Bersemi Kembali

1305 Words
Verga sedang menunggu kliennya di butik milik Alex. Ia tengah duduk di dekat jendela sambil menyesap kopinya perlahan dan mengamati gaun pengantin warna putih yang berderet rapi di hadapannya. Entah kenapa, memandangi gaun-gaun itu membuat hatinya menjadi mengharu biru. Inginkan ia memakai baju pengantin yang cantik itu? Atau teringat kah dia dengan seseorang yang pernah bersama dan mengisi hatinya dulu? Waktu begitu cepat berlalu tanpa disadari yang ada hanya rasa rindu yang sering ia sangkal. Rindu itu ... Verga tak mau mengakuinya. Ia terlalu malu, terlalu sakit, dan terlalu mencintai hingga tak berani untuk bertemu atau sekadar menyapa ketika pria itu mampir di benaknya. Hari ini, ia ada janji bertemu dengan Serly dan calon suaminya untuk fitting baju. Entah untuk alasan apa gadis yang hari ini memakai rok warna dusty pink selutut itu merasa cemas dan jantungnya berdebar tak seperti biasa. Ia melirik jam di tangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul sebelas siang sedangkan mereka janjian jam sebelas lewat lima belas menit. Untuk banyak hal, Verga lebih menyukai datang lebih awal dari jam yang dijanjikan. Ia tak suka terlambat dan ditunggu. "Hai, Verga ... apakah kau sudah lama menunggu?" Seorang gadis memakai gaun putih tulang menyapa Verga ketika memasuki butik. Ia tersenyum memperlihatkan giginya yang putih dan seperti kelinci. " Hai, Serly?" Verga berdiri hendak menyambutnya. "Apa kau datang sendiri?" lanjut Verga menelisik. "Leon sedang memarkir mobilnya," balas Serly mendudukkan bokongnya diatas kursi kayu bercat putih. "Apa kau mau minum? Aku akan mengambilkan." "Boleh. Air putih saja." Verga kemudian berdiri dan ke belakang untuk mengambil segelas air putih. Sudah menjadi kebiasaannya melayani setiap klien dengan sebaik mungkin. Buatnya, klien bukan hanya orang yang akan mengisi dompetnya. Tapi ini tentang kepuasan dalam bekerja. "Minumlah, Ser. Ini butik milik temanku." Ia menaruh segelas air putih di atas meja. "Terima kasih," ucapnya setelah meneguk dengan cepat air yang dipegangnya. Ia heran, kenapa Singapura sangat panas melebihi Indonesia. "Kami sudah menjadi partner sejak lama. Aku yakin kamu pasti akan menyukai rancangannya." "Jika itu pilihanmu, pasti sesuatu itu aku akan menyukainya," balas Serly meyakinkan dan mengerlingkan matanya yang sebelah kanan. "Hai, sayang. Kemarilah." Serly berdiri ketika melihat tunangannya. Dan Verga pun berbalik ke arah pintu. Ia penasaran seperti apa bentuk dari calon suaminya seorang artis besar. Tampan kah ia? Minimal, seperti pangeran dari kesultanan atau sesama artis juga? Entahlah ... Verga sama sekali tak memiliki bayangan untuk hal itu. Pria itu mendekat ke arah Serly lalu memeluk dan mencium bibir tunangannya di depan seorang wedding planner, Verga. Memang, hal itu adalah wajar terutama bagi seorang artis atau orang-orang yang tinggal di luar negeri. Tapi ini ... tetaplah tak benar di mata Verga. Ada yang salah dan tak beres melakukan ciuman semesra itu di hadapan gadis yang belum memiliki pacar. Tapi, mana Serly tahu kalau saat ini dia sedang tak menjalin ikatan dengan siapapun? Verga berusaha menenangkan dirinya dan hatinya. Tubuhnya hampir jatuh jika saja dia tak cepat-cepat berpegangan pada tepi meja. Leon? Verga merasa tak asing. Ia merasa mengenal pria itu. Meskipun lama tak bertemu, tapi ia masih ingat bagaimana wajahnya. Dan sorot mata itu ... sempat menatap ke arah Verga beberapa detik. Apakah di dunia ini hanya ada satu nama Leon? Kenapa harus Leon Barack yang menjadi calon suami Serly? Kenapa pertemuan yang tidak diinginkan ini terjadi? Oh, tidak! Verga hampir pingsan dibuatnya. _________ "Bagaimana menurutmu, Beib? Apa kamu menyukainya?" Serly bertanya pada Leon yang sedang duduk di sofa warna coklat. Serly sedang fitting baju dan berlenggak lenggok layaknya pragawati di depan tunangannya. Sedangkan Verga masih mengumpulkan tenaganya. Ia masih kaget dengan kedatangan Leon Barack yang tiba-tiba dalam kehindupannya. Ia mematung dan menyandarkan diri pada tembok. Terlihat seperti memeperhatikan Serly padahal tidak. Pikirannya sedang melayang entah kemana. "You are so beautyfull." Leon menanggapi dengan senyuman. Pria yang sedang mengenakan polo shirt dan jins warna biru tua itu memandangi Serly namun ekor matanya tak berhenti mengawasi Verga yang berdiri di samping tungangannya. "Bagaimana menurutmu, Verga?" tanya Serly dengan senyum mengembang. Ia senang sekali memakai gaun pengantin berwarna putih yang dikenakannya. Terlihat elegan dan pas di tubuhnya. Gadis itu tersentak. Suara Serly membangunkannya dari lamunan yang sempat menenggelamkannya beberapa saat. "Mmmm ... ya ... anu ... aku menyukainya. Sangat cocok sekali dengan bentuk tubuhmu. Apalagi memperlihatkan bahumu yang cantik. Apa kau memilih ini, Serly?" "Tentu saja. Kamu dan Leon bilang ini bagus. Tentu orang lain akan berpikiran sama." Verga hanya tersenyum dengan terpaksa. Wajahnya kaku, apalagi bibirnya. Ia tahu sedang diamati. Dan ia tahu mantan kekasihnya, yang ia sapa dengan Barack itu seperti menelanjangi tubuhnya. Melihat dari ujung kaki dan ujung kepala. "Leon, apa kamu mau mencoba tuxedomu?" Serly bertanya pada tunangannya yang sedang memangku wajahnya dengan kedua tangannya yang berotot. Ada jam ber merk terkenal yang menempel di tangan kanannya. "Verga, bisakah kamu menolong, Leon?" pinta gadis itu yang masih memandangi bayangannya sendiri di depan cermin. "Baiklah. Aku akan menemaninya ke ruang ganti," balasnya berusaha menyembunyikan kegugupan. Verga dan Leon berjalan menuju ruang ganti khusus pria. Verga berjalan di depan, sedangkan pria bertubuh tinggi tegap itu mengikuti dari belakang. Leon barack mengamati dari belakang tubuh gadis yang masih dicintainya sampai sekarang. Makin cantik, makin berisi, dan makin membuatnya ingin dekat kembali. "Silakan masuk ke dalam. Saya akan mengambilkan bajunya." Verga menunjuk ke ruangan dua kali dua yang tertutup oleh tirai. Pria itu pun masuk, menurut tanpa menuntut. "Silakan dicoba, Pak. Saya akan menunggu di sini," kata gadis itu ragu sambil menunduk ketika menyerahkan setelan tuxedo pada Leon. Lelaki itu pun hanya tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang membuat wajahnya semakin manis. "Aku rasa baju ini terlalu kecil untukku." Leon akhirnya bersuara dari balik tirai. "Benarkah? Saya memiliki ukuran lain. Maukah Anda mencobanya?" "Baiklah. Bisakah kau membawanya kemari?" Buru-buru Verga mengambil setelah lain yang telah disiapkan oleh Alex dan menyerahkannya kepada Leon. "Ini." Verga mengulurkan baju itu melalui tirai yang tertutup. Tapi tiba-tiba ia merasakan tubuhnya ditarik masuk oleh seseorang. Leon! Ia berusaha tidak memekik agar Serly dan asisten Alex di ruang sebelah tidak mendengar mereka. "Apa yang Bapak lakukan?!" Verga berbisik dengan penuh penekanan ketika tunangan kliennya itu memeluk tubuhnya. Ia berusaha meronta dan memukul d**a yang sedang bertelanjang itu, tapi Leon bukanlah tandingannya. Ia mencengkram tubuhnya terlalu kuat. "Diamlah Verga. Apa kau mau Serly mendengarmu?" Lelaki itu makin mendekap Verga ke dalam rengkuhannya. Tidak ada lagi jarak satu senti pun. Verga bisa merasakan detak jantung Leon yang seperti genderang ditabuh. Sementara ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin menolak, tapi tidak dengan hatinya. Leon Barack terlalu melekat dari dalam dirinya. Terlalu ia rindukan hingga tak bisa melihat pria lain selain mantan kekasihnya itu. "Verga. Apakah kau tahu aku merindukanmu?" "Tidak!" Verga menjawab ketus meski tubuhnya telah pasrah dan takluk pada mantan kekasihnya. "Aku mencarimu selama ini. Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?" "Lepaskan, Barack! Aku tidak mau Serly melihat kita!" "Aku tidak keberatan jika dia menemukan kita sedang  berpelukan." "Kau yang memelukku!" jawab Verga kesal. "Bukankah kau juga menginginkannya?" Verga tak tahu harus menjawab apa. Ia sama sekali tak bisa berpikir jernih kali ini. Dan tanpa pikir panjang, ia menendang selakangan Leon menggunakan kakinya. Pria itu mengaduh, lalu melepaskan pelukannya. "Rasakan!" kutuk Verga lalu pergi meninggalkan lelaki yang sedang memegangi barang berharga satu-satunya yang entah sekarang bagaimana keadaanya. Wajahnya meringis, pasti sakit sekali. "Tunanganmu menyukainya, Serly. Aku rasa fitting baju untuk hari ini selesai," katanya pada Serly yang sedang mengganti baju ditemani asisten Alex. "Syukurlah. Terima kasih Verga. Biasanya Leon terlalu pemilih. Aku sempat khawatir tadi." "Benarkah? Pak Leon cukup puas dengan bajunya tadi. Iya kan, Pak?" Ia melirik Leon yang tiba-tiba muncul di ruang ganti perempuan dengan wajah kesakitan. "Benarkah itu, Beib?" sahut Serly penasaran. "Ya. Aku rasa bu Verga memiliki selera yang cukup bagus." Cihhh. Verga melengos tak bisa menyembunyikan kekesalannya atas apa yang dilakukan Leon. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang bersemi di dalam dirinya. Sebuah pohon yang telah lama mengering dan tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD