Seseorang yang Merintih

2272 Words
Julie terbangun saat mendengar suara rintihan. Lirih, tapi suara itu terdengar amat menyakitkan. Tak tahu siapa pemilik suara itu. Ia berbalik ke sampingnya, Bu Margaretha ada di sana. Masih tertidur dengan lelap, tak terganggu sedikit pun oleh suara rintihan itu. “Selama ini gak ada hantu di sini,” ujar Julie saat ia mulai menggeser tubuhnya perlahan untuk duduk. Tangannya segera meraih ponsel miliknya, berniat mengecek jam berapa saat ini. 01:19, itulah angka yang tertera di layar ponselnya. Kakinya perlahan turun dari tempat tidur. Derap langkahnya ringan, tak terdengar. Bahkan deru napasnya ia tahan, walau sebenarnya ia gugup. Makin ia mendekati pintu, makin terdengar rintihan itu. Seseorang pasti sedang kesakitan. Tapi, siapa? Julie menempelkan telinganya di pintu kamar, memfokuskan seluruh indra pendengarannya. Rintihan itu tak lagi terdengar, justru yang terdengar adalah suara ribut jantung Julie. Gadis itu meremas ponselnya kuat-kuat. Kepalanya mulai dipenuhi beragam terkaan, hantu, seseorang yang kesakitan, atau hanya imajinasinya saja? Haruskah ia membangunkan Bu Margaretha? Atau haruskah ia meminta bantuan salah satu penghuni kosnya? “Ma-maaf.” Sebuah suara kembali terdengar, sebuah permintaan maaf yang amat lirih. Suara seorang pria. Tapi, siapa? Antara rasa takut sekaligus penasaran, Julie memberanikan diri untuk meraih gorden yang menutupi jendela kamarnya, tepat di samping pintu. Tangannya gemetaran saat berhasil menyentuh kain gorden itu. Tidak lucu jika saat ia singkap kain itu lantas tidak ada seorang pun di luar sana. Lantas bagaimana jika begitu ia singkap kain itu, tiba-tiba makhluk berwajah seram langsung terlihat olehnya. Sialnya, Julie amat takut. Tapi, sungguh ia juga sangat penasaran. Apalagi saat rintihan-rintihan kembali terdengar. Rintihan kesakitan, tapi ia juga mendengar sebuah permintaan maaf yang diucap dengan putus asa. Bangunin Mama aja, deh. Julie tak bisa menahan rasa penasarannya. Ia menghampiri area tempat tidur. Gadis itu menepuk-nepuk lengan Bu Margaretha perlahan. “Ma …,” panggilnya dengan suara berbisik. “Mama ….” “Hmm … apa, Jul?” “Ssshh … Ma, jangan ribut.” Julie mengingatkan saat Bu Margaretha mulai terjaga. Ia menaruh telunjuk di depan bibir. Memberi tanda agar Bu Margaretha tak menimbulkan banyak suara. “Kenapa?” balas Bu Margaretha, suaranya pelan, hampir tak terdengar. “Ada suara orang, Ma. Di luar,” tunjuknya ke arah luar. “Siapa?” “Gak tau, Ma. Tapi, kayak orang lagi merintih.” “Ah, jangan ngaco, deh. Jangan bikin Mama takut, Jul.” Bu Margaretha bergerak dengan waspada, wanita itu perlahan mulai duduk. Kakinya ia turunkan ke lantai. “Ma, denger, gak? Ada suaranya lagi.” Bu Margaretha mengangguk dengan cepat. Matanya melebar, sementara bulu kuduknya sudah berdiri. “Di sini emang ada hal-hal aneh kayak gini, Jul?” “Gak pernah, Ma. Ini pertama kali Julie denger suara-suara aneh gini.” Julie takut, tapi ia juga harus menuntaskan rasa penasarannya. Makanya ia kembali mendekati area pintu dan jendela yang berdampingan. Bu Margaretha ikut di belakangnya. Justru wanita itulah yang terlihat berlindung pada Julie. “Jul, telpon seseorang, siapa gitu. Biar ada yang nolongin kita,” saran Bu Margaretha dengan suara yang sangat ia pelankan. “Sshh ….” Julie menyuruh mamanya diam. Gadis itu mengulurkan tangan, ia pegang kuat-kuat kain gordennya. Berniat untuk segera menyingkapnya sebelum ia pingsan karena rasa penasaran yang bercampur takut yang berlebih. “Jul ….” Gelengan kepala Bu Margaretha pertanda bahwa ia tak setuju dengan apa yang akan dilakukan. Julie balas menggelengkan kepalanya. Ia tak peduli dengan peringatan Bu Margaretha. Karena pada akhirnya, ia singkap juga gorden tersebut. Matanya langsung tertuju pada ayunan rotan di balkon. Walau terhalangi kaca jendela, setidaknya ia masih bisa melihat dengan cukup jelas karena cahaya di luar cukup terang. Seseorang tengah duduk, sedikit meringkuk di ayunan rotan itu. Seorang pria. “Itu siapa, Jul?” “Biar Julie liat sendiri, Ma.” Rasa takutnya sedikit menguar, ia mengenali postur tubuh pria itu. Karena itulah ia yakin untuk keluar. Memastikan bahwa keyakinannya benar adanya. Bahwa pria yang ia terka itu benar-benar pria yang telah membuatnya menangis diam-diam semalam. “Gimana kalo itu hantu, Jul?” “Bukan, Ma. Julie kenal dia.” Julie membuka pintu kamarnya perlahan, berusaha tak menimbulkan suara. Sementara Bu Margaretha tetap berada di dalam kamar. Hanya berani mengintip melalui jendela kamar yang ia pegangi gordennya agar tetap tersingkap. Julie yang sudah berada di luar langsung menghampiri pria yang tengah duduk di ayunan rotan itu. “Yo,” panggil Julie perlahan. Ujung jemarinya menyentuh pelan pundak pria itu dari belakang. Pria yang disentuh oleh Julie itu berbalik. Ia buru-buru mengusap air matanya, ketahuan sedang menangis. Malu sekaligus tak enak hati. Benar, bukan? Memang Julio. Julie mengenali postur tubuhnya, bahkan saat pria itu meringkuk. Ah, syukurlah pria itu ada di sana. Artinya, ia tak diculik oleh Jonathan. Untunglah Bu Margaretha mencegahnya untuk lapor polisi semalam. Kalau tidak, bisa-bisa ia benar-benar membuat masalah baru lagi dengan pria itu. “Kamu sakit, Yo?” tanya Julie. Gadis itu kini berdiri di depan Julio. “Aku gangguin kamu?” Julie langsung menggeleng. “Aku bangunin kamu?” “Gapapa,” balas Julie. Gadis itu perlahan berlutut di depan Julio. Ia kasihan sekali melihat pria itu menangis. Matanya, pilu sekali pancarannya. Julie tak tahu apa yang terjadi padanya, tapi ia genggam tangan pria itu, sedikit memberinya semangat. “Terjadi sesuatu?” “Hmm … sesuatu yang buruk. Sangat buruk.” “Aku turut bersedih, Yo,” ungkap Julie dengan sedih. Melihat bagaimana kacaunya wajah Julio saja sudah menyayat hati Julie. Bahkan untuk sesuatu yang tak Julie tahu apa itu, tapi ia bisa merasakan betapa sedihnya pria ini. “Aku kehilangan seseorang,” tutur Julio, bahkan sebelum Julie bertanya lebih lanjut. “Sayangnya aku baru tahu keberadaannya saat dia sudah tidak ada. Dia … aku bahkan gak sempat mengatakan apa pun untuknya.” Julio tertunduk, kecewa dengan keadaan. Tapi, paling kecewa dengan dirinya sendiri. Julie tak tahu harus membalas apa ucapan pria itu. Ia tak mengerti. Ia justru takut jika berkata sesuatu malah akan membuat Julio makin sedih. Bahkan sebenarnya ia punya banyak sekali pertanyaan untuk pria itu. Tentang apa jawabannya atas pertanyaan Julie. Tentang keberadaannya selama tiga hari terakhir. Juga tentang kebenaran desas-desus yang menyatakan bahwa Julio adalah simpanan tante-tante kaya. Tapi, ia memilih untuk diam dulu. Bukan waktu yang tepat untuk mencecar Julio dengan banyak pertanyaan saat ini. Satu-satunya yang gadis itu lakukan adalah meraih punggung pria itu, ia tarik ke dalam pelukannya. Membiarkan Julio merintih kesakitan dalam dekapannya. Ah … sungguh, rintihan pria itu, kenapa amat menyayat hati Julie? Bahkan tanpa ia sadari, sebulir air mata Julie ikut jatuh dari sudut matanya. Elusan Julie di punggung pria itu tak berhenti, menenangkan sekaligus memberi semangat. “Yo …,” panggilnya dengan lembut. “Aku gak tau apa yang terjadi sama kamu, aku bahkan gak tau harus mengatakan apa untuk menyemangati kamu. Tapi, kamu bisa datang ke sini, kapan pun kamu mau, buat ngeliat bintang dari sini. Kalau kamu butuh seseorang untuk nemenin kamu liat bintang, kamu boleh manggil aku.” **** “Yo ….” Julie langsung menyebut nama pria itu saat kesadaran tertarik. Matanya mengerjap cepat, ia dapati dirinya sudah berada di dalam kamarnya, dalam keadaan tidur di atas kasur dan terselimuti. “Yo?” panggil Julie sekali lagi, dengan mata yang mengedar ke sekeliling penjuru kamar. Hal terakhir yang ia ingat semalam adalah ia memeluk pria itu, lama sekali. Entah sampai kapan ia memeluknya sambil berlutut sementara pria itu duduk di ayunan. Kalau diingat-ingat, kaki Julie kebas gara-gara kelamaan berlutut. Lantas kenapa ia tiba-tiba sudah ada di dalam kamar? Ke mana Julio? “Jangan-jangan masih di luar?” tebak Julie. “Mencari siapa?” “Mama?” “Iya, ini Mama, Jul. Memangnya kamu ngarep siapa yang ada di kamar ini? Pria yang kamu peluk semalaman itu?” “Mama liat?” “Iya, ternyata anak Mama udah pinter meluk pria, dielus-elus punggungnya biar tenang.” Bu Margaretha tertawa. “Kalau tidak salah, semalam hampir saja ada orang yang lapor polisi karena mengira Julio diculik Pak Jonathan. Hampir aja kamu dituntut pencemaran nama baik, Jul. Ternyata Julio gak diculik siapa-siapa.” “Ma, gak usah bahas-bahas soal penculikan itu, deh. Kan Julie cuma khawatir.” “Iya, deh, yang paling khawatir. Orang jatuh cinta emang gitu, logikanya gak jalan.” “Mama, ih ….” “Emang bener, ‘kan?” Julie mencebik. Gadis itu langsung menurunkan selimutnya, perlahan menarik tubuh sendiri untuk duduk sebelum ia turunkan kakinya menapaki lantai. “Aww ….” Julie mengeluh kesakitan, sepertinya ini efek kelamaan berlutut semalam. Makanya kakinya terasa tak nyaman begitu ia injakkan. Ia gerak-gerakkan sesaat, bergerak memutar lalu ia iringi dengan pijatan-pijatan kecil. “Tuh, kakinya sampe pegel. Kelamaan meluk Julio sih, mana meluknya sambil berlutut.” “Mama, ih. Ngebahas soal meluk-meluk terus.” Setelah merasa kakinya lebih stabil, Julie segera membuka pintu kamarnya. “Yo ….” Julie memanggil saat ia membuka pintu, matanya mengedar di balkon, termasuk ke ayunan rotan. Sayangnya pria yang ia cari itu sudah tak berada di tempat. “Ah, mungkin sudah balik ke kamarnya.” Julie mengalihkan pandangan ke gedung di sebelah, tepat ke tembok kamar Julio. “Dia sudah balik.” “Mama liat dia pulang?” “Iya, tadi subuh. Setelah kalian berpelukan berjam-jam di luar sana, dia menggendongmu masuk karena kamu ketiduran. Setelah itu, dia pamitan sama Mama dan balik ke kamarnya.” “Julio gendong Julie?” tanya gadis itu dengan wajah bersemu merah. “Iya, apa Mama harus menceritakan bagaimana cara dia menggendongmu?” “Gimana, Ma?” tanya Julie dengan antusias. Berhasil membuat Bu Margaretha terbahak. “Yang pasti bukan seperti cara Pak Jonathan memopongmu kayak karung. Dia menggendongmu seperti ini ….” Bu Margaretha menunjukkan pose bridal style, dua lengannya terulur ke depan. Menunjukkan bagaimana Julie digendong oleh Julio tadi subuh. “Oh ya? Abis itu gimana, Ma?” Julie bertanya lagi, masih dengan wajah bersemu merah. “Menurutmu apa lagi? Apa menurutmu dia akan mencium keningmu di depan Mama? Atau Mengatakan I Love You? Atau sampai berani ikut tidur di samping kamu?” Bu Margaretha mencibir. “Dia pulang setelah menurunkan kamu di tempat tidur.” “Julio gak selimutin Julie gitu, Ma?” “Gak, yang nyelimutin kamu ya Mama.” Gadis itu mendesah kecil. “Kecewa karena kamu gak diselimutin? Atau kecewa karena gak dicium?” “Udah ah, gak usah dibahas lagi.” Julie berjalan ke dapur, membuka kulkas. Ia amati bahan makanan yang semalam ia bawa. Beberapa jenis sayuran serta daging ayam. “Emm … mungkin ini cukup untuk bikin sop ayam. Julio di luar semalaman, dia pasti kedinginan. Sesuatu yang hangat untuk sarapan cocok untuknya.” “Ternyata ini maksud kamu bawa bahan masakan dari rumah? Mau masak buat Julio? Waktu Mama tanyain, katanya mau masak buat Mama. Eh, ternyata buat Julio.” Godaan Bu Margaretha tak ditanggapi oleh Julie. Gadis itu lebih fokus untuk mengambil bahan-bahan yang ia butuhkan dari dalam kulkas. Gadis itu lantas mengolah bahan-bahan tersebut, memotong sayurannya kecil-kecil, juga termasuk memotong d**a ayamnya. Sementara ia lakukan hal tersebut, air untuk membuat kuah sopnya telah ia didihkan. Bahkan tak lupa sambil memasak nasi di rice cooker. Sop ayam plus nasi hangat, ah kombinasi yang pas menurut gadis itu. Bu Margaretha bertanya-tanya dalam hati. Sejak kapan gadis pemalas ini tiba-tiba rajin memasak? Kalau di rumah, dia mana mau memasak seperti ini. Tapi, sekarang dia memasak sambil bersenandung dengan amat bahagia. Sejak kapan gadis kecilku ini sudah tumbuh dewasa? Setelah masakannya jadi, Julie langsung menaruhnya di tempat makan. Ia berniat mengantarkannya langsung ke kamar Julio. Kotak makannya sudah ia bawa, bahkan ia hampir keluar kamar jika saja tak keingat kalau ia bahkan belum cuci muka dan menggosok gigi. “Sial!” Julie merutuk diri, ia berjalan mundur. Melihat dirinya di pantulan cermin yang terlihat urakan. Ah, bahkan rambutnya tak tersisir rapi. Hanya asal tercepol saat bangun tadi. Dengan terburu-buru, Julie membersihkan dirinya. Sekadar cuci muka, menggosok gigi, menyisir rambut, dan berganti pakaian. Kan tidak lucu kalau ia tercium seperti bau bawang saat menemui Julio. “Udah cantik, sana temui Julio,” goda Bu Margaretha. “Mama apaan sih?” Sambil tersenyum malu-malu, Julie keluar kamar. Matanya langsung tertuju pada gedung di sebelah, tepat di kamar Julio. Senyumnya merekah, gadis itu amat bersemangatnya. “Pagi-pagi mau ke mana nih, Ibunda Ratu?” sapa seorang penghuni kos saat Julie turun tangga. “Bawa apa tuh? Makanan?” tebak Aan sambil senyum-senyum, sedikit menaruh harapan kalau akan kebagian. Maklum ia juga belum sarapan. “Makanan, tapi bukan buat kalian,” jawab Julie. “Terus, buat siapa dong?” goda kurcaci-kurcaci nakal itu. “Ayahanda Raja kan gak ada di sini, terus buat siapa ya?” timpal yang lain. Julie langsung mendengkus mendengar julukan Jonathan kembali disebut, moodnya yang tadi bagus mendadak jadi buruk saat mendengar ia disanding-sandingkan lagi dengan Jonathan. Lupakan itu, jangan terbebani. Mending ia segera menemui Julio saja. “Yo ….” Julie memanggil, seraya mengetuk pintu bertuliskan angka 21 itu. Tiga kali ia ketuk sebelum pintunya terbuka. “Nyari Julio?” tanya seorang pria yang muncul dari balik pintu. Pria itu adalah teman Julio yang sering numpang menginap di tempat itu. “Iya, Julio ada, ‘kan?” “Udah pergi.” Sorot mata Julie langsung jadi kecewa. Ia hanya menyengir dengan tatapannya yang berakhir pada kotak makanan yang ia bawa. “Itu buat Julio?” “Iya.” “Mau disimpen aja? Mungkin nanti Julio balik, nanti aku kasih tau kalo ada titipan dari kamu.” “Oh, ya udah, nih ….” Julie menyodorkan kotak makanan itu pada teman Julio. “Makasih yah,” ujar pria berkemeja hitam dengan celana jeans itu. “Iya, sama-sama.” Walau kecewa, tapi ya sudahlah. Mau bagaimana lagi. Julie berbalik, bersamaan dengan tertutupnya pintu dari dalam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD