S1 - BAB 3

1053 Words
Pagi-pagi sekolah sudah ramai, entah karena apa. Aku sebenarnya ingin tahu, tapi aku tidak suka keramaian, akhirnya aku lebih memilih untuk berjalan lurus saja tanpa menoleh ke arah lapangan yang ramai. "Siapa yang berantem?" "Dane sama Dimas." "Dane? Gila, Dane serius?" "Iya, gua enggak yakin si Dimas bakal terus sekolah di sini apa enggak. Lu tau sendiri, kan, Dane itu ...." "Wush, jangan ikut-ikutan, nanti lu yang kena baru tau rasa deh." Langkahku spontan berhenti saat mendengar dua nama laki-laki itu. Mataku membulat. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba aku berlari membelah kerumunan yang tercipta, banyak orang yang memandangku aneh. Kulihat bahkan tak ada satu orang pun yang melerai. "Dane ...," panggilku pelan saat sudah berada di hadapannya. Kulihat bajunya berantakan, Dimas sudah babak belur. Tangan Dane yang sebelumnya mencekal kerah baju Dimas kasar kini terlepas saat matanya menangkap sosokku. Suasana semakin meriuh. Mataku melayu, Dane pasti paham akan hal itu. Namun bodohnya ia malah menatap tajam wajahku. "Ikut aku," ucap Dane pelan, hanya aku dan beberapa orang yang ada di depan saja yang bisa dengar. Dane berjalan lebih dulu, memberikan celah untukku agar dapat berjalan tanpa harus mengatakan kata permisi. Aku hanya bisa menunduk. Langkahnya terhenti di taman belakang sekolah. Dia menatapku tajam. Kulihat bibir bagian kanannya terluka. "Kamu ...." Belum sempat aku berkata Dane langsung menggelengkan kepalanya. "Don't speak," ucapnya pelan sambil memejamkan mata. Aku menunduk, menunggunya untuk bicara. Namun ia tak kunjung bicara. "Istirahat nanti jangan keluar, ayo aku antar ke kelas." "Aku bisa sendiri, Dane." "Ra ...." Kuhela napas pelan, mengapa sekarang dia jadi sering mengatur hidupku. Dan kenapa aku selalu menuruti apa yang ia titah, bodoh sekali. Aku kira dia hanya mengantar sampai pintu, ternyata dia mengantarku sampai bangku. Ia menatap warga kelasku dengan tatapan tajam. Aku tidak mengerti mengapa sekarang kelasku menjadi sunyi saat dia datang dan menatap satu persatu warga kelasku. "Kalau ada yang ganggu kamu, aku pastikan dia akan menyesal," ucapnya seraya menatap wajahku dengan tatapan datar. "Aku ke kelas." Kepergiannya membuat kelasku sedikit mencair. Entah karena aku yang kurang update atau memang ada hal yang tidak mau Dane tampakkan padaku? Aku merasa aneh dengan Dane. *** Sesuai yang Dane katakan, aku tidak keluar kelas saat bel istirahat berbunyi. Untung saja aku selalu membawa bekal. Jika tidak aku bisa kelaparan. "Ra?" Entah telingaku bermasalah atau memang benar ada yang memanggilku, jujur saja, selama ini tidak pernah ada yang memedulikanku sampai memanggil namaku seperti itu. Aku menoleh tanpa bicara. "Lu pacaran sama Dane?" Ternyata dia teman perempuan yang duduk di samping mejaku. Aku menggeleng polos. "Tapi kok lu bisa dekat gitu, satu tahun ini gua lihat lu dekat banget sama dia. Kok bisa?" Lagi-lagi aku menggeleng. "Dane cuma temanku." Dia menganggukkan kepalanya. "Hati-hati, dia kas—" Belum sempat dia meneruskan ucapannya, sudah ada orang yang ia bicarakan di sampingku. Dane menatap teman perempuanku datar, benar-benar datar. Aku dahulu mengira, Dane anak pendiam yang tidak bermasalah, pintar dan tentunya disayang guru. Namun entah mengapa kini aku meragukannya. "Ayo kita ke kantin." "Aku ...." "Ra ...." Aku menggeleng. "Kenapa sekarang kamu suka banget perintah aku, Dane?" ucapku pelan lalu menunduk. "Karena aku peduli sama kamu," jawabnya enteng. "Tapi ...." Suara gebrakan meja membuatku terkejut. "Maaf, aku reflek, ayo, Ra." Aku tahu itu bukan reflek, dia menggebrak meja pasti karena kesal dengan aku yang tidak menurut, dengan menggebrak meja dia berharap aku segera paham apa yang dia rasakan. Aku merasa ... ada yang aneh dari Dane. Dia menyeramkan. Akhirnya aku menurut. Kali ini kami jalan berdampingan. "Setiap manusia itu punya kelebihan dan kekurangan, begitu juga dengan aku dan dirimu. Kalau suatu hari nanti kamu tau kekuranganku, apa kamu masih mau berada di sisiku?" Setahuku Dane itu banyak teman, tapi kenapa dia berkata seperti itu, seolah, temannya hanya aku. "Seperti kamu yang menerima kekuranganku, aku juga menerima kekurangan kamu." Dane tersenyum. "Athar beruntung memilik cinta pertama sepertimu." Aku jadi teringat foto yang berada di laci mobil Dane. Apa jangan-jangan wanita itu adalah cinta pertama Dane? Ingin sekali aku tanyakan, tapi ... Dane tidak semudah itu saat menjawab hal yang menurutnya privasi. Bahkan hingga kini aku belum sama sekali ke rumahnya. Sementara dia sudah beberapa kali ke rumahku. "Singkirkan pemikiran buruk dari otakmu, baru itu yang dinamakan menerima kekurangan dengan tulus." Langkahku terhenti. Dane ikut menghentikan langkahnya. "Kamu ... kenapa banyak orang yang takut sama kamu?" Dia tertawa kecil. "Takut?" Aku mengangguk polos. "Bukan takut, tapi penakut, ayolah, aku udah lapar." *** Saat sampai di kantin, Dane mudah sekali mendapatkan tempat duduk, coba kalau aku sendiri, bisa-bisa bermenit-menit hanya untuk mendapatkan meja makan. "Aku pesan, kamu tunggu sini, jangan ke mana-mana." Setelah mengatakan itu dia langsung bangkit dan meninggalkanku. Aku menoleh ke arahnya, lihatlah, dengan mudahnya dia menerobos antrean. Bahkan tanpa menerobos, lebih tepatnya diberikan jalan. "Aku harus tanya sama siapa tentang Dane?" ucapku pelan. Tidak membutuhkan waktu banyak kini ia sudah berada di hadapanku dengan makanan dan minuman yang ia pesan. "Bibir kamu masih luka, Dane," ucapku seraya mengaduk-aduk bubur yang baru saja Dane berikan. Dane mengusap kasar darah kering yang berada di ujung bibirnya. "Bagi laki-laki ini bukan hal yang perlu dicemaskan, Ra." Aku hanya mengangguk, posisiku saat ini sedang makan, ah ... aku sampai melupakan bekalku di atas meja. "Tumben kamu datang ke sekolah tepat saat bel berbunyi?" ucapnya di sela kunyahan. "Iya, aku harus mengantar nenek ke rumah sakit." Dane meletakan sendok ke atas mangkuk bubur. "Sakit? Di mana?" "Rumah Sakit Melati, tapi sekarang udah pulang pasti. Aku udah titipin sama tukang becak." "Tau gini, harusnya kamu bilang sama aku, biar kita antar nenek ke rumah sakit sepulang sekolah." Aku tersenyum kecil. "Enggak perlu, Dane, lagi pula dekat kok." Dane meraih kembali sendok yang ada di atas mangkuk. "Sebenarnya aku benci penolakan, tapi entah kenapa aku enggak bisa marah kalau kamu yang nolak." Benar saja, Dane pasti memperlakukanku dengan baik karena memandang Athar, bukan aku. Aku harus meyakini itu sejak kini, agar aku tidak sampai kelewat batas dalam berhalusinasi. Mana mungkin orang sepopuler Dane mau berteman denganku secara cuma-cuma. Lihatlah, kita beda kasta, beda segalanya. "Pasti otakmu ini isinya insecure aja," ucap Dane seraya menoyor keningku pelan dengan sedotan yang baru saja ia buka bungkusannya. "Kenapa kamu selalu bisa baca pikiran orang?" Dane tersenyum miring. "Mata itu jendela kepribadian. Kamu harus belajar memaknai mata lawan bicaramu." Aku mengatup-ngatup mulut bagaikan ikan, aku tidak berkata apapun lagi setelahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD