Masa muda (1)

1012 Words
Medan, Juni 2007 Matahari pagi memancarkan sinar terang di langit biru yang tidak tertutupi oleh awan. Aku beranjak dari pembaringan dan bersiap-siap ke sekolah. Segera kupakai seragam merah putih yang sudah disediakan Bunda dan segera menuruni anak tangga yang melingkar di tengah rumahku yang cantik. Kedua orang tuaku sudah siap di meja makan dan mereka mendongak begitu mendengar suara sepatuku. Mereka menyapa seperti biasa, dan lagi-lagi melihat wajahku tampak cemberut. Masih sama seperti pagi-pagi sebelumnya, rambutku masih acak-acakan. Bunda yang selalu membereskan semuanya di pagi hari untukku. Dengan menenteng tas merah muda bergambar Hello Kitty, aku berjalan sempoyongan menuju meja makan. Aneka sarapan pagi sudah tersedia, tapi aku hanya meraih dan menggigit sepotong roti yang sudah diolesi selai coklat. “Pagi, Sayang, anak Bunda sudah cantik nih," sapanya sambil tersenyum manis. Aku hanya tersenyum. "Rambut berantakan itu enggak cantik, Bunda," kataku sambil menunjuk rambutku yang masih acak-acakan. "Nanti Bunda bereskan. Seandainya kamu pakai kerudung, pasti tidak akan berantakan begini. Coba lihat nih! Bunda berhijab dan selalu mendapatkan kemudahan sehingga tidak perlu memikirkan perhiasan kepala." Sorot matanya terpancar indah dan menenangkan hati. Aku tahu, menutup aurat wajib bagi perempuan muslim. Bunda memang sangat cantik dengan hijabnya. Semenjak menikah dengan Papa, semuanya berubah. Bunda sungguh-sungguh menutup aurat dan mulai mengajariku untuk melakukan hal itu juga. Sayangnya, aku masih belum siap untuk itu. Aku baru melaksanakan dua hal yang selalu ditekankan oleh kedua orang tuaku, yaitu menjalankan sholat dan membaca Alquran. Beberapa menit saja sepotong roti dan segelas s**u sudah berpindah ke dalam perutku. Papa keluar dari rumah lebih dulu, dan sekarang beliau sibuk membunyikan klakson mobil sebagai pertanda akan segera berangkat. Papa bekerja di rumah sakit sebagai dokter spesialis penyakit dalam. “Aku berangkat dulu, Bunda. Doain mudah-mudahan ulangan hari ini sukses ya, seperti biasa mendapatkan peringkat pertama. Assalamualaikum," bisikku sambil mencium pipinya. Bunda mengantarku sampai di depan pintu. "Waalaikumsalam. Tanpa kamu minta, Bunda selalu mendoakanmu, Sayang." Bunda tersenyum manis. Dia memang sosok malaikat yang selalu membuatku bahagia dan tersenyum. Aku duduk di jok belakang mobil dan sekali lagi melambaikan tangan pada Bunda yang masih berdiri di depan pintu. Mobil melewati pagar tinggi dijaga oleh satpam berbadan besar dan kekar, kemudian mobil berbelok dan Bunda tidak terlihat lagi. Papa kemudian memancingku untuk bercerita tentang sekolah, dan aku meladeninya. Aku bercerita banyak dan membuat dia tertawa terbahak-bahak. Beberapa menit kemudian, aku sudah sampai di gerbang sekolah dan kakiku segera melangkah turun dari mobil. “Belajar yang baik ya, Tuan Putri. Papa sayang kamu." Papa mencium dahiku. "Siap, Pak Dokter, aku juga sayang Papa." Aku memeluknya penuh cinta. Aku bangga memiliki kedua orang tua yang masih utuh dan mencintaiku. Terkadang teman-teman di sekolah sangat iri karena aku memiliki banyak hal. Mulai dari kecantikan, kepintaran, kekayaan, dan kedua orang tua yang sangat sayang padaku. Aku mulai berlari memasuki kelas. Tapi seiring langkahku berlari, terdengar samar-samar sebuah suara memanggil namaku dua kali. Aku menoleh ke belakang dan mencari sumber suara. “Kirana... Kirana...." seorang anak laki-laki berseragam merah putih menghampiriku dan membawa sebuah coklat. "Ada apa?" tanyaku berhenti sejenak. “Ini buat kamu, biar semangat ngerjain ujiannya. Terima ya! Aku harap kamu juara kelas seperti biasa." Anak laki-laki berbadan bulat dan pendek menyodorkan sebatang coklat. Aku meraihnya sambil tersenyum. Ian memang sangat perhatian seperti teman-teman lain yang selalu melindungiku saat orang lain berbuat jahil. Bahkan Ian pernah menyelamatkan nyawaku sewaktu pulang sekolah hampir saja tertabrak mobil yang mengemudi ugal-ugalan. Anak itu secepat mungkin menarik tanganku sehingga kami terhempas di trotoar jalan dan aku selamat dari kecelakaan tragis tersebut. Setelah mengatur napas yang tersengal, aku memegangi kepalaku yang sedikit pusing karena terhempas agak keras di trotoar jalan. Tas yang kujinjing terlempar jauh sekitar tiga meter dari tempatku terhempas bersama Ian. Mataku mendapati lutut anak itu terluka sehingga harus dilapisi Betadine, kain kasa putih, dan plaster perekat di atasnya. Ian sangat kuat. Dalam keadaan terluka pun, ia masih bisa berdiri tegap dan berjalan dengan agak terpincang sambil menarik kakinya yang sakit. Ia mengulurkan tangan dan memintaku bangkit sambil menanyakan keadaankuapakah terjadi hal buruk denganku. Aku tidak tahu apa yang terjadi seandainya Ian tidak datang menolongku—mungkin kecelakaan paling tragis seumur hidupku sudah terjadi. Semua temanku selalu bilang kalau aku sangat ramah karena menebarkan senyum kepada siapapun, tidak memilih teman miskin maupun kaya. Tahu-tahu, bel berbunyi dengan sangat nyaring. Kami pun berpisah dan masuk ke kelas masing-masing. Suara gemercik hujan terdengar dari luar jendela kamar. Malam yang gelap, tak ada cahaya kecil yang memenuhi angkasa untuk membentuk rasi bintang. Hanya awan hitam membentang luas di langit yang gelap, diikuti gemuruh yang menggelegar pertanda akan turun hujan deras. Terkadang telinga kututup rapat-rapat dengan tangan. Suara gemuruh itu membuatku takut. Kalau boleh jujur, ingin rasanya aku membuka jendela kamar dan memandang langit karena sangat rindu dengan sahabat malamku. Jaket tebal dan selimut sudah membalut tubuhku. Aku takut sendirian. Tanpa kusadari, air mata melewati pipiku. Beberapa detik ditemani keheningan, pelan-pelan pintu kamar terbuka. Bunda datang. Dia memang paling tahu kalau aku takut gemuruh. “Kamu sudah tidur, Sayang?" tanyanya sambil duduk di tepi ranjangku. Wanita cantik itu mendengar isak tangisku di balik selimut. "Jangan takut, Sayang, ada Bunda di sini jadi tidak akan ada orang yang menyakitimu, bahkan gemuruh sekalipun." lanjutnya lagi sambil membuka selimut yang menutupi tubuhku. Tanpa ragu aku langsung memeluknya. “Kirana takut, Bunda. Jangan pernah tinggalin aku ya! Tapi apa Bunda mau janji?" ujarku dengan mata sembap. “Bunda janji selalu menjaga malaikat kecilku yang satu ini. Tapi suatu saat kamu merindukan Bunda, tatap saja kalungmu. Bunda selalu di sana menjadi bulan yang bersinar terang." Bunda menyeka air mataku dan mencoba memberi semangat. “Eehh..... Bunda sudah janji kalau aku jadi juara kelas mau ajari aku renang." Sorot mataku memancarkan kekuatan tersendiri. “Bunda masih ingat janji itu," sahutnya sambil tersenyum tulus. “Belajarnya kapan? Aku sudah enggak sabar nih, Bun. Bagaimana kalau besok di kolam renang rumah kita?" Dengan nada setengah mendesak. “Tapi cuma di kolam kecil. Jangan di kolam besar ya." “Siap! Terima kasih, Bunda." Aku tersenyum senang. Mataku menatap langit-langit dengan sorot bahagia dan tidak sabar belajar renang lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD