Empat

1148 Words
"Bim, kayaknya gue harus balik deh." Abim mengerutkan dahi mendengar ucapan Tio yang tiba-tiba. "Kakek gue masuk rumah sakit," sambung Tio seraya memperlihatkan pesan yang baru ia terima. "Ck, kenapa nggak dari tadi sih!" Tio segera menonyor kepala teman nya yang tak bisa berpikir waras barang sebentar. "Terus gimana?" tanya Abim malas. ada jeda cukup lama kala itu, masing-masing memikirkan solusi. "Oh! Kalau gitu, gue aja yang nganterin," usul Dewi yang segera disetujui oleh Tio. tanpa banyak bicara, mereka berdua bergegas masuk ke mobil, dengan santainya meninggalkan Abim dan Tika di halaman sebuah rumah yang megah. "La terus, masak gue sama si kaca mata?" bisik Abim tak percaya. Tika berjalan terlebih dahulu, diikuti Abim yang menopang dagunya. "Lewat belakang?" batin Abim bingung tatkala menyadari bahwa Tika terus berjalan ke samping rumah. Abim memperhatikan bagian-bagian rumah dengan seksama, mulai dari pintu depan yang mereka lewati begitu saja, berjalan ke sisi rumah dan melewati kolam ikan dan air mancur mini. Juga, ada dua ayunan di samping pohon beringin yang tingginya melebihi lantai dua. "Sepi?" Bangunan yang begitu luas, akan tetapi begitu sunyi, seolah hanya ada Abim dan Tika saja di sana. Tika menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu coklat tua di bagian belakang rumah, perlahan ia berbalik pada Abim. "Jangan berisik dan jangan bikin berantakan," ujar Tika setengah berbisik. Abim hanya menanggapinya dengan menghela napas berat. Tika membuka pintu dengan amat pelan, seolah tak ingin penghuni rumah mengetahui kedatangan nya. "Kac–" "Shttt!!" Tika menempelkan jari telunjuknya di bibir sambil melotot. Abim mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Tunggu di sini, jangan kelayapan kemana-mana." Abim segera menahan lengan Tika yang hendak pergi. "Gue di tinggal?" rengek Abim. Tika mendecak sebal dibuatnya. "Bentar doang. Gue mau ganti." Tika menekan suaranya, ia tak boleh berisik untuk saat ini. "Ta-tapi ...." "Udah, diem! Nggak usah bikin repot!" Tika langsung melengos pergi tanpa memperdulikan Abim. °°° "Di tinggal ya?" Abim menoleh ke sumber suara, awalnya ia cukup terkejut saat tiba-tiba saja sebuah suara menggema di ruang dengarnya. "Uh ... Kacian, nggak diajak sama mommy." Abim menatap datar pada pemilik suara tersebut. Dua orang perempuan dewasa yang menertawakannya,tawanya cukup menjengkelkan bila didengar. Dilihat dari penampilannya, kelihatanya kedua orang itu wanita karir. "Ck. Patung," sindir salah seorang. "Tuli kali," jawab temanya. "b***h!" gumam Abim. Sebenarnya Abim tak menggumam, hanya "sedikit" memelankan suaranya. Kedua wanita itu langsung menghampiri Abim dengan tampang watados-nya. "HEH! MULUTNYA DIJAGA YA!" sentak salah seorang yang mencengkram kerah kaos Abim, membuat Abim sedikit terkekeh. Suasana cukup bisa dibilang panas, ditambah raut wajah Abim yang memprovokasi "Kak Dian!" teriak Tika. Ketiga orang itu menoleh bersamaan ke arah Tika yang sudah mengenakan pakaian santai. "Gimana sih, tadi katanya nggak boleh ribut." protes Abim dalam hati. "Kak Dian, udah deh," lerai Tika, melepas cekalan Dian dari kaos Abim. "Kak Dea juga, kok malah diem sih?" Perempuan bernama Dea itu hanya mengedikkan bahu tak perduli. "Heh Tik, mulut cowok elo tuh, NGGAK PUNYA ATURAN!" sungut Dian menunjuk d**a Abim sambil menekannya. "Cowok kayak gini aja pakek dibelain," timpal Dea ketus. Tika mendengus kesal dan menatap Abim tajam. "Baru ditinggal bentar aja udah ngerepotin sih!" gerutu Tika dalam hati. Abim yang merasa dipandangi Tika, langsung melempar senyum andalannya. "Udah ah!" putus Tika seraya menarik tangan Abim menjauh. Membawa pemuda itu ke lantai atas, menuju balkon yang tepat di samping kamar Tika yang berhadapan langsung dengan pohon beringin raksasa. "Udah gue bilang nggak usah bikin ribut!" omel Tika berapi-api. Alasanya membawa masuk Abim dari pintu belakang adalah karena Dian, sepupunya itu selalu merecoki hidupnya, apalagi kalau Tika berhubungan dengan cowok. Sudah dipastikan kalau besoknya, kakek dan orang tuanya akan heboh. "Mereka yang mulai," jawab Abim sambil berjalan menuju pembatas balkon. Memandangi pohon beringin yang terkesan wingit baginya. "Kenapa nggak ke kafe, perpus, hotel atau kemana aja sih?" tanya Abim tanpa mengalihkan pandangan. "Kenapa harus di rumah elo?" "Ish, gue juga maunya gitu. Tapi karena si Dewi merengek sambil mewek-mewek, gue ikutin aja ...." Abim langsung tersenyum sumringah. Senyum yang menurut Tika malah menjijikan. "Segitu nge-fans nya Dewi sama gue." Tika mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Udah nggak waras nih orang. "Stop, lupain. Sekarang lo ceritain sama gue, goal Siska kemaren." Abim membalik badanya dan berhadapan langsung dengan Tika. Raut wajah Abim perlahan berubah jadi datar, Tika sesekali menahan ludah dipandangi demikia oleh Abim. Keduanya saling diam. 2 detik .... 6 detik .... 18 detik ... "Ish, cepetan!" sentak Tika tak tahan. "Haus." Abim memelankan suara sambil mengusap tenggorokanya lembut. "Lo nggak mau buatin minum gitu?" Tika mengepalkan tangannya. Tidak tahukah Abim, kalau sedari tadi Tika menahan emosi yang membludak sejak Abim mengejeknya di parkiran sekolah? Rasanya, stok kesabaran Tika makin berkurang jika berurusan dengan Abim. "Tik ... Haus." Abim memanja, membuat Tika tersedak. ARGH! Jerit Tika dalam hati. Di detik berikutnya, Tika beranjak pergi. Ia harus mengalah jika ingin Abim buka mulut. Abim terkekeh geli. "Good girl." krasak! Abim langsung menoleh kearah pohon beringin yang ada di hadapannya. Matanya menyipit, mencoba memperjelas ada apa gerangan dibalik rimbunan dedaunan. Perlahan hawa dingin mulai merambat di sekitar tengkuk pemuda itu, memaksanya mengusap pelan. Telinganya menangkap sebuah suara lirih yang membuatnya beku. M A T I .... Puk! "AAA ... SETAN!" jeritnya kaget dan langsung mendapat gamparan dari Tika. Abim memegangi bibirnya yang panas, mencoba mengaduh walau lirih. "Tuh mulut nggak pernah sekolah apa?" cibir Tika sambil meletakkan segelas air berwarna orange di meja. Bersebelahan dengan beberapa kue kering. "Kaget," cicit Abim lirih. "Lagian ngapain sih dari tadi ngelamun? Gaje bener jadi cowok!" Abim tertawa renyah, membuat Tika mundur perlahan. Dengan satu gerakan, ia meraih gelas dan mencaruk beberapa kue kering. Lalu, mendaratkan pantatnya di lantai. Matanya menerawang gumpalan awan yang semakin banyak dan menghitam pada bagian bawah sana. ia harus mulai bercerita, mengalihkan ingatan buruk yang ia dapat barusan. "Siska," desis Abim setelah menengguk minumannya. "Bisa diposisikan kalau gue suka sama dia." Tika perlahan mendekat dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Abim. "Gue cari akun sosialnya, stalking IG sama tweeter-nya." Tika meraih beberapa kue dan menyuapkan kemulutnya. "Empat hari sebelumnya, gue nggak sengaja ketemu dia di pemakaman Cempaka Putih. Dan lo tau jam berapa itu?" Tika menggeleng pelan. "Jam setengah satu malem," lirih Abim. Tika berusaha menelan ludahnya yang amat susah. "Gue curiga, buat apa seorang cewek ke kuburan di jam yang nggak wajar." Abim menyodorkan gelas kosongnya ke Tika. "Dari situ gue makin penasaran, dibalik kehidupan normalnya. Ternyata Siska suka hal-hal begituan. Nembang malem-malem, makan kembang juga ngambil tanah kuburan." Abim menarik napas panjang, sekedar jeda untuk kisahnya. "Main jailangkung dan bikin tiga buah pocong-pocongan, menyan. Huh ... Banyak banget deh pokoknya. Dan gue tahu karena ngikutin dia selama tiga hari." Abim bangkit, berdiri. Meraup sisa kue kering di piring dan memasukan kemulutnya satu per satu. "Selebihnya gue nggak tahu. Oh satu lagi." Abim berbalik dan mendekatkan mulutnya ketelinga Tika. Gadis berkaca mata yang hendak berdiri itu langsung tegang karena gerakan Abim yang tiba-tiba. Abim membuka mulutnya. "Hati-hati ..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD