Julie dan Koper Besar

2058 Words
“Dek Julie.” Panggilan itu membuat Julie terdiam sesaat sebelum ia berbalik memenuhi panggilan tersebut. Ini pertama kali ia dipanggil dengan cara demikian. Biasanya ia dipanggil dengan sebutan Ibunda Ratu. Atau salah satu penghuni kosnya yang memanggil ia dengan cara paling mendebarkan, ‘Ai’. Ah, sayangnya pria itu tak ia temui pagi ini. Padahal Julie sudah harus balik ke rumahnya karena sesuai perjanjian dengan Bu Margaretha, ia hanya boleh menginap semalam. “Iya,” jawab Julie sambil menuruni tangga lalu mendekati pria bertubuh besar yang memanggilnya. “Ada yang bisa saya bantu, Bang?” “Itu ….” Pria bernama Bobi itu terlihat sedikit ragu untuk mengutarakan maksudnya. Ia hanya menunjuk ke arah kamar yang ia tempati. “Kenapa, Bang? Ada masalah? Ada barang atau fasilitas yang rusak?” “Bukan rusak kayaknya,” jawab pria itu dengan ambigu. “Lebih ke … ee ….” Pria itu menggaruk kepalanya, tampak ia hendak mengatakan sesuatu tapi ragu. “Saya gak tau cara makenya. Itu yang kalo mau mandi, saya di kampung biasanya pakai gayung,” ujarnya dengan suara yang dipelankan. “Oh, itu,” timpal Julie dengan senyum. “Ayo, Bang, sini saya tunjukin caranya.” Bobi mengangguk pelan seraya mengikuti Julie yang sudah berjalan duluan menuju kamarnya. “Harusnya tadi malam saya jelasin ke Bang Bobi caranya, maaf, Bang, saya juga lupa sampeinnya.” “I-iya,” jawab Bobi sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. Sementara Julie masuk ke dalam kamar mandi, pria itu langsung mengunci kamarnya. Senyum malu-malu di wajah pria itu menghilang, berubah menjadi ekspresi mematikan. Targetnya sudah berada dalam jebakan. Tinggal menjalankan misi berikutnya. “Bang, sini,” panggil Julie dari dalam kamar mandi. Gadis itu sama sekali tak kepikiran bahwa ia saat ini berada dalam bahaya besar. “Ini namanya shower, Bang.” Julie menunjuk benda di atas kepalanya itu. Ia menyingkir sesaat, sebelum menyentuh kerannya. “Kalau Bang Bobi mau mandi, langsung putar keran yang di sini. Nanti airnya mengalir dari atas sana.” “Oh gitu, akhirnya saya ngerti,” ujar Bobi yang berdiri di belakang tubuh Julie. Di tangan kanan pria itu telah ada sapu tangan yang sudah ia tetesi obat bius berjenis Chloroform. “Kalau Bang Bobi udah selesai mandi, kerannya tinggal diputer lagh—” Ucapan Julie terhenti saat Bobi mengalungkan lengan besarnya ke leher gadis itu. Lalu dalam sekejap sapu tangan yang telah ditetesi dengan cairan obat bius langsung membekap bagian mulut dan hidung Julie. Bobi baru melepaskan bekapannya setelah Julie merosot jatuh, gadis itu kehilangan kesadaran dirinya. Langsung saja Bobi mengangkat gadis itu keluar dari kamar mandi. Ia letakkan Julie di lantai begitu saja. Di samping tempat tidur, ada sebuah koper burukuran besar. 32 inci ukuran koper tersebut. Langsung dibuka oleh Bobi, berniat menaruh Julie ke dalam koper. Sebelum memasukkan Julie ke dalam koper, ia mengikat gadis itu dulu. Agar lebih gampang saat dimasukkan ke ruang sempit itu. Kaki Julie ia ringkukkan agar menyatu ke bagian perut gadis itu. Diikat dengan tali katun berdiameter 4 mili meter. Ia talikan berulang kali hingga ia yakin bahwa ikatannya sudah benar-benar kencang. Selesai mengikat kaki dan punggung Julie, ia angkat gadis itu dan memasukkannya ke dalam koper. Ia baringkan secara menyamping karena dengan posisi telentang, lutut Julie terlalu tinggi dan akan sulit untuk menutup kopernya. Kepala Julie ia tekuk paksa agar muat, menyatu antara kepala dan lututnya. Kedua tangan Julie juga ia tekuk. Pria itu menutup kopernya, sayangnya dengan posisi Julie berbaring menyamping, bagian pundaknya membuat kopernya agak sulit tertutup dengan sempurna. Demi memudahkan aksinya, Bobi menginjak tepat di bagian pergelangan pundak kanan Julie. Injakannya amat kuat dan kasar, sepertinya memang sengaja untuk meremukkan tulang lengan atas Julie. Terdengar bunyi ‘krek’. Pertanda salah satu tulang Julie bergeser, retak, atau bahkan patah. Bobi tak peduli patah atau retaknya. Perintah yang diberikan padanya adalah membawa Julie. Sedikit patah tulang bukanlah masalah besar. Dan tanpa keraguan sedikit pun, pria itu segera menutup koper. Berhasil tertutup sempurna. “Tinggal membawa dia pada bos,” ujarnya sambil tersenyum culas. Bobi mengintip ke arah luar sebelum ia tarik koper berwarna hitam itu. Memastikan jika tidak terlalu banyak orang yang kemungkinan akan mempertanyakan kenapa ia membawa koper sebesar ini. Belum terlalu banyak orang. Masih pagi, makanya anak-anak kos kebanyakan masih tidur. Kalau pun sudah ada yang bangun, sudah pada meninggalkan kos untuk mencari sarapan. Bobi menarik koper itu keluar, ia seret dengan cepat, mumpung masih sepi. Saat ia berada di tangga, tentunya harus ia angkat dengan cepat agar tak ketahuan jika ia membawa manusia di dalam koper itu. Bisa gagal rencananya jika ia membuat penghuni kos lain curiga. Pria itu terengah saat ia berada di lantai dasar. Berhasil juga ia menurunkan Julie dari lantai dua tanpa berpapasan dengan siapa pun. “Mau ke mana, Bang? Bawa-bawa koper besar?” Sebuah suara membuat Bobi mengendalikan raut wajahnya. Ia berbalik, mencoba sedikit tersenyum. “Mau ngambil barang dari tempat sebelumnya.” “Kopernya gede banget, Bang. Kayak mau pindahan ke luar negeri,” ujar Kino sambil tertawa. “Iya nih, soalnya barang saya banyak. Kalo gitu duluan yah.” “Iya, Bang.” Kino hanya melihat pria itu menarik koper bawaannya lalu membawanya ke parkiran. “Ngeliatin apa?” Brenda menepuk pundak Kino saat ia turun dari lantai 3. Ikut melihat arah yang dipandangi oleh Kino. “Apa sih, pegang-pegang.” Kino langsung menghindar. Tak suka jika ia dipegang-pegang oleh Brenda. Kalau cewek betulan yang memegangnya, pasti ia akan senang. Tapi, kalau cewek jadi-jadian seperti Brenda sih bikin jijik. “Yeee … santai aja kali. Cuma nanya doang. Liatin apa sih, kayak serius banget?” “Liatin Bang Bobi, tuh lagi bawa koper. Kopernya kayak berat banget,” tunjuk Kino ke arah parkiran. Waktu itu, Bobi memang terlihat cukup repot saat ia mengangkat dan memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil. “Bantuin gih, sebagai tetangga yang baik kita harus saling bantu.” Brenda menyarankan. “Loe aja sono, kali aja loe bisa ditusuk Bang Bobi setelah ngebantuin dia,” saran Kino lalu melenggang masuk ke dalam kamarnya di nomor 3. Enggan berlama-lama berdiri bersama Brenda. Juga enggan memusingkan kenapa Bobi terlihat kesusahan membawa kopernya. “Gak ah, Brenda cuma mau ditusuk sama Om Jon ahh … aww ….” Sementara itu, Bu Margaretha menunggu Julie kembali untuk sarapan bersama sebelum mereka pulang. Wanita itu beberapa kali keluar dan menengok ke gedung sebelah, ke kamar Julio. “Dasar gadis itu, apa yang dia lakukan di kamar seorang pria sampai selama ini? Cih!” Bu Margaretha menggelengkan kepala. “Katanya cuma mau nganterin sarapan, tapi hampir sejam gak balik-balik. Apa jangan-jangan mereka makan bareng di sana?” Karena Bu Margaretha sudah lapar sementara Julie belum juga kembali, makanya wanita itu memutuskan untuk sarapan duluan. Ia menuangkan sop ayam buatan Julie ke dalam mangkok, juga mengambil nasi panas dari rice cooker. Bu Margaretha menyendok kuah sop ayam itu, mencicipi sedikit sebelum ia buru-buru menuangkan air ke dalam gelas. “Pppftt … asin banget,” keluh Bu Margaretha seusai mengaliri tenggorokannya dengan setengah gelas air. “Astaga itu anak niat ngasih makan Julio apa mau ngeracunin.” Bu Margaretha tak jadi makan, justru ia keluar kamar lalu turun tangga. Berniat mencari Julie untuk memberi tahunya jika masakannya ada yang salah. “Ada yang liat Julie, gak?” tanya Bu Margaretha saat ia berpapasan dengan beberapa penghuni kos. “Maaf, Bu, kami gak liat,” jawab salah satu cowok yang berpapasan dengan Bu Margaretha. “Kalian ada yang liat Ibunda Ratu, gak?” “Gak,” jawab yang lain sambil saling lirik. Semuanya kemudian menggelengkan kepala. “Gak ditelpon aja, Bu?” Salah seorang memberi saran. “Belum sih, soalnya tadi Julie bilang mau ke kamarnya Julio. Cuman udah sejam lebih kok belum balik-balik juga.” “Atau dicek ke atas aja, Bu? Mau kami bantu cek ke atas?” “Boleh,” jawab Bu Margaretha. Dua cowok yang sepertinya hendak pergi kuliah—terlihat dengan barang bawaannya, berupa laptop dan berkas tugas kuliah—naik ke lantai tiga. Mereka mengetuk pintu kamar Julio. Sayangnya hingga berkali-kali mereka mengetuk. Tak seorang pun membuka pintu itu. “Kayaknya gak ada orang di kamar Julio, Bu,” ujar salah satu cowok yang tadi naik ke kamar Julio—Alfi nama cowok itu. “Iya, Bu. Kami ketuk-ketuk tapi gak ada yang buka. Gak ada suara juga di dalam, kayaknya emang gak ada orang,” tambah cowok kedua itu—Mail namanya. “Aduh, anak itu ke mana lagi?” “Ditelpon aja, Bu.” “Iya, sebaiknya saya telpon aja. Makasih udah bantuin ya, Dek.” “Iya, Bu. Kami pamit mau ngampus dulu.” “Iya, silakan.” Bu Margaretha mendecak saat ini. Ia buru-buru naik ke kamar Julie. Ingin segera menelepon anak gadisnya yang entah ke mana perginya itu. Bisa dipastikan jika Bu Margaretha akan langsung mengomelinya begitu Julie mengangkat teleponnya. Tapi, siapa yang akan menjawab panggilan dari Bu Margaretha? Ponsel milik Julie berdering dengan nyaring, tapi masih berada di atas kasur. Sementara pemilik ponsel itu tidak diketahui keberadaannya. “Astaga itu anak kok bikin khawatir,” ujar Bu Margaretha dengan resah. Wanita itu berkali-kali meremas sendiri jari-jarinya. Atau bahkan berjalan mondar-mandir. “Apa Julie pergi bersama Julio? Karena masakannya terlalu asin lalu mereka pergi untuk mencari sarapan bersama?” Bu Margaretha berasumsi. Namun asumsi saja tak bisa membuat ia tenang. Bu Margaretha mengambil HP Julie. Wanita itu bisa dengan mudah membuka ponsel putrinya dengan memasukkan password. Ia sudah hafal, Julie yang pelupa tak akan menggunakan password yang susah. Kalau bukan tanggal lahirnya, pastilah tanggal pernikahan orang tuanya. Dan tebakan Bu Margaretha terbukti benar saat ia memasukkan tanggal pernikahannya dengan Pak Pramudya. Wanita itu langsung mengecek daftar kontak Julie. Ia mencari-cari nama Julio sayangnya tak ketemu. Ia mencoba mengetikkan nama pria itu di kolom pencarian, sayangnya tak ada nama Julio yang muncul. “Disimpennya pake nama apa sih, Jul? Astaga!” Bu Margaretha mengecek semua kontak yang awal namanya dimulai huruf J, tapi tak ada yang menunjukkan bahwa itu adalah Julio. “Aish, Julie. Kamu simpen nama Julio pake nama apa sih?” Mau tak mau, Bu Margaretha harus mengecek secara keseluruhan. Mulai dari list paling atas hingga paling bawah. Wanita itu menghela napas panjang, ia harus mencari posisi duduk yang tepat dulu untuk membaca semua nama di kontak Julie. Matanya mulai melebar, membaca satu persatu. Sialnya, kenapa banyak sekali. Mulai dari huruf A, B, C, hingga abjad selanjutnya. Sial, Bu Margaretha sudah melakukannya selama 10 menitan, tapi belum mendapatkan hasil apa-apa. Matanya sudah mulai terasa panas. Makanya wanita itu mengambil jeda sesaat, mencari objek lain untuk dilihat agar matanya lebih rileks dari paparan layar ponsel. Setelah merilekskan pandangan matanya selama 2 menitan, wanita itu kembali menekuri layar ponsel Julie. Kembali melanjutkan pencarian nomor Julio. “Siapa ini kuraci nakal? Kenapa ada banyak sekali kurcaci nakal di sini? Kuraci nakal nomor 1, 2, 3, 4.” Bu Margaretha melanjutkan menggulir layar ponsel Julie. Menemukan hingga kontak yang dinamai kurcaci nakal nomor 30. “Apa ini penghuni kosnya? Kan jumlah kamar di sini ada 30. Bener nih, ini kayaknya nomor anak-anak kos di sini.” Bu Margaretha mengambil kesimpulan. “Karena Julio tinggal di kamar 21, jadi apa dia yang kurcaci nakal nomor 21?” Bu Margaretha menggulir ke atas untuk memastikan kembali. Ia tekan kontak yang diberi nama Kurcaci Nakal no. 21. Dari riwayat panggilannya, pemilik kontak itu terlihat beberapa kali menghubungi Julie. “Apakah ini nomornya Julio?” Bu Margaretha mencoba menghubunginya. Satu panggilannya berakhir tanpa dijawab. “Julio atau bukan?” Bu Margaretha masih bertanya-tanya. Ia mencoba lagi, yang kedua kali akhirnya dijawab walau cukup lama berderingnya sebelum terdengar suara lembut dari seberang telepon. “Iya, Ai ….” Begitulah yang pertama kali didengar oleh Bu Margaretha dari seberang telepon. Wanita itu mengerutkan keningnya. Siapa itu Ai? Bu Margaretha bertanya-tanya dalam hati. “Aiii …? Kamu masih di situ?” “Maaf, apa ini Julio?” Bu Margaretha memutuskan bertanya. “Benar, maaf ini siapa yah? Ini HP Julie, ‘kan?” “Benar, ini HP Julie. Ini mamanya Julie.” “Oh, Tante … maaf saya gak ngenalin suara Tante. Ada apa yah, Tante?” “Julie lagi bareng Julio, gak?” “Julie?” ulang Julio. “Gak, Tante. Terakhir saya ketemu sama Julie adalah saat saya membawanya masuk ke kamar, tadi subuh.” Bu Margaretha menelan ludahnya dengan susah payah. Julie menghilang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD