Dendam

1249 Words
Melihat Dirga masih berada di pintu, Naia merasa tidak nyaman. Dia ingin menutup pintu kamarnya agar pria ini kembali ke kamarnya dan bersiap pergi dari rumah. Namun Dirga justru menahan pintu. Tangan besar yang pernah ia kagumi menahan pintu dengan gigih. Membuatnya tak memiliki pilihan selain tetap mendengar apa yang suaminya katakan. "Apa lagi maumu Mas. Lebih baik kamu mengumpulkan keluarga besarmu dan mengatakan kalau perusahaan sedang krisis," gerutu Naia. Sesaat kemudian ia menyeringai. "Kira-kira apa yang mereka pikirkan saat tahu kalau perusahaan tempat mereka menggantungkan hidup bangkrut akibat kamu bersenang-senang dengan selingkuhanmu ya?" ejek Naia. Ucapan Naia menghantam telak kepala Dirga. Dia memucat membayangkan semua kebencian kebencian akan diarahkan keluarganya pada dirinya. Selama ini mereka percaya padanya bahkan sang ayah juga menunjuk dirinya untuk menjalankan perusahaan. Apa yang akan mereka katakan jika tahu kalau perusahaan berada dalam krisis karena kesalahan yang ia perbuat. "Aku mohon Naia. Maafkan aku dan bantu aku kali ini saja. Aku akan benar-benar hancur kalau keluargaku juga meninggalkanku, " lirih Dirga. Naia menatap dingin pada pria yang masih menjadi suaminya. Seandainya saja ia tahu kalau Dirga adalah pria pengecut yang tak memiliki harga diri maka ia tak akan pernah menikahi pria ini. Dia pasti akan melarikan diri saat dijodohkan dengannya. "Kenapa aku harus menolongmu? kau bahkan tidak pernah memberi nafkah padaku. Kau terlalu sibuk mentransfer uang ke rekening simpanan mu sampai lupa kalau kau memiliki kewajiban memberi istrimu nafkah." Satu lagi kata-kata pedas keluar dari bibir Naia. Ya selama ini ia sibuk memberi uang pada Silvi dan lupa kalau memiliki istri. Dirga merasa Naia bisa menghasilkan uang sendiri atau ia bisa meminta ayahnya untuk biaya hidup. Dirga mulai sadar kalau sudah sangat keterlaluan pada istrinya. "A-aku..." "Sudahlah." Naia memotong ucapan Dirga, "Dari dulu sampai sekarang kita hanya akan menjadi orang asing meski berstatus suami istri. Aku tidak berpikir mengubah hubungan itu. Karena kita akan segera menjadi orang asing." "Lalu bagaimana dengan ayahmu. Dia pasti tidak setuju. Keluargamu sangat membenci perceraian kan?" tanya Dirga. Dia merasa lega karena memiliki alasan agar Naia tidak menceraikannya. Mertuanya sangat membenci perceraian. Naia menjawab pertanyaan Dirga dengan jujur agar pria itu berhenti berharap. "Sayangnya ayahku tidak mau memiliki menantu yang bangkrut. Dia akan dengan mudah menemukan pria lain untukku. Dari dulu ayah hanya memikirkan keuntungan. Jadi menantu sepertimu dengan mudah ia ganti." "Ha?" Naia segera menutup pintunya. Dia memanfaatkan Dirga yang lengah karena tercengang. Dirga tertegun. Dia berdiri membeku seolah jiwanya kosong. Entah kenapa jantungnya berdetak tidak nyaman. Rasanya seperti dicekik oleh tangan tak kasat mata. Di depan pintu kamar Naia, ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa semua jalan sudah tertutup rapat. Sementara Dirga merasa dunianya hancur, Naia justru merasa puas. Semua yang ia rencanakan berhasil dengan sukses. Kedatangan pak Tommy dan juga isu yang menyebar di antara para istri pengusaha rekan Dirga, sebenarnya adalah ulah Naia. Dia bertekat menghancurkan Dirga di pesta itu sebagai balasan sudah membuatnya malu dan sakit hati. Naia tahu benar kalau para pengusaha sangat membenci simpanan. Terutama Pak Tommy yang memiliki masa lalu buruk karena ayahnya direbut pelakor. Dari yang ia dengar, Pak Tommy membuka usaha sendiri sehingga menjadi pengusaha sukses setelah ia dan keluarganya ditendang ke jalanan oleh ayah akibat desakan pelakor. Dan setelah ia dewasa, ia melakukan hal serupa pada ayah dan keluarganya. Dia membalas dendam pada mereka semua tanpa ampun. Sudut bibir Naia tertarik ke atas. Ternyata akan tiba hari Dirga memohon padanya. Ia merasa sangat puas sekarang. Hatinya yang patah saat mengetahui perselingkuhan Dirga akhirnya terbalas. Lebih dari itu kekecewaan yang ia rasakan jauh lebih buruk di saat ia mengira sudah menemukan pangeran berkuda putih. Dirga yang tampan, berhidung tinggi, berwajah ala oppa Korea membuatnya merasa beruntung karena menikah dengan impian teman-temannya. Dia bersyukur ayahnya tidak menjodohkan dirinya dengan pria tua yang kaya. *** Dengan langkah gontai, Dirga menuju ke kamarnya. Wajah yang dulu acuh tak acuh berselimut emosi mulai menunjukkan kelemahan. Bisa jadi ini adalah rasa penyesalan. Ia merasa seharusnya memperlakukan Naia dengan baik di masa lalu. "Seharusnya aku senang karena Naia meminta cerai. Jadi aku bisa bersama Silvi, " guman Dirga. Dia duduk di ranjang dan mengambil ponsel. Dirga mengirim pesan pada Silvi jika Naia tidak akan membantunya. Dia juga akan menceraikan Naia. Tak terasa Dirga tertidur karena kelelahan. Dia pun tidak sadar kalau Silvi tidak membalas pesannya. Sebab malam itu dimanfaatkan oleh Silvi untuk melarikan diri dari Jakarta. Silvi segera menarik semua uang yang ada di Atm perusahaan dan kabur bersama semua barang yang bisa ia bawa. "Aku ngak mau hidup miskin." Silvi hanya akan meninggalkan kabar buruk pada Dirga tanpa berniat mengucapkan salam perpisahan atau lainnya. Dia merasa kalau ini adalah harga yang harus Dirga bayar karena ia sudah menikmati tubuh Silvi meski tanpa ikatan pernikahan. "Selamat tinggal Jakarta." *** Dirga bangun dengan perasaan campur aduk. Masalah perusahaan, keuangan dan Naia menjadi beban tersendiri di otaknya. Naia... ternyata ia sudah begitu menyakiti istrinya sampai kata maaf serasa sulit diucapkan. Ia mulai ragu dengan perasaannya sendiri. Membayangkan Naia pergi dari hidupnya menusuk nuraninya. 'Sudahlah,' guman Dirga. Dia bersiap ke perusahaan. Lalu keluar ke ruang dapur untuk mencari makanan. Akan tetapi meja makan itu kosong. "Naia, apa kamu ngak masak?" tanya Dirga yang mendatangi Naia di teras samping. "Mas kan selalu membuang masakanku ke sampah. Mana mungkin aku berani masak lagi. Bukankah selama ini sekertaris mu yang masak buat kamu?" jawab Naia acuh tak acuh. "Lagi pula kita akan bercerai mas." Dirga kembali terdiam. Dia memilih meninggalkan Naia menuju ke kantor berharap ada keajaiban. Mungkin saja ada rekan kerjanya yang menawarkan bantuan di saat paling krisis. Atau ada yang meminta jasa armadanya. Saat ini semua armada masih belum lunas. Tahun lalu Dirga menjual kendaraan yang sudah tua dan mengganti dengan yang baru dengan cara diangsur. Akan tetapi dewi fortuna nampak enggan mendekati Dirga. Yang ia dapatkan bukan kabar baik melainkan kabar buruk yang bertambah. Semua dimulai ketika salah satu pegawainya mengatakan kalau Silvi tidak datang ke perusahaan. Teleponnya juga tidak aktif dan yang lebih buruk rekening perusahaan kosong melompong. "Mbak Silvi membawa kabur semua uang anda Pak." Dunia Dirga seakan menggelap. Dia tidak ingin mempercayai apa yang ia dengar. "Tidak mungkin. Apa kau sudah ke rumah nya?" tanya Dirga yang menahan emosi. "Rumah kontrakan mab Silvi kosong pak. Barang-barangnya sudah tidak ada di sana. Pemilik kontrakan juga bilang kalau mbak Silvi tadi malam pamit pulang. " "Silvi tidak akan meninggalkanku seperti ini. Tidak mungkin..." Semua pegawai Dirga menatap iba padanya. Mereka merasa jika Dirga mendapatkan karma dari perselingkuhannya. Perusahaan hancur, selingkuhannya kabur dan sekarang uang perusahaan kosong pula. Lengkap sudah penderitaan Dirga. Semua yang bekerja di sini tahu kalau sudah tidak ada harapan lagi untuk bekerja di sini. Dari pada terus menanti sesuatu yang tidak pasti mereka memutuskan untuk mengundurkan diri. "Pak kami pamit. Maafkan kami tapi kami tidak mungkin bekerja tanpa menerima gaji. " Yang mereka katakan memang benar. Dirga merasa beruntung mereka tidak menuntut gaji mereka. Itu yang ia pikirkan. Akan tetapi salah satu dari mereka mulai mengajukan tuntutan. "Pak, kalau gaji gaji kami tidak anda bayar kami akan mengambil aset kantor. " "Apa!?" Teriak Dirga. "Trus kami makan apa pak kalau kami tidak digaji padahal sudah bekerja selama satu bulan?" Teriakan para karyawan pun menggema satu suara. Perkiraan Dirga salah besar. Mereka ternyata sudah menyiapkan segalanya sebelum mengajukan pengunduran diri. "Kalian..." Dirga tahu kalau ia tidak bisa berbuat apapun. Dia pun jatuh terduduk di kursinya tanpa satu kata yang keluar dari bibirnya. Karyawan yang melihat ini segera menjarah apapun yang ada di kantor. Mereka mengambil komputer, printer dan lainnya, yang bisa mereka jual.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD