bc

Hati dan Perasaan

book_age12+
736
FOLLOW
2.6K
READ
time-travel
boss
warrior
drama
lighthearted
brilliant
genius
icy
others
like
intro-logo
Blurb

Cinta memang misteri, tak tahu kapan datangnya. Kepada siapa rasa cinta akan tumbuh? Cukup Sang Maha Kuasa yang mengetahui.

Andai saja manusia bisa memilih kepada siapa ia akan jatuh cinta, pasti akan memilih.

Begitulah Indra dan Liza, mereka tidak memilih untuk saling jatuh cinta. Tetapi, takdir-Nya mengantarkan mereka untuk merasakan hal itu. Bagaimana kisah mereka yang terhalang kokohnya tembok? Ikuti terus ceritanya!

Cover by @yucanse

chap-preview
Free preview
Bab 1 Pertemuan Pertama
"Darimana saja kamu! Saya sudah menunggu kamu selama sejam lho!” kata Pak Cipta dengan nada tinggi sambil berkacak pinggang. Indra tidak menyangka kalau Pak Cipta sudah menunggu satu jam di depan pintu gerbang perusahaan. Padahal sudah ada absen sidik jari yang gak bakal nipu, mau berangkat telat atau gak. Ia sangat bangga pemilik sekaligus pimpinan perusahaan memperhatikan dirinya, tetapi disisi lain, siap-siap kena marah besar. “Maaf, Pak! Saya telat karena …. ” Pak Cipta memotong perkataan Indra. “Gak usah pakai karena, karena, dan karena. Bilang aja mau telat.” Menundukkan pandangan dilakukan Indra. Ia tak berani menatap bosnya, seolah-olah tak punya nyali apa pun. Hanya bisa pasrah, jika nanti laki-laki di atas setengah abad itu marah besar. “Indra Wiguna.” “Iya, Pak,” jawab Indra dengan sigap. “Saya akan memberikan kamu hukuman karena dirimu sudah telat,” jelas Pak Cipta dengan penuh kekuasaan. “Silakan hukum saya selayaknya teman-teman yang pernah telat masuk kerja!” kata Indra menyerahkan diri. Sebenarnya bukan hukuman, kalau telat kerja gajinya dipotong, itulah yang dialami teman-temannya saat telat. Ia siap menerima konsekuensi itu. Bukan masalah besar bagi Indra. “Sekarang kamu absen, parkirkan motormu, dan temui saya di sini lagi!” pinta Pak Cipta. “Emang saya mau dihukum apa, Pak? Bukannya teman-teman yang lain kalau telat, cuman gajinya dipotong,” tanya Indra dengan penasaran. “Iya. Gajimu dipotong, tetapi saya akan tetap memberikan hukuman kepadamu,” ucap Pak Cipta dengan tegas. “Ini gak adil dong, Pak! Kenapa Bapak memperlakukan saya secara tidak adil.” “Kamu bilang saya tidak adil! Kalau kamu tidak mau mematuhi perintah saya sebagai atasanmu, silakan! Mulai sekarang Indra Wiguna bukan karyawan perusahaan ini dan saya tidak akan menggajimu selama dua minggu kerja yang telah kamu lalui,” ancam Pak Cipta dengan nada serius. Sebagai karyawan biasa membuat Indra tidak bisa mengelak apa pun. Sendika dawuh, begitulah yang bisa dilakukannya. Walaupun dalam hati berkata, “Emang atasan suka semaunya sendiri, mentang-mentang jadi orang atas.” “Kenapa, Indra? Kamu nggak mau? Tidak masalah bagi saya,” kata Pak Cipta dengan tegas. Dengan sigap Indra menjawab, “Saya mau kok menuruti perintah Bapak.” Pak Cipta mengangguk. Indra segera melaksanakan perintah dari laki-laki berkumis tebal. Ia memang sudah apal dengan watak orang berpengaruh itu, mengatur semua sesuai dengan kata hatinya, bukan sesuai dengan peraturan paten sebuah perusahaan. Lima menit kemudian …. Tempat yang sama masih dijamah Pak Cipta. Tubuh jangkung perlahan-lahan mendekat dalam batin berkata, “Aku bisa bertahan di sini karena setidak adil-adilnya kamu, tidak menggaji karyawan sesukanya.” Hanya terdiam di belakang mobil sambil mematung dilakukan Indra. Ia menunjukkan sikap tidak sukanya dengan mengepalkan kedua tangannya. Kesempatan karena satpam tak nampak. “Mas, kenapa berdiri di sini?” Suara wanita itu membuat Indra menoleh ke arah samping. Mata Indra mendapatkan gadis berambut pirang, tetapi bukan orang luar negeri. Ia memang tidak mengenal orang itu, menerbitkan alasan adalah salah satu cara terbaiknya. Tupai di atas pohon kelapa yang menghiasi taman perusahaan membuatnya tak kehabisan ide. “Itu lho, Mbak!” kata Indra sambil menunjukkan hal yang dimaksud. “Emang kenapa?” tanya gadis itu tanpa merasa tertarik. Percapakan dua orang itu terputus ketika Pak Cipta keluar dari mobil dan berkata dengan suara lantang. “Cepetan masuk, Indra!” Indra tak menjawab apa pun. Ia langsung memenuhi permintaan Pak Cipta. Itulah ciri khasnya, kalau melakukan sesuatu terpaksa, pasti dilakukan. Tetapi, tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Setelah Indra memasuki mobil dan mengambil posisi duduk di belakang Pak Cipta. Lelaki tua itu berkata, “Hati-hati ya, Nduk!” “Pak Cipta memberikan sapaan Nduk, kepada gadis itu. Berarti kenal dong! siapa dia? Beliau kan tidak punya anak,” batin Indra. Setelah menyapa gadis itu, Pak Cipta memasuki mobil dan duduk di kursi sopir. Kejanggalan mulai di dapatkan saat bola matanya tak memandang Indra di sampingnya. Pandangannya tergerak ke arah belakang dan distulah ia menemukan pemuda yang dicari. “Kamu pikir saya sopir kamu,” bentak Pak Cipta. Indra yang sedang asyik memainkan handphone mendadak kaget dengan ucapan Pak Cipta. Aksi bermain handphone dihentikannya. Ia bangkit dari tundukan barang elektronik, suatu hal tak disangka terjadi, Pak Cipta memandang tajam dirinya. “Kenapa Bapak berkata seperti itu?” kata Indra tanpa rasa bersalah. “Duduk di samping saya,” pinta Pak Cipta sambil mengalihkan pandangan ke arah depan. “Tapi, Pak. Saya ini kan orang biasa, tidak pantas untuk duduk di samping Bapak.” “Sudahlah. Jangan banyak bantah! Ikuti saja permintaanku, aku ini siapamu?” ucap Pak Cipta sambil menoleh ke arah Indra dengan hitungan detik. Jika Pak Cipta sudah memerintah, Indra tak bisa berkutik apa pun, ia hanya bisa melaksanakan perintahnya. Walaupun dalam hati kecil Indra bertanya-tanya, “Sebenarnya hukuman apa yang akan didapatkannya? Sampai diberlakukan seperti ini, semoga tidak memberatkan.” *** Tak pernah terbersit dalam benak Indra, kalau dirinya akan satu mobil dengan Pak Cipta. Bukan sebagai tanda bahagia, tetapi berita buruk. Andai saja dirinya tak telat kerja, semua tidak akan seperti ini. Mobil yang distir Pak Cipta melesat secara kencang, hingga menyalip beberapa kendaraan lain. Ada suatu ketakutan dalam diri Indra, takut hal tak diinginkan terjadi. Rem dadakan dilakukan Pak Cipta tepatnya di depan rumah mewah, tepi jalan raya. Kekhawatiran mulai muncul dalam benak Indra, "Apakah Pak Cipta akan menyelakai nyawanya?" Dengan penuh rasa emosi Indra mengeluarkan kata-katanya, tanpa peduli dengan Pak Cipta. "Jadi begini hukuman yang akan Bapak berikan kepada saya. Untung saya gak punya penyakit jantung, kalau iya, bisa-bisa masuk rumah sakit." "Gini-gini saya masih punya hati kali. Saya memang mantan sopir ugal-ugalan dan cara saya nyopir ya seperti ini." Pak Cipta melakukan pembelaan diri. Dalam batin Indra berkata, "Astaga! Kenapa saya bisa ngomong seperti itu. Semoga Pak Cipta tidak makin marah besar." Dengan hati-hati Pak Cipta mendekat ke arah pintu gerbang rumah dan membunyikan klakson tiga kali. Selang sepuluh detik datanglah laki-laki paruh baya membukakannya. Mobil menerobos pintu gerbang, memasuki halaman rumah yang tidak terdesain perkantoran. "Ini kan rumah pribadi. Kenapa aku dibawa ke sini," batin Indra. Berhentilah mobil tepat di depan bangunan megah. Dua laki-laki beda usia, tak lagi merasakan AC mobil, udara sejuk kini dihirupnya. "Pakde ... " sapa gadis bercelana jeans dengan perpaduan kaos lengan pendek berwarna putih. "Kamu gak kuliah, Nduk!" "Kebetulan dosennya berhalangan hadir, Pakde." Pak Cipta mengangguk. "Pakde akan memenuhi permintaanmu. Kamu bisa belajar nyetir mobil sama Indra." Gadis itu mengangguk dan mengembangkan senyumnya. Tetapi, hal ini tidak berlaku dengan Indra. Ia melakukan penolakan keras. "Ini apa-apaan? Kalau Bapak meminta bantuan jangan di jam kerja kek gini dong! Apa seperti ini yang dinamakan profesional?" "Ini sebagai hukumanmu karena telat," tegas Pak Cipta. "Apa? Sekali lagi ya, Pak. Saya tegaskan, jangan campur urusan pribadi dengan pekerjaan!" bantah Indra. "Saya gak akan mengancam apa pun kepadamu, cukup sederhana saja. Kalau kamu tidak mau mematuhi keinginan saya, solusinya saya akan pecat kamu!" tegas Pak Cipta sambil memainkan matanya. Lagi-lagi ancaman itu datang. Cari kerja memang susah, sehingga membuat Indra harus melakukan semua perintahnya. Dengan berat hati Indra mengangguk. "Tolong jaga baik-baik ponakan saya!" Senyuman terpaksa sengaja diperlihatankan di hadapan Pak Cipta. Dalam batin Indra bergumam, "Masak iya aku mau bersikap acuh sama cewek. Emang aku siapa?" *** Jalan yang tak dipenuhi lalu-lalang kendaraan menjadikan tempat Indra mengajari ponakan Pak Cipta nyetir mobil. Indra mendampingi di samping ponakan Pak Cipta, terkadang memberikan pengarahan. Mendadak gadis itu menghentikan mobil warna putih yang digunakan untuk belajar nyetir. Untung saja berhenti di pinggir jalan. "Jangan dipaksa kalau sudah capek, Mbak!" Gadis itu menoleh ke arah Indra. "Gak papa kok. Aku cuman kasihan sama Mas Indra aja." "Apa pantas saya dikasihani?" timpal Indra. "Aku melihat semua dari mataku sendiri. Dari perusahaan sampai rumah kamu kena marah dari Pakde terus," kata Liza sambil mengalihkan pandangan ke arah depan. "Dari usia 19 sampai 23 tahun saya sudah bekerja di perusahaan pakde sampeyan. Saya sudah apal sama watak beliau, tetapi kali ini sangat jauh beda sekali. Yah .... " Liza memotong perkataan Indra. " ... bikin emosi! Maaf, jika aku meminta yang berlebih dari Pakde. Jadi kamu jadi imbasnya." "Maksudku gak gitu, Mbak. Gimana ya? Cara penyampaian Pak Cipta aja yang menurutku tidak .... " "Tidak pantas." Liza menyambungkan kalimat diucapkan Indra yang belum selesai. "Sudahlah, jangan dibahas! Mending ngomongin yang lain aja," pinta Indra. Liza merasa bersalah karena membuka percakapan yang sangat sensitif. "Maafkan aku ya, Mas!" "Aku bilang apa sih? Sekarang fokus sama tujuanmu," kata Indra dengan nada dingin. Niat Liza tak sepaham dengan Indra. Kini gadis itu menjadi imbas kemarahan Indra yang berasal dari Pak Cipta. Bekas perseteruan dengan Pak Cipta masih tergores dalam hati Indra, tetapi ia berusaha untuk meluluhkan hatinya sendiri untuk berdamai dengan suasana baru. Suasana tak seasyik tadi. Liza terdiam dan terfokus nyetir. Seolah suara hilang ditelan bumi. "Sudah mau sampai jalan raya. Biarkan saya yang nyetir ya!" pinta Indra. Liza menghentikan kendaraan roda dua. Ia keluar tuk ganti posisi. Mobil kembali dimasuki gadis berkulit putih, posisi yang tadinya digunakan Indra, kini dipakai Liza. "Mbak .... " "Panggil saja Liza," kata Liza setelah membisu. "Oke. Kamu gak marah kan, Liza!" "Aku terdiam bukan berarti marah. Tetapi, aku gak mau jadi imbas kemarahan yang beruntut." ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook