S1 - BAB 4

1003 Words
Di jam pelajaran terakhir guru pengajarnya tidak masuk, jadilah sekarang free class, waktu yang orang-orang sukai tapi aku benci. Mungkin inilah konsekuensi dari tidak memiliki teman, di saat orang asyik berbincang aku malah diam membungkam. Ini tulisan pertamaku untukmu, laki-laki yang mau menerimaku menjadi sahabatmu entah atas sebab apa. Kurasa kita sama-sama memiliki masa lalu, dan bersatunya kita, mungkin sama-sama untuk menghapusnya. Kuharap kamu bisa bahagia, begitu pun denganku. Semoga bersatunya kita, sebagai obat dari segala luka. Lukaku dan lukamu. Tiba-tiba ada yang mendekat ke arahku. Aku langsung menutup buku harian rapat-rapat dan membiarkan bolpoint-ku terbuka. Karena buku harianku ini hanya ada satu, sementara bolpoint-ku itu tidak hanya satu. Ternyata dia Dimas, aku menunduk, aku tidak mau dia melakukan hal yang tidak-tidak lagi, dengan menunduk aku berharap dia segera pergi. Namun, dia tetap mendekat, lalu berhenti di sampingku. "Ra, gua minta maaf selama ini selalu ganggu lu," ucap Dimas tiba-tiba, dan itu berhasil membuatku membeku. Apa ini ulah Dane? Dia bersujud di kakiku, aku langsung menghindar. Apa-apaan ini? "Gua mohon maafin gua, Ra," ucapnya dengan wajah memelas, memohon belas kasihan kepadaku. Kelas menjadi riuh, siapa yang tidak kenal Dimas, laki-laki itu populer di kelasku, populer dalam kenakalannya. Kenapa sekarang dia malah bersujud di kaki, itu justru meruntuhkan drajatnya. "I-iya," jawabku gugup, "jangan sujud di kakiku, ba-bangun." Dia bangun lalu tersenyum kecil. "Terima kasih, lu berjasa besar dalam hidup gua." Setelah mengatakan itu dia langsung pergi begitu saja. Tinggallah kini aku yang kebingungan. Kutatap sekitar, orang-orang langsung menunduk saat kutatap. Ada apa ini? "Ra-Ratih," panggilku gugup ke perempuan yang duduk di sebelah mejaku. Dia menoleh. "Iya?" "Tadi kamu mau bicara apa tentang Dane? Siapa, sih, Dane itu?" "Selama ini lu, kan, dekat sama dia, masa lu enggak kenal, sih, dia itu tipikal laki-laki kayak apa, Ra. Gua aja yang cuma bisa tatap dari kejauhan bisa nilai dia orangnya kayak gimana." Aku rasa, Ratih punya masa lalu buruk dengan Dane, dia menjawabnya pun gugup. Aku menggeleng. "Tapi aku benar-benar enggak tau. Dia ... dia laki-laki yang baik di mataku selama ini." "Athar tau banyak pasti tentang dia, gua ngerasa aman pas Athar masih hidup dulu, Athar itu udah kayak tuas pengamannya Dane. Sekarang Athar udah enggak ada, semoga aja lu bisa gantiin posisi Athar." "Bagaimana bisa, aku aja enggak tau apa-apa tentang Dane." Dia menggedikkan bahu. "Gua enggak mau gali kuburan sendiri, Ra, lebih baik lu tanya langsung aja sama Dane-nya." Setelah mengatakan itu Ratih langsung membuang muka ke arah teman-temannya dan langsung tertawa bersama, dia menghindar dari pertanyaanku. Segitu semenyeramkankah Dane? *** Pantas saja saat bel pulang tidak ada yang berani jalan lebih dulu. Di pintu ada Dane sedang berdiri. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bangun dan keluar lebih dulu. Dane menatapku dengan tatapan yang tidak pernah berubah. Dingin dan menusuk. Untungnya ia tersenyum. "Pulang bareng aku, ya, Ra?" Belum sempat aku menjawab, senyumannya meluntur, seolah menekankan kepadaku kalau aku harus mengikuti titahannya. Mengenai tuas pengaman yang Ratih bilang tadi, itulah yang membuatku menurut, aku jadi ingin tahu lebih banyak tentang Dane. Dia berjalan lebih dulu di depanku. Aku mengikutinya dari belakang. Setelah kepergian kami siswa dan siswi di kelasku langsung berhamburan keluar. "Ada yang mau kamu tanyakan?" tanyanya tanpa menghentikan langkah. Dane selalu saja tahu apa yang sedang aku risaukan. "Tapi ... aku enggak yakin kamu akan jawab." "Aku bakal jawab, tapi enggak di sini, ikut aku ke suatu tempat, mau?" Langkahnya terhenti tiba-tiba, hampir saja aku menubruknya. Sekarang dia menatapku, sungguh, aku sekarang semakin takut dengan tatapannya. "Kamu ... tapi serius, kan?" Dia tersenyum, tatapannya mencair. "Kamu kira aku akan apakan kamu?" Dia menoyor keningku pelan. "Otakmu perlu dikuras, jadi mau atau enggak?" Akhirnya aku mengangguk, aku sudah kelewat ingin tahu. *** Ternyata Dane mengajakku ke sebuah danau, di sisi danau ada bangku, dan suasana di danau ini sangat sepi. Tidak ada satu orang pun di sini, hanya aku dan Dane. Aku jadi merinding. "Apa yang mau kamu tanyakan?" tanyanya saat kita sudah duduk di bangku tua yang berhadapan dengan danau. Entah kenapa sekarang aku malah jadi gugup. "Tap-tapi kamu bakal marah, enggak?" Dia tidak menjawab, lama hening, hingga akhirnya aku mendengar suara ia menghela napas berat. "Aku enggak akan marah, ayo cepat, sebentar lagi sore, kalau udah gelap, kamu nanti disangka habis ngelancong sama aku." Kutelan saliva dalam-dalam. "Mengenai kamu yang sedikit aneh hari ini." Dia tersenyum miring. "Aku emang udah aneh dari lahir." Kugigit bibir bawahku. Kuakui, Dane memang tampan, tapi entah mengapa saat dia tersenyum miring, pikiranku berubah jadi negatif. "Tadi Dimas minta maaf sama aku, apa itu karena kamu yang menyuruhnya? Dan mengenai teman kelasku tadi, kenapa mereka kayak takut sama kamu. Semenjak insiden Dimas dipukuli kamu, enggak ada yang berani mengangguku, bahkan teman-teman sekarang lumayan mempedulikanku." Dia menghela napas pelan. "Ya, aku yang menyuruhnya." Hanya itu? Jawabannya tidak memuaskan. "Dan tentang perempuan yang ada di lac-" Belum sempat kuteruskan ucapanku, dia kini sudah menatapku dengan tatapan tajamnya. "Kamu lihat?" Aku mengangguk takut. "Jangan bahas itu, aku ...." Tiba-tiba dia bangun, berdiri di hadapanku, menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Dia tertawa, sungguh ... bulu kudukku langsung meremang. Mataku membulat saat ia mengunci pergerakanku dengan kedua tangannya. Wajahnya kini sangat dekat dengan wajahku. Dia terus menatapku dengan tatapan tajamnya. "Aku membutuhkanmu," ucapnya. Napasnya menyapu wajahku. "Jadilah tuas pengamanku, ini alasanku selalu mengatakan jangan pernah merendah di hadapanku, karena sebenarnya, kamu jauh lebih baik daripada aku. Aku akan mengatakan segalanya, tapi ... jangan pergi." Bibirku mengatup-ngatup, bingung ingin bicara apa. "Mereka emang takut sama aku, dan Dimas, aku yang menyuruhnya, karena dia tau apa konsekuensinya kalau berurusan denganku. Dan teman-temanmu pun tau, kenapa kamu enggak tau, karena selama ini hidupmu hanya ada Athar seorang, apa ada yang kamu pedulikan selain Athar saat itu?" Dia tersenyum miring lalu membuang muka ke samping. "Kamu enggak akan kenal aku kalau Athar enggak kenalin aku ke kamu." Mataku langsung menutup saat tiba-tiba dia mendekat ke arah wajahku, aku bisa merasakan embusan napasnya kini berpindah di telingaku. "Aku punya kepribadian buruk yang menjengkelkan, itu yang sering kali orang lain katakan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD