkan kepada pria tidak bersalah di depannya.      "Selamat malam," bisiknya sebelum berbalik dan meninggalkan Bram seorang diri. Helena perlu secepatnya menuju kamarnya. Menangis diam-diam tanpa seorang pun tahu. Karena sekali lagi, seorang Whitney tidak akan selemah itu.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD