Bom Waktu

1967 Words
“Kalian tidak akan selamat! Ke mana pun kalian pergi, anakku akan mencari kalian dan membalas pengkhianatan yang telah kalian lakukan padaku dengan rasa sakit yang jauh lebih besar dari yang kuterima saat ini!” “Maka akan kubunuh juga anakmu, Tuan.” “Ya Tuhan...” Trevor menutupi wajahnya yang tampak sangat frustrasi dengan kedua telapak tangan besarnya. Mengingat apa yang terakhir kali Hector ucapkan padanya sesaat setelah ia menusuk pria itu 22 tahun lalu, Trevor tidak bisa untuk tidak menyesalinya sekarang. Bukan menyesal karena telah membunuh b******n jahat itu, Trevor menyesal karena malam itu ia tidak membunuh Rion. Karena setelah 22 tahun berlalu, anak kecil yang telah tumbuh menjadi pria dewasa itu justru menjadi bom waktu untuknya. “Cepat cari orang itu! Apapun yang terjadi, bawa dia dalam keadaan hidup ke hadapan Bos Rion!” Trevor memejamkan kedua matanya saat mendengar suara orang-orang yang sebelumnya telah menghajarnya hingga babak belur di sisi lain dinding yang menjadi tempatnya bersembunyi. Meski 22 tahun telah berlalu, Trevor tidak akan pernah lupa pada anak laki-laki manis yang suka menjadikan lengan kekarnya sebagai tempat berayun itu. Pewaris bisnis gelap milik Hector yang menjadi kesayangan istrinya, Kaia, yang tumbuh dalam asuhan penuh kasih sayang wanita itu. Yang kini justru berusaha membunuhnya dan Kaia demi membalaskan dendam atas apa yang telah ia lakukan pada Hector. “Harusnya aku membunuhnya malam itu.” Trevor masih terus menyesali keputusannya untuk menuruti keinginan Kaia malam itu dengan membiarkan Rion tetap hidup. “Dengan begitu, anak manis itu tidak akan berubah menjadi b******n seperti papanya.”     ***     “Harus disimpan di dalam lemari pendingin dulu, Sayang.” “Begitu juga enak kok, Ma.” “Kalau dingin lebih enak, Sayang.” Kaia mengangkat puding yang baru dibuatnya tinggi-tinggi membuat Cherry menunjukkan ekspresi cemberutnya saat ia tidak dapat menjangkau puding itu meski telah menggunakan kedua kakinya untuk berjinjit. “Kenapa Mama dan Papa bisa tinggi sekali, sih?” gerutunya sambil mengekor Kaia yang membawa puding tersebut menuju lemari pendingin. “Itulah kenapa harusnya kau tidak pernah diam-diam membuang susumu!” “Bukan karenanya susunya, kok! Mama dan Papa tidak pernah minum s**u tapi tetap tinggi, tuh.” “Kami kan rajin minum s**u saat seusiamu. Itu namanya masa pertumbuhan, Sayang. Jika kau tidak rajin minum s**u sekarang maka semuanya akan terlambat dan kau akan terus sependek ini sampai tua.” “Kalau begitu berikan pudingnya untuk Cherry! Di pudingnya kan ada susunya juga.” “Ini untuk dimakan nanti bersama Papa, Sayang.” “Cherry akan cicipi sedikit sa—“ Prang! Cherry dan Kaia sama-sama memekik kaget saat wadah berisi puding yang dibawa Kaia terlepas dan jatuh ke atas lantai karena tarikan tangan Cherry. “Maaf...” cicit Cherry saat Kaia menatapnya. Kedua mata gadis itu sudah berkaca-kaca sekarang. “Huaaaa maaf~ Cherry tidak sengaja~” Kaia menghela napas panjang. Mana mungkin bisa marah jika Cherry sudah mengeluarkan jurus andalannya dengan menangis kencang seperti ini. “Iya, iya. Sudah jangan menangis.” Kaia menggunakan kedua tangannya untuk menangkup wajah Cherry dan menghapus air mata putri semata wayangnya itu. “Itulah kenapa Mama selalu bilang jangan suka membantah. Lihat, karena kau tidak menuruti perkataan Mama sekarang kita semua jadi tidak bisa makan pudingnya, kan?” Cherry menggigit bibir bawahnya sementara ujung hidung dan kedua pipinya sudah memerah. “Ayo buat lagi. Cherry bantu.” “Cherry main di ladang bunga saja, uh? Banyak pecahan beling di sini, nanti kalau kau terluka bagaimana?” “Nanti Mama juga bisa terluka kalau terkena pecahan belingnya.” “Mama akan hati-hati.” “Cherry bantu, ya?” “Bantu Mama buat mahkota bunga saja, ya?” pinta Kaia yang selalu menggunakan cara ini untuk membuat Cherry sibuk dan tidak lagi mengganggu pekerjaannya. “Cherry akan buatkan untuk Papa juga.” “Iya, terima kasih.” Cherry mendaratkan bibirnya di pipi kiri mamanya sebelum meninggalkan wanita itu. Dengan diiringi helaan napas panjang, Kaia mulai membereskan kekacauan yang sudah dibuat putri kesayangannya itu. “Padahal aku sudah janji akan membuatkan puding ini untuk Trev— Ah!” Ucapan Kaia terhenti karena pekikannya saat pecahan beling yang sedang dipungutinya tidak sengaja menggores jari telunjuknya hingga berdarah. “Padahal tadi aku menasihati Cherry untuk hati-hati, tapi sekarang malah aku yang terluka seperti ini,” gerutu Kaia seraya membuang pecahan beling yang telah dikumpulkannya ke tempat sampah sebelum beranjak menuju wastafel untuk mencuci darah yang dengan cepat mengalir dari goresan luka di jari telunjuknya. “Mama!” Suara panggilan Cherry membuat Kaia mengangkat wajahnya. Sambil terus mencuci tangannya di air yang mengalir, wanita itu tersenyum saat melihat senyum lebar Cherry yang tengah melambaikan beberapa tangkai bunga daisy padanya melalui jendela di atas wastafel yang menunjukkan pemandangan di halaman belakang rumahnya. “Jangan main jauh-jauh!” peringat Kaia. “Sebentar lagi Papa akan pulang.” “Iya!” sahut Cherry. “Aku akan menyelesaikan mahkota bunganya dengan cepat,” tambahnya sebelum berlari menuju rumpunan bunga daisy yang Kaia tanam untuknya di halaman belakang rumah kecil mereka. Gadis itu memetik bunga sambil bersenandung dengan ceria, membuat Kaia yang bisa mendengarnya jadi tersenyum hingga melupakan luka di jarinya. Sudah bertahun-tahun sejak ia terbiasa memandangi Cherry yang bermain di halaman belakang dari jendela ini dan setiap kali melihat bagaimana gadis kecilnya terus beranjak dewasa ia selalu merasa jika waktu bergulir terlalu cepat. Gadis kecilnya itu berusia 17 tahun ini. Cherry tumbuh menjadi gadis paling manis dan murni yang pernah Kaia tahu sepanjang hidupnya. Bagaimana ia dan Trevor selalu berusaha menciptakan negeri dongeng yang penuh cinta dan hal-hal manis untuk putri mereka kadang membuatnya khawatir jika ia dan Trevor tidak bisa lagi menjaga Cherry dan gadis itu harus menghadapi dunia yang kejam ini sendirian. Tanpa menggenggam tangannya dan Trevor, bagaimana gadis kecilnya yang sangat polos itu bisa tidak tersesat di dunia yang penuh teka-teki ini? Brak! Bunyi pintu yang dibuka dengan kasar menyadarkan Kaia dari lamunannya. Wanita itu buru-buru mematikan keran air, menyempatkan diri tersenyum pada Cherry yang menunjukkan rangkaian mahkota bunga yang mulai dibuatnya sebelum beranjak menuju pintu depan. “Kau pulang cepat hari ini, Sayang?” tanya Kaia sambil mengeringkan tangan dengan celemek yang digunakannya. “Aku baru akan membuatkan puding untuk—“ Ucapan dan langkah Kaia sontak terhenti saat ia melihat 5 orang pria asing dengan setelan jas hitam telah berdiri di ruang tamu rumahnya. Menginjak lantai kayunya yang bersih dengan sepatu mereka yang membawa kotoran dari luar. “Lama tidak bertemu.” Kaia seperti lupa caranya bernapas saat para pria itu membuka jalan untuk seorang pria bertubuh tinggi tegap yang baru saja bicara dengan nada dingin yang terasa menusuk padanya. “Sepertinya kalian hidup bahagia hingga bisa menikmati puding yang manis setelah membuatku terjebak dalam neraka selama puluhan tahun.” Kaia mengepalkan kedua tangannya, namun kemudian membukanya dengan perlahan saat akhirnya ia bisa mengumpulkan keberaniannya. Ini adalah situasi yang sudah ia perkirakan sejak 22 tahun lalu ketika Trevor pertama kali membawanya kabur setelah membunuh Hector. Jadi setidaknya, ia sudah mempersiapkan hatinya untuk hal ini meski rasanya tetap sangat menyakitkan saat melihat anak laki-laki yang telah ia rawat seperti putranya sendiri tumbuh menjadi pria dewasa dengan aura seberbahaya ini. Ya, bahkan meski lebih dari 2 dekade telah berlalu Kaia bisa langsung mengenali Rion yang saat ini telah berdiri di hadapannya. Yang meski tatapannya terlihat penuh dendam dan kebencian, namun semakin lama memandanginya Kaia masih bisa melihat kemurnian seorang anak kecil yang tersesat dan kesepian dalam diri pria itu. “Kau sudah tumbuh dewasa sekarang.” Mengenyampingkan rasa takutnya, Kaia justru melangkah maju yang mana hal tersebut membuat pistol yang Rion todongkan jadi semakin dekat dengan keningnya. Ia lalu tersenyum saat menambahkan, “Biar kuambilkan pisau untukmu, jadi kau bisa membunuhku dengan cara yang sama seperti saat Trevor membunuh papamu.” Dengan jantungnya yang berdegup kencang, Kaia membalikkan tubuhnya. Meski akan lebih menyakitkan, ia tidak ingin Cherrynya yang saat ini sedang tersenyum lebar sambil membuatkan mahkota bunga untuknya menjadi ketakutan dengan suara pistol hingga lebih memilih untuk mati di tangan Rion dengan pisau. Dan setidaknya, itu akan memberinya kesempatan melihat Cherry untuk terakhir kalinya sambil memperingatkan gadis kecilnya itu untuk bersembunyi di tempat rahasia yang telah Trevor buat untuk saat-saat seperti ini jika ia bisa pergi ke dapur sekarang. “Mengapa kau lakukan itu?” Namun kemudian, suara Rion yang penuh rasa luka bersamaan dengan bunyi tarikan pelatuk pistol yang berada dalam genggaman pria itu membuat Kaia menghentikan langkahnya. “Mama, mengapa kau tega melakukan ini? Mengapa kau meninggalkanku sendiri setelah membunuh papaku dan membuat orang-orang jahat itu mengubah hidupku seperti ini?” Kelima anak buah Rion langsung memalingkan wajah mereka dan bersikap seolah tidak mendengar apa yang sedang bos besar mereka katakan. Rion yang selama ini terkenal dengan temperamen buruknya, saat ini pria itu bicara dengan suara bergetar dan air mata yang menggantung di kedua pelupuk matanya saat berhadapan dengan orang yang selama 22 tahun ini telah menjadi alasan dari semua mimpi buruk yang terjadi di dalam mimpi maupun dunia nyatanya. “Kau seharusnya membiarkan pria itu membunuhku malam itu,” lirih Rion yang membuat Kaia berbalik padanya. Dan meski Rion berdiri dengan tubuh gagahnya di balik setelan jas mewah yang dikenakannya, Kaia seolah melihat anak berusia 8 tahun yang tengah ketakutan di hadapannya. “Mengapa kau membiarkanku hidup jika hanya neraka seperti ini yang kau tinggalkan untukku?!” Rion menjerit dengan keras, yang mana hal itu membuat Kaia jadi khawatir jika Cherry akan mendengarnya dan masuk ke rumah hanya untuk melihat seorang pria menodongkan pistol padanya. “Pergilah ke neraka, sialan!” maki Rion. “Pergilah ke neraka, wanita jahat!” Dor! Tembakan itu terlepas, tepat mengenai kening Kaia sebelum wanita itu sempat mengatakan apapun. Kaia hanya terus menatap Rion dengan mata berkaca-kaca sebelum tubuhnya ambruk di atas lantai bersamaan dengan Rion yang juga jatuh terduduk di hadapan wanita itu. “Kau melakukannya, Bos.” Andrew yang merupakan tangan kanan Rion menepuk bahu Rion untuk menenangkannya, namun tangisan pria itu sudah pecah sekeras saat ia menangisi tubuh papanya yang sudah tidak bernyawa setelah Trevor menusuknya 22 tahun lalu. “Mama?” Suara bernada bingung itu membuat seluruh pria yang ada di tempat itu menolehkan kepalanya ke belakang, ke arah Cherry yang menggenggam sebuah mahkota bunga di tangan kirinya. Gadis itu terlihat kebingungan, namun jauh lebih khawatir saat melihat Rion yang menatapnya dengan wajah yang berlinangan air mata. Posisi berdirinya membuatnya tidak bisa melihat apa yang telah membuat pria itu menangis sehisteris itu. “Itu anak perempuan mereka,” bisik Andrew. “Kau ingin menghabisinya sekarang juga, Bos?” Rion tidak menyahuti pertanyaan Andrew dan memilih untuk bangkit lalu membawa tubuhnya menghampiri Cherry. Gadis itu mendongak menatapnya. Tidak bisa menyembunyikan ketakjubannya saat melihat tubuh menjulang Rion yang bahkan lebih tinggi dari papanya. “Mereka bahkan punya anak,” gumam Rion sambil kembali menarik pelatuk pistolnya dan menodongkannya ke kening Cherry. “Berani-beraninya mereka hidup sebahagia ini?” Rion sudah hampir melepaskan tembakannya saat ucapan polos Cherry membuat keinginannya itu tertahan. “Tuan, wajahmu berdarah!” Cherry berkata dengan nada khawatir sambil tanpa rasa takut sedikit pun menyentuh pipi kiri Rion yang dihiasi noda darah. Sama sekali tidak sadar jika itu adalah darah yang terciprat dari kening mamanya sendiri saat pria itu menembaknya beberapa saat yang lalu. “Cherry ambilkan obat merah, uh? Sebentar, Cherry tanyakan Mama dulu di mana obat merahnya—“ “Mereka bahkan menamaimu dengan nama sialan itu,” sela Rion yang membuat Cherry mengerutkan keningnya. Ia pernah mengucapkan kata sialan sekali setelah membacanya di buku dan mamanya langsung memarahinya. Rion bisa kena masalah nanti jika mamanya sampai mendengarnya mengumpat seperti itu. “Tuan, jangan berkata seperti i—“ “Bawa dia!” Rion memalingkan wajahnya dari Cherry saat memberikan perintah pada anak buahnya. Dan ia kembali menatap gadis itu saat menambahkan, “Segera temukan Trevor, jadi dia akan melihat apa yang bisa kulakukan pada anak gadisnya ini!”       **To Be Continue**      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD