di Sidang Guru

1649 Words
Suara gaduh dari dalam kelas menarik perhatian para guru di ruang guru. Beberapa siswa berlarian ke arah kantor, melaporkan bahwa telah terjadi perkelahian hebat di kelas. Tak lama kemudian, Bu Jannah—wali kelas mereka—datang tergesa-gesa. Matanya membelalak saat melihat empat siswa tergeletak di lantai dengan wajah lebam dan pakaian kusut. Di tengah kekacauan itu, hanya Fery yang masih berdiri. Napasnya terengah, tangan masih menggenggam erat buku robeknya. "Astagfirullah... Ini ada apa?!" seru Bu Jannah, menatap satu per satu muridnya. "Semua ikut saya ke ruang guru! Fery, Wahyu, Adi, Yunus, Irul. SEKARANG!" Kelima anak itu pun bergerak perlahan menuju ruang guru. Fery memeluk bukunya yang robek, langkahnya tegas tapi sorot matanya masih menyimpan luka dan amarah. Ia menatap dingin ke arah Wahyu dan kawan-kawan, sementara mereka—meski sama lebam dan babak belur—masih sesekali melempar tatapan penuh kebencian pada Fery. Di ruang guru, mereka duduk berjejer. Bu Jannah dan beberapa guru lainnya mulai melakukan interogasi. Fery duduk paling ujung, diam menunduk, enggan bicara. Bukan karena takut—tapi karena hatinya masih panas. Ia tahu, jika membuka mulut sekarang, amarahnya bisa meledak kembali. Wahyu tiba-tiba bicara lebih dulu. "Bu... semua ini gara-gara Fery! Dia yang duluan mukul saya... Kami enggak ngapa-ngapain, Bu. Kami cuma bercanda, tapi dia enggak terima, langsung nyerang kami!" Fery mendongak, menatap Wahyu tajam. Tapi ia tak berkata apa-apa. Ia hanya menghela napas panjang, menunduk lagi. Dalam hatinya, ia tahu kebenaran sering kali tak bersuara. Dan sayangnya, suara kebohongan kadang lebih didengar. "Apa benar begitu, Fery?" tanya Bu Jannah, menatapnya. Fery mengangkat wajahnya perlahan, mata beningnya menatap guru itu. "Saya cuma... mempertahankan diri, Bu. Mereka lempar buku saya. Mereka... sudah keterlaluan." Nada suaranya tenang, tapi getir. Ia lalu membuka buku miliknya, menunjukkan halaman yang robek dan sampul yang koyak. "Ini... satu-satunya buku yang ibu saya belikan dari hasil ngumpulin rongsokan tiap malam, Bu. Saya enggak bisa diam saja waktu mereka injak harga diri saya." Ruangan mendadak hening. Guru-guru mulai saling pandang. Ada yang terdiam, ada pula yang menarik napas pelan melihat wajah-wajah anak-anak yang memar tapi juga penuh luka yang lebih dalam: luka batin yang tak kasat mata. Bu Jannah memijat pelipisnya. Ia mulai menyadari, ini bukan sekadar perkelahian biasa antar anak laki-laki. Ini tentang harga diri, tentang kemiskinan, tentang ketidakadilan yang dirasakan seorang anak kecil bernama Fery. Belum sempat suasana di ruang guru mereda, pintu diketuk pelan. Seorang siswi masuk dengan langkah ragu namun penuh tekad. Dialah Luluk, salah satu murid yang dikenal tenang dan pandai—dan juga teman sekelas Fery. "Permisi, Bu… saya mau bicara," ucapnya, menatap Bu Jannah dengan sorot mata jujur. Bu Jannah mengangguk, mempersilakan. Luluk maju ke tengah ruangan, lalu berdiri di depan guru-guru dan teman-temannya yang sedang duduk. Napasnya tampak berat, namun ia tetap berbicara. "Saya enggak bisa diam, Bu. Sebenarnya… bukan Fery yang memulai. Sejak lama, Wahyu, Adi, Yunus, dan Irul sering sekali membully Fery. Mereka suka mengejek, menghina, bahkan kadang sengaja melempar barang-barangnya. Tapi Fery selalu diam. Dia enggak pernah melawan..." Luluk berhenti sejenak, matanya menatap Fery yang masih menunduk diam. Kemudian ia menatap guru-guru yang kini mulai memasang wajah serius. "Saya lihat sendiri tadi. Mereka datang berempat, menghampiri Fery, lalu Wahyu membalikkan mejanya dan merobek bukunya. Fery sabar, tapi tadi... mereka memang sudah terlalu keterlaluan." Ruangan sunyi. Tak ada yang berbicara. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas. Bu Jannah menatap tajam ke arah Wahyu dan ketiga temannya. Tatapan yang begitu dalam, cukup membuat keempat anak itu mulai gelisah dan menundukkan kepala. "Benarkah itu? Wahyu, Adi, Yunus, Irul?" suara Bu Jannah terdengar tenang, tapi tajam seperti pisau yang mengupas habis kebohongan. Keempat anak itu diam membisu. Tak ada satu pun yang berani membantah. "Jawab, kalian sering mengganggu Fery? Menghinanya karena latar belakang keluarganya?" Masih tak ada jawaban. Tapi diam mereka sudah cukup menjadi pengakuan. Beberapa guru mulai menggelengkan kepala, kecewa. "Kalian sadar nggak, kalau kalian bukan hanya menyakiti Fery, tapi juga merusak harga dirinya? Apa kalian pikir jadi anak dari keluarga pemulung itu pantas untuk dihina?" Wahyu menggigit bibirnya, menunduk lebih dalam. Adi tampak mulai berkaca-kaca, sementara Yunus dan Irul saling melirik, cemas. Bu Jannah lalu menatap Fery. "Fery, kamu kuat sekali, Nak. Maafkan ibu karena selama ini tidak tahu apa yang kamu alami. Kamu berhak mendapat perlakuan yang adil, seperti anak-anak lainnya." Fery hanya mengangguk kecil. Ia masih diam, tapi kali ini bukan karena marah—melainkan lega. Setidaknya, kali ini kebenaran tidak lagi tertutup oleh suara-suara kebohongan. Setelah keluar dari ruang guru, langkah Fery terasa lebih ringan, meski tubuhnya penuh memar. Ia masih menatap Wahyu dan teman-temannya dengan sorot mata dingin—bukan karena benci, tapi karena luka di hatinya terlalu dalam untuk segera sembuh. Sementara Wahyu, Adi, Yunus, dan Irul berjalan dengan kepala tertunduk. Tak ada lagi tawa atau ejekan dari mereka. Hening. Di depan pintu, Luluk masih berdiri menunggu. Saat Fery menghampiri, ia tersenyum tipis. "Eh… terima kasih ya, Luk," ucap Fery dengan suara pelan, nyaris berbisik, namun penuh makna. Luluk mengangguk. "Sama-sama, Fer. Kamu enggak sendirian, tahu." Fery menatapnya sejenak. Untuk pertama kalinya hari itu, bibirnya membentuk senyum kecil, meski masih dibalut rasa sakit. Siang harinya, di rumah Fery… Pintu rumah kontrakan itu berderit saat Fery membukanya. Tubuhnya lelah, dan luka di wajahnya masih berdenyut. Di dalam, Rista—ibunya—sedang melipat pakaian. Begitu melihat anaknya masuk, ia langsung berdiri dan berlari menghampiri. "Astagfirullah… Fery! Wajahmu kenapa, Nak?" tanya Rista panik sambil memegang pipi anaknya yang lebam. Fery terdiam sejenak, lalu buru-buru menunduk. Ia tak ingin ibunya cemas. "Tadi jatuh, Bu… di sekolah. Enggak apa-apa, cuma lecet dikit," katanya sambil memaksa tersenyum. Rista menghela napas panjang. Ia tahu Fery sedang menyembunyikan sesuatu, tapi ia memilih untuk tidak mendesak. "Hati-hati ya, Nak… Jangan sampai jatuh lagi. Sini, Ibu kompres dulu, biar cepat sembuh." Fery mengangguk pelan. Ia tahu ibunya lelah, ia tak mau menambah beban. Di balik senyuman kecilnya, tersimpan luka yang lebih dalam dari sekadar memar di wajah. Sementara itu, di rumah Wahyu… Wahyu masuk ke rumahnya sambil meringis. Ibunya yang sedang menyapu langsung terkejut melihat anaknya pulang dengan wajah lebam dan baju kotor. "Ya Allah! Wahyu, kamu kenapa ini?! Siapa yang bikin kamu begini?!" teriak ibunya, panik sekaligus marah. Wahyu langsung menjatuhkan tasnya dan duduk di lantai, berpura-pura lemah. "Aku dipukul, Ma… sama anak itu… Fery! Anak pemulung itu!" adunya penuh drama. Ibunya langsung membelalak. "Apa?! Kenapa dia mukul kamu?! Kamu ada salah sama dia?" "Enggak, Ma… dia tiba-tiba nyerang aku aja," kata Wahyu sambil menahan tangis pura-pura. "Dia emang enggak suka aku dari dulu…" Wajah ibunya langsung berubah murka. "Kurang ajar! Besok Mama ikut ke sekolah. Harusnya anak kayak gitu enggak boleh sekolah bareng kalian!" Di rumah Adi, Yunus, dan Irul… Situasi tak jauh berbeda. Ketiganya juga mengadu kepada ibu masing-masing dengan versi yang sama—menyalahkan Fery, menyembunyikan kenyataan. Mereka berpura-pura sebagai korban, berharap belas kasih dan pembelaan dari orang tua mereka. Tak butuh waktu lama, para ibu itu saling menghubungi. Kesimpulan mereka satu: mereka akan datang ke sekolah besok, menuntut keadilan untuk anak-anak mereka yang “dianiaya.” Mereka tak tahu—atau mungkin tak mau tahu—bahwa anak-anak mereka bukanlah korban sesungguhnya. Meski hidup dalam kesederhanaan, Fery tumbuh menjadi anak yang memiliki nilai-nilai kuat dalam dirinya. Ibunya, Rista, selalu mengajarkan pentingnya kejujuran dan kesabaran. Ia tak hanya mendidik Fery lewat kata-kata, tapi juga melalui keteladanan. Setiap malam, meski lelah sepulang mencari barang bekas, Rista tetap menyempatkan diri menunaikan sholat malam, memohon kekuatan kepada Tuhan agar ia dan anak-anaknya bisa tetap kuat menjalani hidup. Dari ibunya itulah Fery belajar tentang arti ikhlas, tentang tidak membalas keburukan dengan keburukan. Tapi pagi itu, semuanya terasa berat bagi Fery. Keesokan harinya, di sekolah… Pagi masih sejuk, namun suasana di kantor guru terasa panas. Bu Jannah memanggil Fery lebih awal dari jam pelajaran. Ketika Fery melangkah masuk ke ruang guru, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuat perutnya mual. Di dalam ruangan, sudah duduk empat orang tua—mereka adalah ibu dari Wahyu, Adi, Yunus, dan Irul. Wajah-wajah itu menatap Fery tajam, seolah sedang menilai dan menghakimi. Fery menunduk. Ia tahu, pagi ini tidak akan mudah. "Jadi ini anaknya?" tanya salah satu ibu dengan nada tinggi—ibunya Wahyu. "Kamu yang sudah berani memukuli anak saya?!" Fery hanya diam. Ia menunduk dalam. Tak membela diri, meski hatinya ingin bicara. Ia tahu ia salah karena memukul, walaupun ia hanya membela diri. Tapi apa penjelasan akan benar-benar didengar? "Ibu-ibu, mohon tenang dulu," ucap Bu Jannah, berusaha mengendalikan situasi. Namun ibu Wahyu kembali bersuara, tak kalah keras. "Anak saya pulang kemarin dalam keadaan babak belur! Wajahnya lebam-lebam! Anak saya bukan petarung, Bu. Dia anak baik-baik!" Di pojok ruangan, Wahyu hanya duduk sambil menunduk, sesekali melirik ke arah Fery. Ia tersenyum kecil, lalu berbisik pelan, cukup untuk didengar Fery. "Rasain kamu, Fer..." Bisikan itu seperti duri yang menancap di d**a Fery. Tapi ia tetap diam. Tak ada amarah. Hanya kesedihan dan rasa sesak yang makin dalam. Ia menatap lantai, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia bukan takut—ia hanya kecewa. Bu Jannah melihat ekspresi Fery. Ia tahu, anak ini sedang menahan banyak hal. "Fery, kamu dengar tuduhan ibu-ibu ini. Apa kamu ingin menjelaskan?" tanya Bu Jannah lembut, mencoba memberi ruang. Fery mengangkat kepalanya perlahan. Tatapannya kosong, namun suaranya tenang. "Saya memang mukul mereka, Bu. Tapi saya cuma… mempertahankan diri." Suasana kembali hening. Fery melanjutkan, pelan tapi jelas. "Mereka sudah lama menyiksa saya, Bu. Secara fisik... dan lebih sering, secara ucapan. Tapi saya selalu diam. Saya enggak pernah melawan. Sampai kemarin… waktu mereka robek buku saya. Buku yang ibu saya beli dengan susah payah. Saya enggak tahan lagi." Para orang tua saling pandang. Sebagian mulai goyah. Tapi tidak semua. "Ah, alasan saja!" potong ibu Wahyu keras. "Masa anak saya dibilang suka membully? Dia itu anak sopan!" Bu Jannah menahan napas. Ia tahu, hari ini belum selesai. Tapi satu hal yang ia tahu pasti: Fery tidak sendirian lagi. Dan hari ini, kebenaran—meski tertatih—sudah mulai menunjukkan dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD