"Demi loyalitas, semua harapan harus kandas."
*****
Drama, MPK, tugas, semua proposal dan laporan harus dikumpulkan hari ini. Kepala Edel berdenyut mengerjakan itu semua. Deadline drama sebentar lagi. H-2 dari hari ini.
Pertama-tama Edel harus menyelesaikan tugasnya yang tidak ada duanya itu. Padahal setaunya,semua nilainya baik-baik saja, tetapi masih saja ada remidial.
Bersama teman-temannya, Edel mendatangi satu-persatu guru mata pelajaran yang mengirim telepon ke kelas untuk mengadakan remidi.
Di mulai dari guru Fisika, sekaligus wali kelasnya. Pak Santo memberikan remidi agar mencari soal di internet sebanyak 100 soal beserta penyelesaiannya. Beliau membagi 10-1 menjadi delapan kelompok. Masing-masing kelompok mengerjakan 100 soal. Setelah terkumpul nanti katanya soal itu akan dijadikan bahan UAS.
Mendengar kabar itu, Edel langsung melanjutkan ke guru selanjutnya. Gadis itu tidak mau menunda pekerjaan apapun hari ini.
Bu Dara, sama halnya dengan pak Santo. Sebagai guru Bahasa Inggris yang baik, beliau memberikan tugas agar setiap satu bangku membuat video yang berisi dialog perkenalan pribadi dan kelompok.
"Kayaknya pura-pura sakit aja enak. Ntar gue suruh orangtua gue buat ngerawat gue di rumah sakit Singapura, biar nggak ketemu tuh guru," Naya terus mengomel tanpa henti.
"Del, udah balik aja. Gue udah mual nih sama tugasnya," Katrina tidak jauh beda, dia malah tidak mau beranjak dari meja guru sebelumnya.
"Lo mual Kat? Wah berapa bulan lo?" Denin memandang Katrina seolah ada yang aneh.
"Pala lo tuh amnesia berapa tahun! Ganti otak sono lo!" Katrina menonyor kepala Denin dan cowok itu mengaduh kesakitan.
"Kalau kalian mau ribut, keluar!"
Mereka langsung kicep. Lagian sih cari masalah sama Edel yang galaknya kayak macan.
Target terakhir mereka adalah guru olahraga, Pak Feris. Ternyata walaupun sudah bersusah payah, Edel juga masih remidi. Renang bagus, basket okelah, futsal rata-rata. Oh, atau mungkin karena senam lantai waktu itu. Dia terpeleset waktu lompat harimau, alhasil bukannya berguling, kepalanya malah menjorok ke matras dan matrasnya meluncur ke depan. Semua menertawakan sikapnya, Edel masih ingat itu, termasuk ketiga sahabatnya yang kayak kunyuk itu.
"Pak, remidinya si disuruh apa ya?" Edel bertanya baik-baik. Siapa tau pak Feris berubah pikiran.
"Kalian buat video senam aerobik, bikin kaset, terus setorin ke saya sebelum hari Sabtu ya. Soalnya hari Sabtu saya tidak ada jam di sekolah."
Mereka semua, satu kelas, keluar berbondong-bondong seperti iring-iringan pengantin.
"Mati aja lah kita!" Denin sampai frustrasi, padahal dia anak rajin.
"Ngeluh aja kapan jadi pinter," Edel berjalan mendahului mereka semua. Bergegas ke kelas dan mengerjakan tugas segunung itu.
"Iya ya, gue harus semangat!" ucap Naya dengan tangan diangkat ke atas.
"Tugas sebanyak apapun nggak bakal buat kita bodoh, tapi makin pinter," kata Cellyn yang sedari tadi hanya diam.
"Gue setuju sama Cellyn." Semua menimpuk Denin. Bukan rahasia lagi kalau cowok itu suka Cellyn. Hanya saja ceweknya kurang peka.
Baru saja Edel mendudukkan pantatnya, Fino dan Riska datang. Apalagi ini?
"Del-" kata mereka bersamaan.
"Ladies first," kata Fino mempersilahkan.
"Proposalnya gimana Del, udah jadi belom?"
"Ya Ampun Ris, tunggu gue nyelesaiin tugas dulu." Edel memegang kepalanya.
"Ya terus kapan tuh tugas selesai? OSIS nggak bisa nunggu lo ngelarin itu semua," bantah Riska.
"Kenapa OSIS nyerahin proposal itu ke gue? Emang salah gue kalau gue juga punya urusan? Kerjain lo juga nggak masalah kan? Gue beneran dikejar deadline." Sekarang Edel benar-benar emosi, Riska dan OSIS semuanya sama saja. Kalau tugas berat saja Edel yang mengerjakan, padahal sekertaris OSIS juga nganggur.
"Karena lo bisa diandalin Del!" bentak Riska.
"Lo nggak bisa nyuruh dia seenaknya, Edel juga punya urusan lain," bela Fino.
"Seharusnya kalau dari awal lo nggak bisa bilang dong!" Riska menggebrak meja.
"Lo kok nyolot sih Ris!" Edel berdiri dari duduknya.
"Dasar sok!" Riska mendorong banhu Edel sehingga ia terjatuh, tetapi untungnya Fino menangkapnya.
"Jangan main kasar ya lo Ris, gue nggak segan-segan balas lo!" Fino menyentak Riska dan mengusir cewek itu keluar kelas.
Edel menyempurnakan sikapnya, lalu berdiri tegak. Kepulan emosinya menumpuk di satu fragmen, yakni otaknya yang sudah tertimbun bermacam-macam pikiran.
"Udah jangan peduliin Riska, dia kan emang gitu Del orangnya," ujar Fino menenangkan. Tapi nyatanya tak mengubah keinginan Edel saat itu.
Gadis itu berjalan dengan sangat cepat dan sangat optimis, cekalan tangan Fino bahkan ditepisnya dengan mudah.
Fino segera menyusul Edel di belakang. Ternyata Edel mewarisi kekuatan papanya dalam hal emosi, jika ada yang mengusik singa betina dari tidurnya, orang itu harus siap-siap merasakan akibatnya.
Tak ada yang mampu menghentikan langkah Edel, dia semakin cepat dan terus mempercepat langkahnya hingga sampai di satu ruang berpintu coklat muda itu.
Tangannya memegang kenop pintu dengan kuat sampai buku kukunya memutih.
"Del lo mau apa masuk ke situ?"
Namun percuma, tak satupun kata didengar Edel. Dia terlalu emosi dengan Riska tadi.
Sekarang pintu sudah terbuka lebar, menampakkan penghuni ruangan yang sebagian besar diisi oleh OSIS, seperempat MPK, dan sisanya mantan OSIS yang dulu.
"Maaf sebelumnya kalau gue ganggu kalian semua, tapi gue mau ngomong sesuatu yang penting tentang proposal itu. Bukan maksud gue lari dari tugas, tapi seharusnya ada toleransi ke gue, karena tugas dan urusan gue di ekstra drama juga numpuk. Seharusnya proposal itu dikerjakan sekertaris OSIS, tapi di sini salah. Gue sebagai MPK yang nggak punya wewenang itu malah diserahi tugas yang nggak seharusnya diberikan ke MPK. Jadi kalau kalian mau proposal itu cepet jadi, suruh buatin Riska karena dia terus desek gue dan maki gue."
Semua yang ada di ruangan diam, keadaan lebih senyap sekarang. Riska yang duduk di meja sebelah kiri Devan, menciut langsung nyalinya.
Devan selaku ketua OSIS meliriknya tajam.
"Apa bener Ris?" tanyanya dengan suara yang menyeramkan layaknya seorang atasan yang ingin melahap bawahannya.
Riska berdalih, dia mencari alasan agar Edel menjadi yang terpojokkan di sini. "Gue nggak salah dong kalau nagih ke dia. Dari awal kan emang tugas itu diserahin ke Edel. Kalau gue yang ngerjain pasti udah beres tuh proposal."
"Kalau gitu sekarang tugas Edel gue serahin ke lo," kata Devan final dan menyebabkan garis lengkungan tercetak jelas di wajah Edel yang putih bersih. Bebannya berkurang satu.
Riska memelototkan matanya tidak percaya, dia kira ancamannya tidak akan disetujui Devan.
"Syukur kalau Riska yang lo serahin tanggungjawab itu, setidaknya dia nggak akan ngecewain kalian semua kayak gue." Edel meninggalkan ruang itu tanpa memedulikan ekspresi semua orang di sana.
Fino mengikuti Edel lagi, bedanya kali ini tanpa suara. Dia sudah hafal sikap Edel meskipun baru kenal sejak masuk SMA pertama kali. Kalau Edel sedang marah, jangan sekali-kali mengusiknya atau kamu akan berakhir.
Sampai di depan kelas Edel, setelah memastikan bahwa Edel aman sampai kelas tanpa gangguan siapapun, Fino berniat kembali ke kelasnya dan mengurungkan pembahasan drama sampai besok.
"Lo mau ke mana?"
Fino berbalik lagi, membatalkan dirinya yang ingin melesat ke kelas.
"Balik ke kelas, gue nggak pingin ganggu lo dulu Del. Lebih baik selesaiin tugas lo dulu."
"Nggak Fin. Kelas drama juga penting. SMA gue jadi berwarna karena drama."
"Yaudah kalau gitu kita di depan sini aja ngomongnya."
Edel segera duduk diikuti Fino di sampingnya. Koridor sekarang sedang ramai seperti akan ada pembagian sembako, tetapi bedanya para siswa dan siswi yang berlalu lalang sedang menyibukkan diri dengan nilainya yang terancam dan bukan dengan sembako.
"Gladi bersih besok kan?" tanya Fino.
"Iya gue tau," jawab Edel terkesan masih kesal.
"Gimana kalau peran gue diganti aja Del sama yang lain?"
"Lo gimana sih Fin? Mana bisa gitu, drama dua hari lagi dan lo mau ngundurin diri. Cari siswa yang perannya sama kayak lo tuh susah Fin." Edel bersungut-sungut lagi.
Fino tau jika Edel akan bereaksi seperti ini. "Gue cuma mencegah semuanya sebelum terlambat Del, gue nggak mau berjalan terlalu jauh."
"Lo bisa cari siapapun Del, sorry gue nggak siap buat tampil."
"Tapi kenapa? Lo grogi? Itu nggak mungkin Fin! Lo udah berkali-kali tampil sebelumnya." Gadis itu berdiri di depan Fino dengan napas naik turun.
"Gue nggak bisa kasih tau alasannya," jawab Fino tanpa berani menatap mata Edel.
"Lo sama kayak semua orang, egois!" Gadis itu masuk dan meninggalkan Fino sendiri di depan kelas.
Lagi-lagi Fino menghela napas. "Lebih baik semua gini Del daripada terlambat."
*****
Bukannya sibuk dengan nilai seperti siswa yang lainnya, Elang, Dhika, Ari, dan Bagus malah asik dengan permainan baru mereka.
Di gudang belakang sekolah yang tak terjamah-kecuali mereka yang menjamah- mereka bersemayam. Permainan baru mereka yaitu Remi.
Permainan kartu yang terdiri dari empat joker itu akhir-akhir ini menarik perhatian keempat pemuda yang terkenal kenakalannya seantero sekolah itu.
"Gue yakin menang," seru Elang yakin.
"Halah, siapa tau gue kali ini," sahut Dhika tak mau kalah.
"Kalian nggak tau aja gue itu mantan cenyang," kata Bagus.
"Mantan woy bukan cenayang," Elang menendang kaki Bagus yang diselonjorkan ke arahnya.
"k*****t, tuh kaus kaki apa comberan sih. Baunya kayak soto basi," Dhika menutup hidungnya , dia lupa tangannya sedang memegang kartu. Remi yang dia pegang jatuh dengan mudahnya, membuat Elang dan Bagus bisa melihat dengan jelas nomor-nomor yang tertera di sana.
"Dhik lo kalah!"
"Nomor lo lebih kecil dari kita!"
"Asem, gara-gara lo sih Gus!" Dhika kini berebut kartu dengan Bagus karena cowok itulah dia kalah.
Namun sedari tadi Ari hanya diam. Dia tidak memedulikan ketiga sahabatnya yang sedang berguling-guling di lantai sambil mengoleskan bedak bayi ke wajah Dhika.
Dengan santai Ari memperkirakan kartu remi yang ia bawa, bakal menang atau kalah, begitulah pikir Ari.
Elang seketika sadar dan langsung menghampiri Ari untuk mengoleskan bedak itu. Agar wajah mereka sama belangnya.
"Stop! Gue yang menang," ucap Ari sambil menangkis tangan Elang yang tertutup penuh dengan bedak
"Menang kalah sama aja," jawab Elang dan langsung menaburi wajah Ari dengan bedak putih itu. Dhika dan Bagus melakukan hal yang sama.
Terjadilah aksi perang lempar bedak antara mereka. Baju, muka, rambut mereka sudah putih bak korban gunung meletus yang terkena abu vulkanik.
Bahkan alis Elang yang tajam dan hitam tidak terlihat lagi. Rambut cowok itu seperti beruban.
Edel memandang keempat orang itu dengan dongkol. Dari tadi dia sibuk mencari Elang, dan yang dicari malah berdandan di sini.
"Ngapain sih kalian?"
Keempat cowok itu serempak menoleh ke sumber suara. Mereka segera berdiri dan membersihkan bedak yang menempel di tubuh masing-masing.
Edel maju mendekat, mereka semakin cepat menepuki sisa bedak di wajah mereka. Malulah kalau ada cewek lain sampai tau keadaan mereka saat ini.
"Delia, lo tau gue di sini dari mana?" Elang mengibaskan rambutnya yang masih putih.
Edel diam bergeming menatap pemandangan di depannya. Ternyata Elang ganteng juga.
"Anak kecil banget sih, bersihin bedak aja nggak bisa," Edel membantu Elang membersihkan rambutnya, gadis itu mengusap pipi Elang yang masih tersisa bedak di sana.
"Cie."
"Dedek gak kuat bang."
"Anjir, gue jomblo."
Mereka berdua sadar lalu segera mundur selangkah. Jarak mereka terlalu dekat sebelumnya.
"Gue mau minta bantuan lo," kata Edel.
"Apapun kalau buat lo sih siap gue," jawab Elang mantap.
"Tolong jadi pangeran gue. Maksud gue, tolong jadi pangeran di drama yang gue buat." Hampir saja Edel salah bicara.
"Terus putrinya siapa?"
"Gue."
"Oke gue mau. Sekarang gue juga siap."
"Nggak sekarang juga!" bentak Edel kesal.
"Ya kan gue semangat Del, kalau lo minta sekarang gue juga siap," kata Elang membela diri.
"Kalau gitu nanti pulang sekolah temui gue di kelas drama. Jangan telat atau gue cari yang lain."
"Eits, belum apa-apa udah mau cari yang lain. Sikat aja Lang," terdengar sahutan dari belakang Elang, yakni suara Bagus.
Edel meliriknya s***s, dan Bagus kicep dibuatnya. Dia tidak berani berkutik, bahkan tidak berkedip sampai Edel pergi dari sana.
"Gak papa lah gue bergaul sama anak cupu, yang penting Edel putrinya."