Dua

1005 Words
-Dua- Abim mengelus pipi kanan nya yang memerah, membuat Tio terkikik geli melihatnya. Tio dapat membayangkan seberapa perih itu. Ia cukup bersyukur karena tak ikut mengejek Tika dan mendapat hadiah berupa cap lima jari. Mereka ber-empat duduk saling berhadapan di meja bulat di depan kafe. Alasannya sudah jelas, kan? Ada sebuah kejadian yang harus diluruskan oleh Abim, itu juga kalau Abim mau bekerja sama. Dilihat dari keadaan, nampaknya Abim enggan untuk memberi kemudahan pada kedua gadis di hadapannya. "Ini cewek ngapain sih ngeliatin gue mulu?" Abim mendengus, membuang muka ke arah Tio. "Si Dewi cakep juga, lumayan kalau bisa gue gebet." Tio tersenyum simpul, membuang muka ke arah Abim. "Ehm!" Dewi berdehem agak keras, sengaja agar kedua cowok di hadapan nya berhenti melakukan gestur-gestur aneh. Ia sudah cukup malu sejak Tika menampar Abim tadi, banyak saksi mata yang bisa salah paham. Mengingat, Tika adalah orang yang cukup terkenal, tak mungkin kabar miring bisa dihindari begitu saja. "Pertama ..." Dewi berujar. "Kenalin, ini temen gue namanya Kartika Sari. Panggilan nya Tik-" "Nggak tanya!" potong Abim cepat. Brak! Abim dan Tio menegakkan tubuh, kaget. "Udah Tik, sabar. Malu dilihatin orang." Dewi mengelus punggung teman berkacamata nya. Apa yang ia takutkan bisa benar-benar terjadi jika ia tak cukup cekatan dalam mengambil peran. Abim orang yang cukup sulit untuk diajak kompromi, ia punya sikap provokatif dan acuh. Dalam hati, Dewi mengutuk Abim dan menyumpahinya macam-macam. "Gila lo! Lo mau bikin gue bonyok?" bisik Tio menyikut Abim agak keras. Ia takut jika tingkah Abim ini juga berimbas padanya. Ia sedang tak ingin kena pukul. "Ehm, oke ... Kalian bisa panggil dia Tika," imbuh Dewi mencoba merilekskan suasana. Jujur, ia juga terpukul mendapat detail kematian sahabatnya dari orang lain. Apalagi, orang lain itu adalah Abim yang belum genap satu jam ini ia kenal. Dewi sangat penasaran. "Kaca mata," gumam Abim lirih. "Kedua, gue sama Tika cuma pengen tahu soal Siska kok." Abim mengangkat sebelah alisnya, mengejek. "BODOH!" gerutu Dewi dalam hati. Ia sudah berusaha keras membujuk Tika untuk sedikit bersabar. Dan kini, Abim mengacaukan segalanya. "Lakuin apa yang lu mau, Tik," batin Dewi meringis. Ia sudah pasrah dan persetan dengan kabar miring. Ia hanya ingin tahu kronologi kematian sahabatnya. Dan Abim malah mempersulit jalan. Ia tak punya pilihan selain menyerahkan bagian tawar-menawar pada Tika, biar Tika yang meminta dengan caranya. Entah dengan tangan besi atau dengan lidah tajam. Tio terlonjak saat dengan cepat tangan Tika menarik kerah seragam Abim. Tio panik, Dewi sudah pasrah dengan adegan yang akan berlangsung. Tika menajamkan pandangan nya dari balik kaca mata merah modisnya, dan Abim? Abim mencoba tetap tenang, walau jantungnya bergetar. Mencoba bersikap santai dengan wajah datarnya. Sebenarnya ia cukup terkejut, namun ia gengsi untuk menampilkan raut wajah panik. Ia tak ingin kehilangan momen kerennya. "DENGER YA! NGGAK USAH SOK–" "Oke, gue tahu ..." potong Abim, ia melempar senyum ramahnya dan melepas cekalan Tika dengan lembut, dan dengan gerakan tangan yang ia buat-buat. "Lebay!" batin Tio, memutar bola mata jengah. "Intinya kalian penasaran, gimana gue bisa tahu tentang Siska." Abim menyeringai, Tika mengepalkan kedua tangan nya. "Gue nggak bisa cerita banyak. Tapi gue mau nanya dulu sama lo berdua." Abim menautkan kedua tangan nya di atas meja. "Pernah nggak, Siska bawa-bawa dupa, bunga melati, menyan atau apapun yang berbau mistis?" Dewi dan Tika saling pandang. Mereka berdua tahu benda-benda apa yang Abim sebutkan, tapi apa hubungannya dengan Siska? Apa Abim mencoba mengatakan bahwa Siska terlibat dalam praktik perdukunan? Sangat tak masuk akal! "Pernah denger Siska nembang?  Nyanyiin lagu-lagu jawa?" Tio memandang Abim heran. "Ini beneran Abim?" batin Tio setengah tak percaya. Ya, Tio sangat heran. Pasalnya Abim jarang sekali bersikap se serius ini. Kalaupun ini hanya akting, Abim benar-benar mengalami kemajuan yang membuat Tio memberinya applause. Aktingnya kali ini benar-benar natural, mampu mempengaruhi lawan bicara. Ya, jika memang akting ... "Jadi, kalian nggak pernah denger atau nggak pernah tahu?" tebak Abim, Tika dan Dewi mengangguk bersamaan. "Apa hubungannya sih, Bim?" tanya Tio penasaran. Abim menoleh sedikit ke arah temannya. "Apa yang bakal lo pikirin, kalau liat cewek berdiri sendirian di pojok kuburan, TENGAH MALEM?" Abim menegaskan kalimat terakhirnya. Membuat Tika dan Dewi membulatkan mata. Dan di detik itu, suhu mendadak turun drastis, hawanya terasa dingin menusuk kulit. Padahal masih siang dan di luar sedang cerah. Tio menahan napasnya, atmosfernya mendadak berat. Menekan dadanya kuat-kuat. Ia tak yakin jika itu cuma sekedar fenomena biasa. "Gue lihat dia," lirih Abim. Tio meneguk liurnya susah, begitu juga dengan Tika dan Dewi. "Gue lihat hampir semuanya." Tatapan Abim menerawang, mengingat kembali kejadian 48 jam yang lalu. Saat-saat menegangkan yang memicu adrenalinya. Abim tak akan pernah lupa, kental dan bau anyir darah di atas gundukan tanah kering. "A-apa yang lo lihat?" tanya Tika yang sudah tak bisa menahan rasa penasarannya. "Siska. Gue lihat Siska nembang di pemakaman Cempaka Putih." Dewi mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Cempaka Putih?!" batin Dewi tak percaya. "Itu jauh banget dari rumah Siska!" Abim mengangguk, membenarkan pernyataan Tika. "Dan menurut lo, apa yang dipikirin cewek cerdas, juara pararel tiap semester kayak Siska. Ngelakuin hal-hal ganjil, bikin pocong-pocongan, dupa, kembang 7 rupa sama kain kafan?" Tio mengusap tengkuknya, perasaanya tak enak sejak diskusi mereka beranjak ke topik tentang Siska. Berkali-kali Tio menoleh ke belakang, ia merasa seolah ada seseorang di belakang mereka. TIDAK! Lebih tepatnya di belakang Abim, mengawasi dengan niat membunuh yang kuat. Dengan bibir yang senantiasa menampilkan senyum ramah, namun tampak mengerikan di saat yang sama. Dengan garis usia yang terukir sempurna di wajahnya, namun lebih tampak retak bagai cangkang telur. ••• "Yuk pulang," bisik Tio tak tahan. Abim mengangguk dengan senang hati. "Oke, kita lanjutin game konyol itu. Tapi di rumah elo aja." Tio mengangguk setuju. Tio merasa akan sulit tidur malam ini jika sendirian. Abim beranjak mengekori Tio, ia sedikit menoleh ke arah Tika dan Dewi yang masih sibuk dengan pikiran mereka sendiri-sendiri. Abim merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kalung lusuh berbandul keris kecil berwarna perak. Ia memakainya tanpa sepengetahuan Tio yang berjarak tiga langkah di depannya, menghirup udara dalam-dalam, lalu tersenyum kecut, merutuki banyaknya hal yang ia rahasiakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD