Tiga

1071 Words
-Tiga- Abim kembali menguap, entah ini sudah keberapa kalinya. Yang pasti, ia tengah menahan kantuk yang amat sangat. Siang ini, pemuda itu duduk santai di parkiran yang ada di belakang gedung sekolah. Ya, berbeda dengan empat SMA lain yang ada di kota ini. SMA Awan memang mengkhususkan lahan parkir di belakang gedung, dengan penjagaan ketat dari pihak keamanan sekolah. Abim memandangi gerbang yang tengah ramai, terlihat tiga orang kakel —yang Abim kenal—tengah mengerumuni dua orang gadis yang tengah bersandar di pintu mobil berwarna silver. "Ngapain sih?" gerutu Abim yang merasa risih. Tiga orang kakel itu menggoda dengan gaya preman. "Sok bad boy," cibir Abim jengkel. Dari caranya saja sudah membuat Abim jengah, padahal ia hanya menonton, apalagi kalau sampai digituin. "Apaan tuh?" tunjuk Tio yang baru saja datang, ia mengambil posisi duduk di sebelah Abim, seraya ikut menonton tanpa melakukan apapun. "Bim, bukanya itu Tika sama Dewi, ya?" Abim menyipitkan matanya, memperhatikan dengan seksama. "Ah!" Benar yang dikatakan Tio. "Ngapain tuh kaca mata ke sini?" Abim menopang dagu berpikir. "Nyariin- WAH GILA!" Tio menunjuk histeris ke arah gerbang yang mulai ricuh, sambil berdiri secara sepontan. Dengan mudahnya, Tika membanting tiga orang kakel tersebut dan melayangkan satu pukulan untuk masing-masing orang. "Untung kemaren nggak kayak film action." Tio mengusap d**a bersyukur. "Padahal kemaren gue harap drama comedy," imbuh Abim ikut mengusap d**a. Dari kejauhan, Tika memandang datar ke arah Abim dan Tio. Kemudian, tangan kanannya terulur, lalu melambaikannya lembut, menyuruh kedua cowok itu agar segera mendekat. Abim dan Tio saling pandang. Sepakat bahwa mereka harus segera menjauh. Lalu ... Hup! Abim memegangi kerahnya yang tiba-tiba ditarik dari belakang, begitu pula dengan Tio. Tarikan itu begitu kuat dan hampir mencekik mereka. Dengan cekatan, Tio menyikut kebelakang dan mengenai sesuatu. "Anjir, keras banget!!" Mereka berdua terpaksa berdiri, sebab, tarikan itu makin lama makin ke atas, membuat mereka sulit bernapas. Dengan terpaksa, Abim menarik kedua sisi bajunya ke arah kiri dan kanan, melepas paksa kancingnya secara paksa. Dan dengan cepat Abim melepaskan diri dan tersungkur di tanah. Untung ia tak membawa pulang tasnya hari ini. Abim menahan napas saat melihat siapa gerangan yang menarik kerahnya dari belakang. Seorang bertubuh besar dengan tonjolan-tonjolan otot di lengannya. "Ogre!" Pria itu memandang bringas pada Abim yang kini cuma mengenakan kaos oblongnya. "SETAN!" umpat Abim sambil berdiri, dan bersiap menyerang, walau ia tak yakin bisa menang. "Ikut gue." Abim membulatkan mata, lalu membalik badannya. "Kaca mata?" Ingin sekali Tio mendamprat mulut Abim yang tak tahu situasi dan kondisi. Sudah pasti pria yang menarik kerahnya adalah orang suruhan Tika. Tapi, dengan santainya Abim memancing emosi Tika. Bruk! Abim kembali jatuh ke belakang setekah tarikan keras. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, bukan ulah Tika, tapi pria besar itu yang menarik bahu Abim dan menjatuhkannya. Abim bangkit dan mendapati Tio juga tersungkur, membuat Abim mendecak sebal. "Mau lo apa?" tanya Abim dingin, matanya memandang Tika angkuh. "Ikut gue," jawab Tika santai. Abim menaikan satu alisnya. Dewi menepuk keningnya pelan. Satu hal yang ia tahu, Abim tak pernah belajar. "Gue nggak punya urusan sama elo. Dan apapun yang lo mau, jangan harap bakal gue kasih." Abim melengos pergi ke arah Tio yang masih terduduk di tanah. Suasana parkiran jadi kian ramai, Abim menyeringai samar, ia mendapat sebuah ide. "Lakuin yang lu mau, kaca mata!" "Bim!" panggil Dewi. Urusanya bisa panjang kalau ia membiarkan Tika bergerak sendiri. "Please, ikut sama kita. Kemaren lo belum cerita." Abim menghentikan langkahnya, menarik paksa Tio agar berdiri dari lamunannya. "Emang lo berdua mau ngajak gue ke Diskotik mana lagi?" ujar Abim santai namun dengan suara lantang. Tio membuka mulutnya lebar-lebar. "So-sorry, Abim mulutnya keseleo," sergah Tio sambil membekap mulut Abim. Ia memaki Abim dalam hati, bodoh sekali! Abim mencoba mempermalukan Tika dan Dewi dengan dialog yang sok kenal, seolah mereka sering melakukannya. Cara licik yang Abim dapat dari seorang teman yang tak pantas disebut teman. "Maksud-" Tio menghentikan ucapannya. Begitu juga Abim yang berhenti memberontak. Kumpulan senior dan junior juga berhenti dari bisik-bisik mereka. Mereka membisu, menutup mulut  mereka rapat-rapat. "Hiks-Hiks!" Tika mengusap ujung mata sipitnya dari balik kaca mata. Dewi mendekat dan mengusap punggung Tika yang bergetar pelan. "Begok!" Tio menonyor kepala Abim pelan. Abim membuka sedikit mulutnya, merasa bersalah. Ini kali kedua Abim melihat Tika menangis. Dan kali ini, Tika menangis gara-gara ulah jahilnya. "So-sorry," ucap Abim pelan. "Tik, gu-gue cuma bercanda kok." Abim melangkah pelan, mendekati Tika yang masih sesenggukan. Ia bingung, bagaimana cara menenangkan perempuan yang sedang menangis. "O-oke! Gue ikut sama elo. Terserah lo mau bawa gue kemana aja," putus Abim menyerah. "Tapi Tio juga ikut," sambung Abim. "Setan!" umpat Tio. Ia pikir akan selamat, tapi Abim yang menjabat sebagai kawannya akan selalu menyeret Tio dalam setiap masalah. Tika mengangguk pelan sambil sesenggukan. "Bim, elo sama Tio bareng mobil gue aja." Abim mengerutkan dahinya. "Terus motor gue?" Tio mengangguk setuju, karena hari ini ia nebeng pada Abim. "Biar dibawa sama bang mega aja." Dewi menginstruksi "Bang Mega? Sangar-sangar kok namanya Mega?" cibir Abim. Bukankah usulan Dewi sangat tidak efisien? Ingin sekali Abim menolak. Ia kembali menelan penolakannya yang sudah diujung bibir. Abim menghela napas. "Oke deh." Jika saja Tika tak menangis karenanya. Abim pasti akan menolak dengan keras dengan dibumbui sindiran seperti tadi. Ia hanya tak menyangka, orang kasar seperti Tika bisa menangis karena dipermalukan di depan umum dengan cara seperti tadi. ••• Tio semangat dengan ceritanya, Dewi juga terlalu antusias untuk menanggapi sambil mengemudi. Tio memulai aksi PDKT-nya dengan langkah yang tepat. Ia sudah membayangkan kalau adik perempuannya akan sangat bangga kalau ia bisa memperkenalkan Dewi sebagai pacarnya. Di kursi penumpang, Tika masih bungkam sejak masuk ke mobil, di sebelahnya, Abim juga menutup mulutnya rapat-rapat. Canggung, belum pernah ia membuat seorang cewek menangis. "Cengeng banget sih ..." gerutunya. Dan lagi, ia merasa menjadi sebatang obat nyamuk diantara calon pasangan kekasih yang duduk di depan. Abim melirik Tika. "Cih! Udah galak, cengeng!" Tika yang merasa diperhatikan, menoleh. Tatapan mereka beradu. Dan di saat iti, Abim menangkap bayangan samar di sebelah Tika. "Siska?" gumam Abim amat lirih. Abim mengucek-ucek matanya tak percaya, ia berani bersumpah kalau ia melihat sosok Siska di kaca pintu mobil sebelah Tika. "APA!" bentak Tika. "Halusinasi?" Abim mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia sangat berharap kalau tadi cuma sekedar ilusi. Ia tak ingin bertemu dengan Siska dalam wujud seperti itu. Pucat, tatapan kosong, leher yang memerah bekas jeratan tambang. Juga, senyumnya yang membuat Abim tak bisa tidur semalaman. Oh! Dan jangan lupakan lubang sebesar kepalan tangan di kepala bagian samping.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD