BAB 7

1058 Words
“Mempersatukan dua hal yang bertolak belakang itu butuh perjuangan ekstra.” ***** Sekarang Elang berdiri di depan ruang drama. Dari depan dia mengintip kaca jendela, tapi belum ada siapapun di dalam sana. Dia tersenyum masam, kenapa juga bisa serajin ini? Sambil menunggu Edel datang, Elang duduk di lantai dan menyenderkan punggungnya ke tembok. Kakinya ia tekuk satu dan kaki satunya ia selonjorkan. Elang mengambil pematik di tasnya, namun s**l dia tidak menemukan benda yang di cari. Cowok itu terus mengubek-ubek tasnya. Satu buku keramat yang ia bawa dari semester pertama tak pernah diambil dari tas itu akhirnya keluar juga. Asal kalian tau, buku itu satu-satunya buku yang pernah Elang bawa ke sekolah dan tidak pernah tercoret tulisan sama sekali. “Mana sih!” Elang masih sibuk dengan tasnya, dia tidak sadar jika Edel sudah berdiri di depannya. Mata Edel melotot mengetahui apa yang ada di bibir Elang. Satu batang rokok yang belum dinyalakan. “Lo ngerokok?” Elang mendongak, matanya bersitatap langsung dengan Edel. Cepat-cepat dia menyembunyikan benda terkutuk bagi sebagian cewek itu. “Tadinya, tapi gara-gara ada lo nggak jadi,” jawabnya enteng. “Jadi kalau gue nggak di sini lo bakal rokok? Oh gitu ya, gue batal angkat lo jadi pangeran.” “Nggak bisa gitu dong! Masa gara-gara rokok gue dikeluarin sih Del, boro-boro main aja belum.” “Gue nggak suka sama perokok, bau napasnya pasti buat gue batuk nanti,” jelas Edel jujur. Elang kembali membongkar isi tasnya, mengeluarkan satu batang rokok yang tadi ia sembunyikan. Cowok itu kemudian membuang rokok itu dan berkumur di kran air. Setelahnya dilanjut makan permen beraroma mint yang ia dapatkan dari Ari. “Beres kan?” Sekarang bau napas Elang sudah segar seperti mint. Edel mengamati gerak-gerik Elang dan tidak percaya. Tetapi gadis itu cepat-cepat menyembunyikan ekspresi terkejutnya. “Terserah lo, asal nggak bikin gue sakit lo boleh ikut,” Edel membuka pintu dan Elang menyusul masuk. Beberapa anak yang datang bersama Edel juga ikut masuk. Mereka berbisik-bisik mengenai kehadiran Elang di sini. Wajah mereka tegang karena takut akan terjadi keributan, mengingat Elang itu nakalnya nggak ketulungan. “Emang ada adegan kiss ya?” Elang menyeringai. “Lo mau kiss?” Edel maju ke arah Elang. “Kalau sama lo siapa sih yang nggak mau,” jawab Elang. “Gue kiss pakai sepatu mau lo?” Sekarang giliran Elang yang mundur. Semua anggota kelas drama menertawai tingkahnya yang konyol. Beraninya bermain-main dengan Edel. Seseorang mengetuk pintu, sudah menjadi aturan kalau latihan drama ruang harus tertutup supaya semua orang bisa fokus latihan dan tidak terus-menerus melihat ke lapangan basket, tempat anak kece bermain di sana. “Gue aja ya yang buka,” Bety, pemeran bawang merah menawarkan diri. Ketika pintu terbuka, kepala Fino nyembul dari baliknya. “Del gue masih boleh masuk kan?” Edel menoleh ke Fino, meskipun dia kesal dengan cowok itu, tetapi karena Fino lah Edel bisa kenal ekstra drama. “Masuk aja, nggak ada larangan kok.” Elang tidak ikut melihat Fino, cowok itu tidak peduli dengan apapun kecuali Edel di ruang ini. “Lo udah dapat peran pengganti gue Del?” tanya Fino sambil berusaha mencari anggota baru yang akan menggantikan perannya. “Tuh,” Edel menunjuk Elang dengan dagunya. Fino terperangah, “kakak kelas nakal itu?” ujarnya sedikit berbisik. “Kenapa kalau gue nakal? Masalah?” Elang dengar semuanya, Fino menurutnya sama saja seperti cowok yang takut kehilangan ceweknya saat bertemu Elang. “Gue cuman pesen jangan bikin onar aja, di sini kelas drama bukan kelas judo.” Fino berpamitan pulang dan segera keluar. Di tengah langkahnya, Fino menyesali keputusannya untuk undur diri dari drama berjudul ‘Bawang Merah dan Bawang Putih itu.’ “Jadi kapan mulai?” Karena terlalu lama, Elang menguap. Dia tidak bisa diam di satu tempat untuk waktu yang lama. “Bentar lagi,” jawab Edel singkat dan masih menghafalkan naskah. “Lo udah hafal naskah? Awas aja besok lo gagap waktu tampil,” lanjut gadis berambut hitam legam itu. “Bisa diatur,” Elang menaikturunkan alisnya. Rasanya jika bukan kepepet Edel tidak akan memilih Elang menjadi pangeran. ***** “Pengawal, cari ... cari emas untuk menyembuhkan ayahanda.” “Stop!” Edel membawakan naskah tersebut ke depan wajah Elang. “Di sini tertulis jelas daun emas, bukan emas,” tunjukknya pada sederet kalimat. “Gue lupa, emas sama daun emas itu merepet tipis. Lagian jangan salahin ingatan gue yang emang nggak sebagus ingatan lo dong,” bantah Elang tidak terima. Edel memijit pelipisnya, “terserah, terserah. Pokoknya besok waktu tampil semua harus sempurna. Oke, latihan selesai di sini. Kita persiapan buat gladi bersih besok.” “Lain kali fokus, jangan cewek mulu dipikirin,” celetuk Andra yang berperan sebagai pengawal. “Dari awal sampai akhir lo nyolot terus, lo nggak suka gue gabung,” Elang mencengkram kerah baju Andra. “Ya Allah, kalian semua bisa diatur nggak sih sebenernya. Gue capek, tugas gue bukan di sini aja, tolong ngerti.” Edel tidak habis pikir dengan orang-orang yang suka mempersulit dirinya, memang mereka mau jika hidupnya dipersulit orang lain? “Dia Del yang mulai, bukan gue,” Elang menunjuk Andra yang memasang tampang malas. “Bukan urusan gue. Gue nggak mau masalah dibawa ke panggung drama, inget profesionalitas nomer satu.” Edel meraih tas levisnya, kemudian berjalan cepat meninggalkan ruang drama. Edel juga tidak mau kalau Elang menawarkan tumpangan lagi, lebih baik dia menunggu pak Jon, sopir rumahnya daripada pulang bersama orang yang telah menaikkan tensi darahnya. Namun sampai  semua anak drama pulang, pak Jon tak juga datang. Edel benar-benar kesal dengan semua orang hari ini. Siapapun yang ditemuinya hari ini punya saja masalah yang menyeretnya ke dalam masalah itu. Tiba-tiba Elang muncul dengan ninja merahnya, dia tepat berhenti di depan Edel yang sedang menunggu di gerbang utama. “Lo nggak dijemput lagi? Hobi banget sih sopir lo telat,” kata cowok dengan dandanan seperti preman, yang tak lain adalah Elang. Edel hanya melengos tak menjawab Elang. “Lo masih marah sama gue?” Edel menunduk dan masih tetap diam. “Segitu dongkolnya lo sama gue sampai nggak mau liat gue Del?” Elang serius kali ini, dia merasa bersalah. “Aduh,” tiba-tiba badan Edel ambruk, gadis itu memegangi pinggangnya yang sangat nyeri. “Del lo kenapa? Lo sakit?” Elang segera turun dari motornya kemudian menolong Edel yang sedang sujud di tanah. Tangannya terus memegangi pinggangnya. Elang mencoba mengambil alih tangan Edel tapi cewek itu menepisnya kasar. Suara Edel yang kesakitan terdengar ngilu di telinga Elang. Rasanya bukan hanya Edel yang merasakan sakit itu, tetapi dirinya juga ikut merasakan. “Aduh sakit, Mama, Papa.” air mata membasahi pipi Edel, Elang tau pasti sangat sakit sampai gadis tomboy seperti Edel menangis. “Del bicara sama gue, mana yang sakit. Gue antar ke rumah sakit ya?” Edel menggeleng. “Terus gimana? Gue nggak tau mau obatin lo kayak gimana kalau tiap gue sentuh lo kesakitan Del.” Elang mengacak rambutnya frustrasi. Pelan-pelan dia mencoba lagi mangangkat tangan Edel, namun gadis itu tetap mempertahankan tangannya. “Gue terpaksa gendong lo dan bawa pulang.” Tubuh Edel terasa melayang, dia kira ini adalah akhir dari hidupnya, namun ternyata Elang menggendongnya dan membawanya ke taksi yang entah kapan sudah ada di sana. Setelah itu pandangannya menggelap dan kesadarannya hilang.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD