Bab 2 Mulai Berkomunikasi

1586 Words
Langit mulai menampakkan wajah mengerikan. Petir menyambar-nyambar bersamaan air membasahi bumi. Tak basah, tetapi hawa dingin tersampaikan di sekujur tubuh. "Serius kita tetep jalan! Ini hujannya mengerikan, Mas," tanya Liza kepada laki-laki yang ada di sampingnya. "Kalau mau turun emang di mana?" jawab Indra sambil terfokus nyetir. "Ke kafe, rumah makan, atau ke mana gitu." "Kamu suka ya kalau Pak Cipta marahin aku." "Marah kenapa sih? Wong perintahnya aja sudah dijalankan," kata Liza yang tak mengerti maksud Indra. "Liza, ingat ya! Kalau lebih dari jam kerja, entar aku dikira macem-macem sama kamu. Kan repot," tukas Indra. Liza mengangguk menanggapi kalimat yang baru saja diucapkan Indra. Indra memfokuskan pandangan ke arah depan. Liza dengan santai menikmati cemilan ringan yang dibawa. Mereka menghabiskan waktu sendiri-sendiri dan saling membisu. Berada dalam satu lingkup, tetapi mereka bersama dengan dunianya sendiri-sendiri. Nggiikkk .... Rem dadakan dilakukan Indra, meskipun tak begitu mengagetkan Liza. "Kenapa berhenti?" tanya Liza sambil menoleh ka arah Indra. "Lihat depan," kata Indra sambil mengacungkan tangan ke depan. Dengan jeli mata Liza menatap ke arah depan. Ia menangkap sebuah tulisan dengan huruf kapital yang berbunyi, 'JALAN DITUTUP SEMENTARA, ADA POHON TUMBANG.' "Terus kenapa harus berhenti?" tandas Liza. "Nunggu sampai jalan dibuka." "Gilak ya kamu! Emang mau menunggu berapa jam? Jangan ngaco dech!" ucap Liza dengan mata sedikit melotot. "Secepat atau lambat penanganannya." "Bagus dong," kata Liza sambil memainkan ekspresi tak suka. Hujan masih mengguyur, petir tak lagi menampakkan diri. Liza memberanikan membuka handphone. Ia memencet tombol keyboard untuk menelpon seseorang. Indra sempat melirikkan mata dan menangkap aktivitas Liza. "Mau nelpon siapa?" "Bukan urusanmu ya, Mas!" Liza mengangkat handphone dan di arahkan ke dekat telinga. Indra hanya menyaksikan tingkah gadis itu, tanpa berkomentar. "Iihhh. Kenapa gak diangkat sih?" kata Liza sambil menunjukkan rasa gemas pada handphonenya. Indra tersenyum melihat tingkah lucu Liza. "Kenapa senyam-senyum? Ada yang lucu?" tukas Liza dengan sewot. "Emang kamu nelpon siapa sih? Sampai segitunya." "Dasar orang kepo! Habis kamu pakai nunggu jalan dibuka, kalau besok gimana? Celaka kan gue!" ceplos Liza. Indra paham maksud gadis itu. Tak banyak bicara, ia langsung membelokkan mobil tentunya dalam kondisi aman, tidak ada kendaraan lain. Liza bingung dengan sikap Indra, ia memperhatikan laki-laki di sampingnya agak lama. "Gak usah khawatir. Ini kamu juga segera pulang kok," kata Indra menenangkan Liza. Akhirnya hati Liza lega, setelah Indra segera membawanya pulang. Wajar saja, gadis itu sangat panik karena ia tak begitu paham dengan jalan yang ada di Surabaya. *** Rumah mewah yang tadi ditinggalkan, kini didatangi oleh Indra lagi. Situasi masih sama, hanya saja hujan berhasil membasahi pekarangan rumah. Hujan membuat mereka tak bergegas turun. Liza mengambil payung lipat yang ada di dalam tas, lalu menyodorkan payung kepada Indra. "Turun aja dulu, aku nanti gak papa," ujar Indra menanggapi sodoran payung dari Liza. "Aku suka hujan-hujan," kata Liza sambil mengembangkan senyumnya. "Udah kamu aja." "Kamu aja." "Aku gak papa." "Serius." "Aku juga serius." Percakapan mereka ditangkap oleh Pak Cipta. Sehingga laki-laki tua itu mendekat dan mengebrak pintu mobil yang terletak di dekat Indra. "Kalian pada ribut ngapain?" Percekcokan berhenti saat empat bola mata memandang ke arah Pak Cipta yang berdiri tegak dengan membawa payung hitam. "Ehh ... ini Mas Indra gak mau pakai payung," jawab Liza. "Ya sudah. Biarin aja Indra hujan-hujan. Ngapain diributin," balas Pak Cipta. Liza yang tadinya tak tega melihat Indra kehujanan, kini tidak peduli lagi setelah mendapat pengaruh dari pakdenya. Mereka berjalan menuju bangunan yang terbilang luas. Liza bergegas memasuki rumah, tetapi Pak Cipta masih berada di luar. "Ayo masuk!" ajak Pak Cipta. Indra mengangguk. Langkah kakinya mengikuti berjalannya Pak Cipta. Pengalaman pertama bagi Indra, memasuki rumah atasannya, walaupun baru mencicipi ruang tamu saja. "Ini sudah aku siapkan baju untuk kamu. Sekarang ganti bajumu yang basah," pinta Pak Cipta. Indra memperhatikan baju yang masih terbungkus oleh plastik. Lalu, beralih ke arah Pak Cipta. "Ini masih baru. Jangan bercanda dong, Pak!" "Kamu lihat muka saya! Apa yang sedang kau baca?" tantang Pak Cipta agar Indra tak sembarangan kalau bicara. "Maaf, Pak." "Ganti sana. Saya gak suka dengan orang yang banyak ngomong," tegas Pak Cipta. Baju yang masih disegel diambil Indra, lalu membawanya pergi untuk dipakainya sebagai ganti baju yang telah terguyur air hujan. Dengan senang hati Indra meninggalkan ruang tamu, tanpa tahu letak kamar mandi tuk mengganti pakaian. Ia menggaruk-garukkan kepalanya karena kebingungan. Mau bertanya dengan Pak Cipta, takut kena omelan lagi. Akhirnya Indra memutuskan untuk kembali menuju ruang tamu, tidak peduli mau dapat omelan lagi atau enggak. Nasib Indra baru beruntung ia tidak mendapatkan Pak Cipta, tetapi Liza. Liza langsung menegur, "Kayaknya tadi udah keluar, kok balik lagi!" "Ehh, Liza. Kamar mandinya mana?" tanya Indra langsung to the point. Liza menunjukkan arah letak kamar mandi. Setelah Indra berjalan menuju tempat yang dituju. Gadis itu tertawa sepuas-puasnya karena tingkah lucu Indra. *** Waktu yang ditunggu-tunggu telah datang, tepatnya hari untuk memanjakan diri untuk bersenang-senang. Meskipun tidak bertepatan dengan tanggal merah. Langit memancarkan sinar keindahannya, seolah mengajak manusia untuk berkeliaran untuk menyaksikan fenomena dari berbagai tempat. Rayuan cerahnya langit membuat Indra tak bisa mengelak. Memanjakan mata dengan seorang diri bukan menjadi tujuannya. Handphone di atas meja samping ranjang menarik perhatiannya. Tangan diulurkan untuk meraih benda pipih yang berguna. Tangan Indra memainkan keyboard untuk mengirim pesan w******p. Anda [Rek, kamu hari ini libur kan!] Vino [Kitakan samaan. Yuk jalan-jalan!] Anda [Yang penting jalan aja ya! Entar mau ke mananya piker keri (Pikir terakhir). Aku ke rumahmu sekitar jam 09.00 ya!] Vino [Siap, Ndra.] "Bekerja di perusahaan travel memang punya resiko tersendiri, pekerjaan lain libur, tempatku masuk. Pekerjaan lain masuk, tempatku libur. Kalau libur kek gini mau main sama siapa? Cuman sama teman satu pekerjaan lagi kan jadinya," batin Indra. Tatapan Indra tertuju pada jam dinding yang menunjukkan angka 06.45 WIB. Selimut ditariknya kembali, berhubung janjiannya jam 09.00 WIB. *** Mata Wasni tak mendapatkan motor putranya di halaman rumah. Wanita itu melempar sapu yang dibawa dan berlari menuju garasi sederhana. Jantungnya yang sempat deg-degan kembali normal setelah kendaraan roda dua milik anaknya ditemukan dalam garasi. Ia membuang jauh-jauh pikirannya yang menafsirkan diambil maling. Namun, hatinya masih tetap bertanya-tanya, "Kenapa anaknya tidak siap-siap untuk kerja? Padahal matahari sudah terlihat dengan jelas." Wanita berambut sebahu dengan aksesoris bando warna hitam polos itu mengangkat kakinya dari garasi. Rumah telah dimasuki Wasni, kamar sang putra menjadi tujuannya. Pintu tertutup dan tak terdengar suara apa pun, terlihat hening. Ganggang pintu diputar Wasni dengan perlahan-lahan. Wasni mengepalkan tangan sambil menyatukan gigi atas dan bawah, wanita itu terlihat geram dengan perilaku putranya. Selimut masih membalut tubuh pemuda berambut pendek ala laki-laki pemain film drama korea. "Sudah kebiasaan habis subuh tidur lagi, sampai lupa kerja lagi," gerutu Wasni dalam hati. Sebagai seorang Ibu yang perhatian ia tidak kehilangan ide untuk membangunkan anaknya. Sebotol air mineral di meja membuat Wasni beraksi. Wasni membasahi tangannya dengan air mineral, lalu menciprat-cipratkan ke arah muka putranya. Cipratan air itu sampai di wajah Indra dan dirasakannya. Ia hanya mengeliat, tanpa menghiraukan. Tetapi air terus membasahinya membuat Indra menutup muka dengan selimut. Wasni tetap tidak menghentikan aksinya sebelum putranya terbangun. Selimut yang basah membuat Indra berkata dengan bindeng, "Ini gerimis apa pipis cicak atau tokek." Wasni tak menjawab kalimat yang diucapkan putranya. Ia tetap terus beraksi tanpa peduli. Saking jengkel dengan putranya yang tidak peka, membuat Wasni mengguyurkan air yang tersisa di muka Indra. "Ahh. Siapa ini?" kata Indra dengan suara tinggi sambil membuang selimut yang dipakai dan mengelap muka basahnya. Perlahan-lahan ia membuka mata dan melihat ibunya berdiri sambil berkacak pinggang. Rasa marah yang ingin dilampiaskan ditahan untuk tak keluar. "Ngapain sih, Bu?" "Ini jam piro? Micek terus!" ujar Wasni terlihat murka. Indra menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 08.00 WIB. Kaki diangkatnya dari ranjang, lalu mengobrak-abrikkan lemari. "Tuh kan! Kalau keburu-buru. Tahu jam kerja malah asyik tidur," cerocos Wasni. "Hari ini aku libur kerja, Bu." "Terus ngapain kamu keburu-buru kayak gini?" "Ada janjian, Bu." Wasni bersedekap sambil tersenyum melihat tingkah putranya. "Mau kencan ya!" "Betul sekali, Bu." "Bagus dong. Anak Ibu sudah punya pacar." "Iya. Kencan sama Vino." Wasni menangkap serius kalimat yang diucapkan putranya. Raut muka wanita itu menunjukkan kekagetannya. Ia tidak menyangka anaknya suka dengan sesama jenis. "Apa?" ucap Wasni sambil menunjukkan raut muka merah. Tidak mau berdebat panjang dengan sang Ibu membuat Indra langsung berlari menuju kamar mandi. *** Monumen Bambu Runcing telah didatangi oleh Indra dan Vino. Sekedar melepaskan penat dengan segala hiruk pikuk pekerjaan. Mereka menghabiskan waktu dengan jalan-jalan. Ya, tepatnya keliling taman sekitar. "Ndra, aku kebelet pipis nih! Kamu tunggu di sini dulu ya? Mau ke toilet bentar." Vino minta izin. "Oke, aku tunggu di sini ya?" jawab Indra sambil meletakkan posisi duduk di atas rumput dan di bawah pohon. Vino berjalan agak cepat karena menahan hajat yang ingin dikeluarkan. Indra asyik memainkan handphone untuk mengurangi kegabutan. Indra mengalihkan pandangan dari handphone sejenak untuk menetralkan matanya. Bola matanya menangkap sosok seperti Liza, tetapi kenapa gadis itu ke sini. Semakin lama sosok itu mendekat, rasa curiga dirasakannya. "Lho! Mas Indra di sini!" sapa Liza terlebih dahulu. Indra tak langsung menjawab pertanyaan gadis bertubuh langsing dan tinggi itu. "Benerkan kamu Mas Indra?" tanya gadis itu sekali lagi. "Benar, Liza." Liza tersenyum, tetapi agak terpaksa. Indra tak bisa menafsirkan apa yang sedang terjadi dengan ponakan Pak Cipta. "Boleh minta tolong, Mas!" pinta Liza dengan penuh harapan. Indra menganggukkan kepala. "Ini siapa, Ndra?" tanya Vino yang mendadak datang bagaikan jin dalam film. Indra menatap Vino dengan iringan senyum. "Kenalkan ini Liza." "Vino," ucap Vino sambil mengajak salaman gadis yang baru saja bertemu. Liza tak menolak ajakan salaman dari Vino. Gadis itu menanggapi dengan bibir tersenyum tipis, lalu kembali menampakkan muka cemberutnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD