Awal Kehidupan yang Pahit
Di sebuah sudut kota yang nyaris terlupakan, berdirilah deretan rumah kontrakan berdinding kayu lapuk dan beratap seng berkarat. Di salah satu petak sempit itulah Fery kecil tinggal bersama ibunya, Rista, dan adik perempuannya, Kaila. Ruangan itu bahkan nyaris tak pantas disebut rumah—terlalu pengap, gelap, dan jauh dari kata layak.
Namun bagi Fery, tempat itu bukan sekadar tempat berteduh. Di sanalah ia tumbuh bersama luka, belajar tentang arti bertahan, dan perlahan menyadari bahwa hidup tak selalu adil untuk anak-anak sepertinya.
Ayah Fery pergi sejak ia masih berusia empat tahun. Tanpa pamit, tanpa alasan, hanya meninggalkan kenangan dan tanda tanya. Saat itu, adiknya masih bayi. Meski kehilangan figur kepala keluarga, sang ibu tetap tegar. Ia menjalankan usaha kecil-kecilan agar mereka bisa tetap makan dan tertawa meski dalam kesederhanaan.
Namun hidup seolah tak pernah benar-benar memberi jeda.
Saat Fery duduk di bangku kelas empat SD, usaha ibunya bangkrut. Barang dagangan tak laku, tabungan habis, dan utang mulai memburu. Harapan pun perlahan memudar, seperti debu di tiupan angin.
Kontrakan kecil itu pun berubah menjadi saksi bisu perjuangan. Rista mulai bekerja serabutan: menjual gorengan, mencuci pakaian tetangga, hingga akhirnya menjadi pemulung. Semua demi memberi makan anak-anaknya. Demi memastikan Fery dan Kaila tetap bisa sekolah, meski hanya dengan bekal harapan dan sebungkus roti yang kadang harus dibagi dua.
Fery sempat sulit menerima kenyataan. Dulu, meski sederhana, hidup mereka masih terasa layak. Kini, mereka bahkan harus berbagi sebutir telur demi makan malam.
“Nak, ini kita makan telur, ya. Tapi telurnya dibagi dua, ya?” ucap Rista lembut, meski suaranya terdengar lelah.
“Iya, Bu. Enggak apa-apa kok,” jawab Kaila dengan senyum kecil.
Fery hanya diam. Ia tahu ibunya mencampurkan tepung ke telur agar porsinya cukup untuk bertiga. Tapi ia tetap makan, menahan segala rasa getir dalam diam.
Rista memandangi anak-anaknya dengan mata berkaca-kaca.
"Kasihan Fery dan Kaila," gumamnya lirih.
Hari-hari mereka diisi dengan mengumpulkan rongsokan. Fery dan Kaila ikut membantu, menyusuri jalan demi jalan sambil mendorong gerobak tua. Awalnya Fery merasa malu. Tapi lambat laun, rasa malu itu kalah oleh rasa kasihan dan cinta pada ibunya.
Meskipun begitu, tidak semua orang memahami perjuangan mereka.
“Lihat tuh, anak pemulung! Dasar tukang sampah!” ejek Wahyu, anak tetangga yang suka usil.
“Kamu mau ribut sama aku, hah? Sini! Aku hajar kamu!” Fery membalas dengan amarah yang ditahannya selama ini.
Wahyu tertawa sinis lalu kabur.
“Anaknya marah! Ayo kabur, teman-teman!”
Rista menghampiri Fery, memeluknya erat.
“Nak... maafin Ibu, ya. Karena Ibu kamu, kamu jadi dihina begitu.”
Fery menatap ibunya, lalu menggeleng.
“Ibu enggak salah. Enggak perlu minta maaf. Ayo, Bu. Kita lanjut setor, nanti keburu tutup.”
Hari itu mereka menyetor hasil rongsokan ke juragan. Rista hanya mendapat tiga puluh ribu rupiah. Tapi baginya, itu lebih berharga dari emas. Ia menyisihkan masing-masing lima ribu untuk Fery dan Kaila. Anak-anaknya begitu senang, apalagi Kaila yang sejak kemarin menahan keinginannya untuk jajan.
Dengan sisa uang, Rista membeli beras dan dua butir telur. Kali ini, ia hanya mencampurkan sedikit tepung. Setidaknya malam ini, Fery dan Kaila bisa makan dengan rasa yang lebih “nyata”.
Rista tahu, hidup mereka tak mudah. Tapi melihat anak-anaknya masih bisa tersenyum, itu cukup untuk membuatnya terus kuat.
Tengah malam di rumah kontrakan yang sunyi.
Angin malam berembus pelan dari celah-celah dinding kayu yang lapuk. Di dalam kamar sempit itu, Kaila terlelap dalam tidurnya, dibalut selimut tipis yang sudah mulai usang. Fery juga awalnya tertidur pulas, namun suara berisik dari ruang depan membuatnya terbangun.
Dengan mata setengah terbuka, ia bangkit pelan dan mengintip ke luar kamar. Di bawah cahaya lampu minyak yang temaram, tampak sosok ibunya—Rista—sedang sibuk memilah-milah tumpukan kardus dan botol plastik bekas. Tangannya lincah, meski tubuhnya tampak lelah.
Fery melangkah pelan menghampiri.
“Loh, Ibu belum tidur? Kenapa belum istirahat, Bu? Jangan kerja terus, nanti Ibu capek...” ucap Fery dengan suara lirih.
Rista menoleh, terkejut.
“Fery? Kamu belum tidur, Nak? Ayo, kembali ke kamar. Besok kamu sekolah. Nanti ngantuk di kelas.”
“Tadi aku udah tidur, Bu, cuma kebangun. Fery bantu ya, boleh?” ujarnya tulus.
Tanpa menunggu jawaban, Fery langsung mulai mengangkat beberapa kardus dan menyusunnya ke dalam karung besar. Tubuhnya yang kecil tampak ringkih di balik tumpukan kardus yang lebih besar dari tubuhnya sendiri. Tapi semangat dan tekad di matanya begitu besar.
Di antara teman-temannya, Fery memang paling kecil dan kurus. Tapi ia dikenal cerdas, rajin belajar, dan selalu masuk tiga besar di kelas.
Beberapa menit berlalu, dan rasa kantuk mulai menyergap. Gerakan Fery melambat, matanya berat, dan tubuhnya limbung.
Rista memandang anaknya dengan hati yang teriris. Ia segera menghentikan pekerjaan, lalu menuntun Fery untuk duduk.
“Udah, Nak. Istirahat, ya. Ibu bisa lanjut sendiri,” ucapnya lembut.
“Tapi Bu...”
“Enggak apa-apa. Ibu kuat. Kamu harus tidur, supaya besok bisa belajar.”
Fery akhirnya tertidur di teras rumah yang dingin. Rista menatap anaknya lekat-lekat, lalu mengambil sebotol Autan dari tas lusuhnya. Dengan pelan ia mengoleskan obat itu ke lengan Fery dan Kaila di dalam kamar.
“Ibu enggak akan biarkan kalian sakit. Ibu janji...” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
Di bawah langit malam yang sepi, Rista kembali melanjutkan pekerjaannya. Suara gesekan kardus menjadi musik malam yang menyayat hati. Tapi ia tahu, selama anak-anaknya bisa tidur dengan tenang, semua lelah akan terbayar.
Subuh pun menjelang.
Langit mulai berubah warna, dari hitam pekat menjadi kelabu. Suara ayam jantan samar terdengar dari kejauhan. Rista masih berjibaku dengan sisa-sisa rongsokan yang belum selesai disortir semalaman. Matanya sembab, tubuhnya letih, tapi ia tak mengeluh. Di hadapannya, dua anak yang menjadi alasan dia tetap kuat dalam segala keterbatasan.
Setelah semuanya selesai dimasukkan ke dalam karung, ia menutup mulutnya dengan kain tipis yang berbau deterjen bekas cucian, lalu duduk di lantai semen dingin. Rista menatap langit-langit rumah, mencoba mengusir rasa sesak yang menumpuk di d**a.
Tak lama, terdengar suara kecil dari balik pintu.
“Bu, udah pagi ya...?”
Fery terbangun, masih dengan mata bengkak karena kurang tidur. Ia menggeliat pelan, lalu duduk dan memeluk lututnya.
Rista tersenyum, menahan air mata.
“Iya, Nak. Ayo, siap-siap sekolah. Ibu udah siapin baju seragammu.”
Fery mengangguk, lalu masuk ke dalam kamar untuk membangunkan Kaila. Gadis kecil itu menggeliat dengan rambut awut-awutan, tapi tetap tersenyum saat melihat kakaknya.
“Kita sekolah ya, Kak?”
“Iya. Kita harus semangat!” jawab Fery mantap.
Mereka bertiga pun bersiap dengan seadanya. Rista menghangatkan sisa nasi semalam dan menggoreng telur satu butir, lalu membaginya jadi tiga bagian. Ia tahu, anak-anaknya butuh tenaga untuk belajar, dan dirinya butuh tenaga untuk mengayuh gerobak rongsokan hari ini.
“Ayo makan dulu, biar nggak pingsan di sekolah,” ucap Rista sambil menyuapi Kaila.
Fery mengambil bagian telurnya dan makan pelan. Rasanya tak mewah, tapi hangatnya cinta dari ibunya membuat semuanya tetap terasa nikmat.
Sebelum berangkat, Rista menyelipkan uang receh ke saku anak-anaknya.
“Ini... uang jajan. Nggak banyak, tapi semoga cukup buat beli air minum.”
Fery memandang uang lima ribuan itu, lalu menatap wajah ibunya yang lelah.
“Bu... nanti kalau Fery udah besar, Fery janji bakal bahagiain Ibu. Fery bakal kerja keras, supaya kita nggak tinggal di sini lagi...”
Rista memeluk anaknya erat, menahan air mata agar tak jatuh.
“Ibu nggak butuh apa-apa, Nak. Cukup lihat kalian tumbuh jadi anak baik dan kuat, itu udah cukup buat Ibu.”
Fery dan Kaila pun berjalan kaki ke sekolah, melewati gang sempit dan bau menyengat dari tumpukan sampah. Tapi mereka tetap tersenyum, membawa harapan di tas lusuh dan semangat di langkah kecil mereka.
Dari kejauhan, Rista berdiri di depan kontrakan sambil melihat anak-anaknya pergi.
Di wajahnya yang lelah, tersimpan kekuatan paling tulus:
cinta seorang ibu yang tak pernah menyerah.