Sesal Yang Terlambat

1056 Words
Sakit, satu kata yang menjabarkan dengan jelas apa yang Dirga rasakan sekarang. Raganya serasa remuk, hingga membuatnya merintih akibat dipukuli pamannya. Lebih dari itu, semua rasa sakit yang ada di hatinya jauh lebih menyiksa. Dirga ditinggalkan oleh semua orang, terhempas dari ikatan keluarga sekaligus dikhianati cinta yang ia agungkan. Dia mulai bertanya-tanya di mana kasih sayang dan pemujaan yang keluarga besarnya dulu berikan kala ia berhasil mendapatkan kontrak besar dengan perusahaan ternama. Di mana senyum mereka, di mana janji mereka yang mengatakan akan selalu mendukungnya. Ketika ia terjatuh, mereka membuangnya seperti anjing. Bahkan tak memberi dirinya belas kasihan sedikitpun. Entah pada siapa ia mengadu sekarang. Pada siapa ia akan berbagi rasa sakit di hatinya. Orang yang ia cintai meninggalkan dengan kejam saat ia paling membutuhkan keberadaannya. Biasanya saat suami memiliki masalah, suami akan berkeluh kesah pada istri. Namun Dirga tahu kalau ia tak pantas. Dia tidak pernah menganggap istrinya ada, kini waktu pun berputar. Naia yang sekarang tak menganggapnya ada. Dan Dirga tak bisa menyalahkan Naia atas sikapnya yang dingin. 'Tidak, aku yakin semua masih bisa diperbaiki. Kalau perlu aku akan berlutut pada Naia agar ia memaafkan ku,' batin Dirga. Dia berusaha bangkit dari lantai, menahan nyeri akibat pukulan paman-pamannya. Hati dan otaknya mengatakan untuk meminta maaf pada Naia dan pulang ke rumah secepatnya. Tanpa perduli tatapan dari orang-orang yang berada di gedung, ia berjalan menuju ke lobi. Hanya saja ia baru sadar kalau tak memiliki kendaraan. Semuanya sudah diambil paman-pamannya. Bahkan mobil yang biasa ia kendarai juga diambil paman-pamannya. Dirga mendesah marah. Dia mengambil dompet dan memeriksa apa ada uang tunai di sana. Beruntung masih ada beberapa lembar uang tunai. "Silvi," geram Dirga. Dia sangat marah pada wanita yang pernah ia cintai itu. Betapa tega ia melakukan semua ini padanya. Padahal semua uangnya selalu ia transfer ke Silvi hingga ia jarang menggunakan uang tunai. Silvi juga yang mengatur semua gaji dan keuangan perusahaan. Ia justru ditinggalkan dengan kondisi menyedihkan seperti ini. "Aku juga tak akan membiarkanmu, " desis Dirga. Ia berniat melaporkan Silvi ke kepolisian dengan tuduhan penggelapan. Setelah berhasil meredam emosinya, Dirga mencegat ojek yang lewat. Mau tak mau Dirga naik ojek untuk pulang ke rumah Naia. Berharap kalau istrinya itu iba saat ia melihatnya babak belur lalu memaafkannya. Lagi pula ia juga sangat lapar. Karena masalah perusahaan, ia tidak sempat makan. Rasa lapar itu juga mengingatkan penolakannya terhadap masakan Naia. Dirga hanya berdoa semoga saja Naia masak dan menawarkan makanan. ... Naia agak terkejut dengan penampilan Dirga. Mata, pipi yang bengkak, bibir sobek dan pakaian yang berantakan. Dia seolah habis dipukuli. Naia bahkan meringis melihat memar biru di pipi Dirga. Bisa dibayangkan sekeras apa pukulan yang pria itu terima. Masih bersikap acuh tak acuh, Naia bertanya pada Dirga. "Mas mau mengambil pakaian ya? Bi Siti sudah menyiapkannya. Aku akan menyuruhnya membawa ke sini," kata Naia. Dia tidak mau bertanya apa yang terjadi pada Dirga. Dia sudah menyerahkan segala nya pada pengacara untuk proses perceraian. Hubungan menyakitkan dan saling menyakiti itu harus segera diakhiri. "Kamu..." Tangan Dirga mengepal. Ada rasa kesal karena Naia sama sekali tidak merasa iba padanya. "Apa kamu ngak kasihan liat aku kayak gini!? bisa-bisanya kamu ngusir suami terluka," maki Dirga. Serasa tak terima saat harapan untuk kembali pada Naia tak memiliki peluang. "Aku hanya melakukan apa yang mas perintahkan dulu. Mas dulu bilang jangan ikut campur urusan Mas Dirga kan? Dan apa itu tadi, suami? memangnya mas merasa sudah menikah dan punya istri?" Jawab Naia. "Haah, sudahlah. Pengacara ku pasti sudah mendaftarkan gugatan ceraiku." Dirga pun kehilangan kendali. Dia menampar pipi Naia karena kesal. Naia sampai terjatuh di lantai karena tamparan itu. "Apa!?" bentuk Dirga saat melihat Naia yang menatap tajam ke arahnya. "Apa kamu merasa sakit!? aku jauh lebih sakit Nay. Silvi mengkhianatiku, keluargaku mengusirku dan aku dipukuli kayak anjing! Tapi kamu malah ngak kasihan sama aku!" teriak Dirga. Dia melotot pada Naia yang memegang wajahnya. "Andai saja kamu mau meminta ayahmu untuk meminjamkan uang padaku maka aku ngak akan kayak gini! Ini salahmu!" "Kau pria tak tahu malu," desis Naia. Sesaat kemudian Dirga sadar dengan apa yang sudah ia lakukan. Dia buru-buru meminta maaf pada Naia dan membantunya bangun. Dia merutuki dirinya yang lepas kendali. "Nay, astaga. Maafkan aku, sungguh aku tadi hilang kendali. Aku, aku..." Dirga tergagap saat minta maaf. "Lepas," desis Naia. Merasa muak dengan Dirga, dia melangkah masuk ke dalam. "Bi bawa tasnya dan suruh orang ini pergi." " Tapi Nay, aku ngak punya tempat untuk tinggal. Tolong izinkan aku tinggal di sini. Kumohon!" Naia sungguh tak tahan dengan Dirga. Pria ini bukan hanya tukang main tangan, tapi juga pecundang. "Apa urusanku Dirga! kamu sekarang bukan apa-apaku. Bukannya kamu sudah bayar kontrakan rumah Silvi, kenapa ngak tinggal di sana saja! kamu ngak punya hak nuntut aku kasihan sama kamu, padahal kamu sendiri ngak pernah kasihan sama aku!" Kepala Dirga tertunduk. Sadar benar dengan apa yang Naia katakan. Dia terpaksa mengambil tas yang disodorkan Bi Siti lalu melangkah pergi. Dirga terpaksa menerima saran Naia yang menyuruhnya untuk pergi kontrakan Silvi. 'Dari pada aku tidur di jalan,' batin Dirga. Hidup memang tak bisa ditebak. Jika melihat Dirga yang sekarang, tak akan ada yang percaya jika beberapa hari yang lalu dia adalah bos di perusahaan ekspedisi yang besar. Akibat salah langkah dalam kebijakan perusahaan yang dicampur adukkan kehidupan pribadi, ia menjadi pria yang tak punya apapun selain semua pakaian yang ia bawa. Naia mengawasi Dirga yang meninggalkan rumahnya dengan ojek. 'Sekarang sudah impas mas. Aku sudah tak memiliki dendam padamu. Kuharap kamu bisa menemukan kebahagian.' "Nak, sini bibi kompres pipinya. Nanti bengkak lo..." tawar Bi Siti. "Iya Bi." Naia mengambil fotonya sejenak. Barang kali foto pipinya yang habis ditempat Dirga bisa mempermudah proses perceraian. Setelah itu dia membiarkan Bi Siti merawat pipinya. "Hiks, tuan memang jahat. Selama ini dia ngak pernah bahagiakan kamu Nak, tapi malah nyakiti kamu seperti ini." Bi Siti tak tega melihat Naia yang terus menerus mendapatkan perlakuan buruk dari Dirga. Jika dulu pria itu hanya mengatakan kata-kata kasar dan mengabaikan Naia, sekarang justru main tangan. Bi Siti sangat benci pada pria itu. "Aku ngak apa-apa kok Bi. Tenang saja." Akhirnya Naia mendapatkan kedamaian setelah kepergian Dirga jadi mana mungkin ia bersedih. Naia merasa hari kedepannya akan mudah ia lewati sebab ia yakin ayahnya tidak akan lagi menjodohkan dirinya dengan pria manapun. Kan jarang sekali pengusaha yang mau sama janda. Walaupun ia janda perawan ting-ting.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD