Masa Muda (2)

1284 Words
Hari yang cerah dan tidak ada tanda-tanda turun hujan. Sejak siang tadi, aku tidak sabar sore nanti akan belajar renang bersama Bunda. Di kamarku, tergelatak buku yang didampingi bolpoin, dan tanganku dengan cekatan mengerjakan PR yang dalam sekejap bisa kuselesaikan. Setelah itu, aku buru-buru bercermin dan memandangi kalung liontin putih berbentuk bulan sabit yang di tengahnya terbuat dari berlian. Ini adalah pemberian Bunda dua minggu yang lalu karena mendapat juara kelas. Sambil tersenyum memandangi cermin, aku berjanji dalam hati akan menjaganya dengan baik. Selesai membereskan buku yang berserakan di meja, aku berlari turun melewati anak tangga dan menghampiri Bunda yang sedang duduk di sofa sambil menonton TV dengan serius. Aku berjingkat diam-diam mendekati Bunda untuk mengagetkannya. Tapi Bunda sudah tahu trik kebiasaanku malah aku yang terkejut karena berbalik dan meletuskan balon. Kali ini misiku gagal total. Bunda tertawa geli dan menarikku ke sofa sambil menggelitik pinggangku hingga puas. Beberapa kali aku meminta ampun pada Bunda untuk berhenti menggelitik. Tawa kami terhenti setelah mendengar suara mobil Papa di garasi depan yang baru saja keluar membeli cup cake pesananku. Hari Minggu adalah satu-satunya saat kebersamaan kami sekeluarga dalam seminggu. Aku berlari keluar menghampiri Papa yang membawa kantong berisi aneka rasa cup cake, kemudian Papa menggendongku menghampiri Bunda yang sedang duduk di sofa. Aku melahap kue-kue manis itu dengan cepat sambil menonton TV didampingi malaikat-malaikat tanpa sayap. “Adzan dzuhur sudah berkumandang. Bunda, Kirana, yuk! Kita sholat berjamaah." Suara Papa mengingatkan waktu untuk beribadah sudah tiba. Aku bersemangat mengambil wudhu bersama Bunda dan mengenakan mukena, berdiri di saf belakang Papa. Sebelum sholat Bunda membereskan rambutku yang nongol di mukena. Setelah sholat dzuhur kami melanjutkan nonton TV di sofa. Tiga puluh menit kemudian suara bel rumah berbunyi. Bunda memanggil pembantu di dapur, tapi Bibi tidak muncul juga. Akhirnya Papa beranjak dari sofa dan bergegas membuka pintu. Tapi bagai disengat api di siang bolong, Papa kaget bukan main. Seorang wanita cantik dengan dress merah di atas lutut dan tangan kanannya mengapit tas kecil, langsung memeluk Papa dengan erat. Papa bungkam, tidak membalas pelukannya dan malah meronta-ronta minta dilepaskan. Wajah Bunda tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya, sedangkan aku hanya diam terpaku sambil bertanya-tanya dalam hati siapa wanita itu. Wanita itu..... kenapa sangat akrab dengan Papa? Apa mereka mempunyai hubungan yang istimewa? Berbagai pertanyaan dalam hatiku belum terjawab. “Setan apa yang merasukimu sehingga memelukku seperti ini, Liza? Aku sudah punya istri dan anak, jadi jangan ganggu hidupku lagi," jelas Papa sambil mendorong tubuh wanita itu ke belakang dan berusaha keras melepaskan pelukan wanita itu. "Bodoh amat, aku tidak peduli. Aku sangat merindukanmu, sudah beberapa tahun kita tidak pernah bertemu." bisiknya penuh kelembutan sambil menggoda Papa. Papa menasehatinya agar bersikap lebih sopan karena jika Bunda melihat kejadian itu pasti merasa cemburu. Papa berbalik sebentar, matanya menatap Bunda sambil meyakinkan kalau tidak ada hubungan apa-apa, tapi Bunda tersenyum kecut dan masuk ke dapur membuat minuman. Papa menyuruh Tante Lisa duduk di sofa, mereka duduk saling berhadapan. Aku masih diam membeku di tempatku berdiri, dan tidak melepaskan pandangan sedikitpun. Tante Lisa bergegas pindah posisi duduk ke samping Papa lalu mencium pipinya dan menyandarkan kepala di pundaknya. Aku tidak tahan, menangis dan berteriak, "paapaa...." suaraku terdengar. Sialnya, wanita itu terlalu tebal muka dan tidak peduli dengan kehadiranku. Ia dengan santainya berulang kali melakukannya kembali. Papa yang melihat reaksiku langsung menampar wanita tidak tahu malu itu. Ternyata ada hati yang lebih sakit melihat kejadian itu sampai-sampai tidak sadar melepaskan secangkir minuman jatuh ke lantai, hingga menimbulkan suara keras yang memekakan telinga. Serpihan kaca terlihat berserakan di mana-mana, kali ini Bunda tidak bisa memberi maaf lagi. Matanya mulai berkaca-kaca dan air mata mulai membasahi kedua pipinya. Bunda berlari ke atas menaiki anak tangga dan memasuki kamar dengan perasaan terpukul. Papa marah besar, ia mengusir Tante Lisa dengan kasar karena telah menghancurkan rumah tangganya, menarik paksa keluar melewati pintu dan membantingnya. Setelah itu, Papa mengahampiriku dan mencoba memberi penjelasan. Tapi percuma, aku segera berlari ke kamar tamu. Air mataku tidak bisa dibendung lagi dan tangisku pecah. Aku tergesa-gesa manghempaskan pintu lalu mengunci rapat-rapat agar Papa tidak bisa masuk. Harus kuakui, aku kecewa. Aku masih terlalu kecil dan polos melihat kejadian buruk dalam rumah tangga kami. Tidak dapat kupungkiri, aku juga takut karena masalah ini bisa menyebabkan mereka bercerai. Jangan Tuhan, jangan sampai, pasangan harmonis harus mengakhiri hubungan pernikahannya. Suara Papa terdengar lagi. Kali ini beliau berusaha meminta maaf. Aku hanya menutup telinga dan tidak mau mendengar penjelasannyaapapun itu. “Papa selingkuh, Papa menyakiti Bunda." Suaraku terbata-bata disambut dengan isakan tangis. Langkah kaki Papa terdengar menjauh dari balik pintu kemudian menaiki tangga. Dugaanku, Papa pasti menghampiri Bunda di kamar. Aku bisa mendengar suara pertengkaran untuk pertama kalinya di antara mereka di lantai atas. Hatiku sangat sakit. Pelan-pelan, aku membuka pintu sedikit, melongokkan kepala dan mencoba mendengar semuanya. Suara tangis Bunda yang pertama kali terdengar. Beberapa detik kemudian terdengar penjelasan yang tidak terlalu jelas dari lantai atas. Tiba-tiba, kulihat Papa berlari turun ke lantai bawah, menuju garasi dan mengendarai mobil dengan sangat tergesa-gesa. Seingatku, sepanjang hidup aku tidak pernah benar-benar merasa sakit hati. Ini pertama kalinya hatiku benar-benar terasa dihantam sesuatu. Aku segera berjalan ke atas dan menghampiri Bunda yang terus menangis. “Papa jahat, Bunda!" teriakku sambil menangis dan memeluk Bunda dengan erat. "Tidak, Sayang, ini hanya salah paham." melepaskan pelukan dalam satu dekapan walaupun mata Bunda terus menangis. Bunda lalu menyeka air matanya. “Bohongggg... Aku enggak percaya. Jangan membelanya!” Suaraku terdengar parau karena masih menangis. "Sayang, jangan menangis! Tuan Putri kok cengeng begini. Kamu harus kuat, apapun yang terjadi." Bunda mengelus pipiku dengan lembut. Aku tahu, walaupun hati Bunda sangat sakit, dia tertawa kecil mencoba menenangkanku. Sungguh, beliau satu-satunya malaikat terbaik dalam hidupku. “Terus Papa mau ke mana?" tanyaku. "Dia pergi sebentar, Sayang. Papa mau membuktikan perkataannya. Sekarang, kamu tidur sana, nanti sore kita belajar renang. Jangan lupa nanti sore pakai baju renang ya." Bunda mencoba mengalihkan pembicaraan supaya aku tidak banyak bertanya lagi. “Enggak mau, jawabku. “Tuan Putri kok ngambek! Jangan begini dong, Sayang." menampakkan wajah cemberut dengan kepala tertunduk. “Lihat Bunda sedih kayak gini, aku siap melakukan apapun demi Bunda, sahutku. Dia hanya tersenyum. Aku berjalan ke kamar untuk istirahat. Aku berharap, saat kubangun nanti perasaanku agak baikan, dan ini cuma mimpi buruk. Mataku pun terlelap ditemani boneka beruang yang kupeluk erat. Lantunan doa sebelum tidur telah kupanjatkan. Beberapa jam kemudian, Bunda masuk ke kamar membangunkanku untuk belajar renang. Mataku terbelalak dan aku menguap lebar-lebar. Setelah cuci muka, aku mulai memakai baju renang. “Papa sudah datang, Bun?" tanyaku sambil berjalan keluar dari kamar mandi. "Belum, Sayang. Cepat siap-siap! Bunda tunggu di kolam renang." menutup pintu dan menjauh dari kamar. Tidak lama Bunda menunggu, aku sudah ada di sekitar kolam. Tapi Bunda hanya melamun di pinggiran kolam, duduk di kursi putih yang terbuat dari kayu sedangkan di atasnya terletak minuman, buah-buahan, dan pisau. Aku membuyarkan lamunannya. Bunda agak kaget, sambil tertawa lalu menarik pipiku yang tembem. Kakiku turun perlahan ke air. Bunda mulai mengajariku dengan sabar. Sehelai penutup kepalanya ikut terapung, beliau seakan tidak ingin melepaskan kain itu walaupun di area rumahnya sendiri. Sesekali aku tenggelam di dasar kolam. Harus kuakui, belajar renang sangat sulit dan tidak semudah yang kupikirkan. Ada beberapa trik yaitu merentangkan tangan dan menggerakkan kaki, sampai terapung di atas air. Semua kesedihan Bunda aku bisa ikut merasakannya, ada sesuatu yang berbeda dari wajahnya. Wajah cantik itu tampak patah semangat dan tidak terlalu banyak bicara. Aku prihatin dengan keadaan Bunda, baru kali ini ia terlihat sangat murung. Detik berganti menit, menit berubah jadi jam, dan tidak terasa sudah satu jam kami berendam di dalam air, tapi aku masih belum bisa berenang dan sering tenggelam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD