Kantor sepi setelah semua karyawan pergi satu persatu. Dalam keheningan ini, Dirga termenung. Melihat kembali masa lalunya setelah menikah dengan Naia dan kehidupannya dengan Silvi. Dari sini ia tahu kalau hidup dengan menuruti hatinya. Otaknya seolah tak berfungsi, secara membabi buta melimpahi Silvi dengan cinta dan harta. Hanya itu yang ia lakukan.
'Aku hanya ingin membahagiakan orang yang aku cintai, apa itu salah?'
Dirga tahu cinta tidak salah, tapi ia terlalu pengecut untuk menolak perjodohan. Dengan seenaknya menyalahkan pernikahan ini pada Naia padahal ia tahu kalau Naia juga dipaksa.
Selama ini Dirga menganggap kalau Naia adalah duri dalam daging. Gadis yang menghalanginya mendapatkan Silvi dan cintanya. Sehingga ia menganggap keberadaan Naia tidak ada. Itulah kenapa ia tidak pernah memberikan nafkah pada Naia. Dia tidak perduli dari mana Naia mendapatkan uang belanja. Dia. juga tidak pernah perduli saat pembantu rumahnya mengatakan kalau Naia sakit dan butuh ke dokter. Dirga merasa itu hukuman bagi Naia yang sudah menjadi batu sandungan untuknya.
Namun sekarang waktu menjawab semuanya. Semua yang ia lakukan demi Silvi justru dibalas dengan cara menyakitkan oleh gadis itu. Dia pergi saat ia hancur sama seperti simpanan lainnya yang akan mencampakkan pria yang bangkrut.
"Sialan... kenapa aku bisa tertipu dengan Silvi!"
Pintu terjeplak dengan keras. Berbondong-bondong orang masuk ke ruangan Dirga. Wajah mereka tidak asing tapi ekspresi wajah mereka jelas tidak bersahabat. Sudah saatnya Dirga mempertanggung jawabkan tindakannya pada semua keluarga yang kini datang dengan wajah marah.
"Dirga! jelaskan pada kami kenapa perusahaan bisa hancur seperti ini!?" Teriak paman Dirga, Reno.
"Kamu sudah diberi kepercayaan keluarga besar kita tapi kamu justru menghancurkannya. Dan apa yang aku dengar itu karena kamu mempunyai simpanan dan ngak menghormati tamu mu di pesta ulang tahun pernikahan kalian!"
"Apa benar kamu berkeliling menyapa tamu dengan selingkuhanmu!" tanya Jerry. Dia juga pamannya yang kedua.
Dirga diam saja. Itu membuat pamannya naik pita dan menghajar Dirga. Pria tidak tahu diuntung ini pantas mendapatkan pukulan karena bersikap tak tahu malu. Dia juga merugikan keluarganya.
Dirga hanya pasrah dipukuli paman-pamannya. Ini memang salahnya yang tertipu dengan cinta palsu Silvi. Mungkin ini juga hukuman untuk pria yang mengabaikan istrinya.
***
Naia mengambil album yang menyimpan foto pernikahannya dengan Dirga. Saat itu ia tersenyum lebar karena rasa bahagia. Satu persatu ia melihat foto itu. Sekarang setelah ia lihat kembali, ternyata tak satupun senyum di wajah Dirga. Dia nampak memperhatikan ke arah lain, sudah pasti ia melihat ke arah Silvi.
Naia ingat benar kalau Silvi datang ke pernikahannya. Ia yang tak menaruh curiga padanya sehingga meminta Silvi berfoto bersama. Pantas saja Dirga saat itu tersenyum lembut. Hatinya bahkan terguncang melihat betapa tampan sang suami.
"Kamu hanya tersenyum di foto ini Dirga."
Usai bernostalgia dengan rasa sakit dan kecewa apa awal pernikahannya. Naia sadar kalau sudah saatnya melepaskan semuanya. Dia tidak lagi ingin menyimpan sakit hati akibat hubungan gelap Dirga. Walau akan ada saatnya menjelaskan pada teman-temannya alasan ia berpisah dari Dirga. Padahal saat itu teman-temannya memuji Dirga dan mengatakan kalau Naia beruntung dijodohkan pria setampan oppa Korea.
Flashback On.
Saat itu teman Naia berkumpul bersama saat akan menuju ke gedung resepsi. Fitri, Sinta dan Ayu mengelilingnya Naia ketika ia dirias dan bercanda dengan sahabat yang menikah paling belakangan.
"Naia, apa kamu sudah lihat calon suamimu?"
Naia melirik ke arah Fitri yang tersenyum ke arahnya.
"Tidak, Dirga saat itu ada di luar negeri ketika keluarganya melamar. "
Fitri mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan foto pria tampan yang gagah dengan wajah ala Oppa Korea.
"Woaah... tampan sekali. "
"Ya ampun, aku jadi iri."
"Kamu beruntung dapat pria sempurna Naia. Sudah tampan, kaya lagi. Selamat ya dear..."
Naia menunduk malu. Dia juga tidak menyangka kalau suaminya nanti sangat tampan. Dan yang ia dengar Dirga pandai berbisnis. Harapan Naia untuk mengarungi bahtera rumah tangga yang bahagia pun membumbung tinggi.
'Terima kasih sudah memilih pasangan sempurna untukku ayah,' batin Naia.
Saat acara resepsi berlangsung, Naia sesekali melirik Dirga. Jantungnya seakan mau copot kala berdekatan dengan Dirga. Sungguh ia gugup dekat dengan suaminya apalagi ketika suaminya melihat ke arah Naia.
'Ya ampun, dia benar-benar tampan.'
Naia memperhatikan teman-temannya yang tersenyum lebar ke arah Naia. Mereka menikmati makanan sambil melempar tatapan menggoda. Hal itu membuat Naia tersenyum manis. Semua nampak normal sebelum malam pernikahannya.
Kamar hotel yang disewa menawarkan kenyamanan. Satu kali lihat jelas terlihat jika petugas hotel menghias ranjang. Wajah Naia memanas membayangkan seperti apa nanti saat Dirga datang. Apakah ia hanya diam dan berkenalan ataukah mereka segera melakukan hal itu.
Senyum di bibir Naia tak pernah turun. Dia menunggu sampai ketiduran.
"Eh aku tertidur, " guman Naia. Dia melihat jam namun begitu waktu sudah menunjukan jam tiga dini hari, Naia tahu kalau ada yang tidak beres.
"Kemana mas Dirga sekarang?" guman Naia.
Sebuah pemikiran buruk segera muncul. Hanya ada satu hal yang menjelaskan alasan kenapa pengantin pria yang baik-baik saja tidak datang pada malam pernikahan mereka.
"Apa dia memiliki kekasih?" lirih Naia. Wajahnya memucat.
"Tidak, aku tidak boleh berpikir buruk. Siapa tahu kalau mas Dirga ada kesibukan di kantor."
Hati kecil Naia memberontak dengan pemikiran tadi. Sesibuk apapun, tidak mungkin karyawannya tidak tahu kalau mas Dirga menikah.
Hati Naia merasa kedinginan. Entah apa yang harus ia lakukan sekarang. Dia bahkan tidak berani berbicara dengan ayahnya tentang hal ini, jadi ia hanya diam.
Sejak dulu ia pandai menyimpan perasaannya. Itulah kenapa ia tidak marah atau kesal saat Dirga baru pulang setelah tiga hari pernikahan mereka. Naia berusaha tidak menangis atau bertanya. Ia cukup menyuruh Bi Siti menyiapkan makanan di meja makan.
"Di mana aku tidur?" tanya Dirga.
"Ada kamar tamu di lantai bawah. Lantai atas hanya ada dua kamar, itu untuk aku dan Bi Siti."
"Ya sudah aku akan tidur di bawah. Naia, aku tidak menginginkannya pernikahan ini jadi jangan berpikir aku akan menjadi suami yang baik."
Setelah mengatakan itu, Naia terdiam. Ia ingin menangis tapi tak bisa. Bibirnya serasa kelu, hatinya juga kebas. Namun matanya masih menyimpan sinar harapan untuk Dirga.
'Aku akan mencoba membuatmu mencintai ku Mas,' batin Naia dalam hati. Semangat untuk memiliki rumah tangga yang bahagia dengan Dirga masih belum padam meski pria itu sudah mengatakan hal menyakitkan. Dia berharap kalau nantinya Dirga akan menerima dirinya juga cintanya.
Esok hari Naia menyambut Dirga yang baru bangun tidur dengan senyum. Dia menyediakan sarapan lalu bertanya dengan lembut pada Dirga.
"Mas biasa minum apa di pagi hari? apa mas suka kopi, teh hangat atau jus? aku juga sudah menguap nasi goreng. "
Dirga hanya menatap dingin. Dia merasa harus memberi tahu dengan jelas pada Naia kalau semua ini tidak akan mengubah perasaannya.
"Jangan melakukan hal yang sia-sia Naia. Aku tidak akan pernah makan makanan yang kau masak. "
Wajah Naia seketika mendung. Kesedihan nampak jelas di matanya. Namun ia tidak akan menyerah semudah itu.
"Aku tahu mas, tapi mas Dirga sarapan ya, biar ngak lapar di kantor. "
" Tsk berisik."
Dirga pun meninggalkan rumah dengan kesal. Dia sama sekali tidak suka diatur oleh gadis yang memaksa masuk ke hidupnya. Dari pada ia memaksan masakan Naia, lebih baik ia makan masakan Silvi.