DUA PULUH

1126 Words
-20- Kafe Ungu, sebuah kafe yang didesign sedemikian rupa ,mengikuti tren para remaja. Sebuah tempat yang cocok untuk sekedar nongkrong, pacaran atau berbincang-bincang ringan. Dinamakan Ungu karena pemiliknya yang bisa dibilang fanatik akan warna itu. Meski demikian, kafe Ungu tetap ramai pengunjung, apalagi di jam pulang sekolah, seperti saat ini. Dari fasilitas, pelayanan yang baik dan harga yang terjangkau serta lokasi yang strategis, membuat kafe Ungu menjadi tempat peristirahatan sejenak bagi para pengunjung yang didominasi pelajar. Apalagi, kalau musim ujian. Ada beberapa tempat yang paling sering digunakan para pelajar, salah satunya adalah Meja Bundar. Sebuah meja yang berbentuk bundar, ukurannya bervariasi, ada yang besar, kecil dan sedang. Dikelilingi sekitar 6 sampai 8 kursi. Gunanya, memudahkan anak-anak sekolahan untuk kerja kelompok atau hal-hal lain yang berbau pelajaran, setidaknya itu yang dipikirkan si pemilik kafe. Nyatanya ... Meja Bundar hanya jadi tempat diskusi mau hang out kemana lagi, bergosip dan lain sebagainya, pokok hal-hal yang sangat jauh dari buku. Seperti sekarang ini, Meja Bundar yang ditempati Abim; Tio, Nino, Eza, Dewi, Hesti, Utami dan Tika beralih fungsi menjadi meja sidang. Dan parahnya, sidang tersebut merugikan salah satu pihak, yaitu pihak terdakwa yang dipaksa membayar seluruh pesanan dari pihak pendakwa serta ketiga temannya. "Jadi ... Abim ngancem orang buat ngawasin Tika?" Nino, selaku Hakim bersuara. Memastikan kalau ia menyimpulkan seluruh cerita dari Tika dengan benar. Abim sebagai terdakwa diam seribu bahasa, Asri dan Dewi sebagai Saksi saling pandang, Tio sebagai Pengacara Abim menelan ludah berkali-kali. "NGGAK USAH NGELES!" bentak Tika, yang berada diposisi sebagai pendakwa. "Galak banget," bisik Hesti yang berada di antara Utami dan Dewi. "Tapi cengeng," timpal Dewi tak kalah lirih. Anam dan Eza hanya melihat dari jauh, mereka tak ingin terlibat dalam sidang, mereka hanya ingin refreshing, tak kurang dan tak lebih. "Sidang perceraian aja pakek ke kafe, glamour banget tuh bocah," celetuk Eza sambil mengelus d**a. "JAWAB!" sungut Tika berapi-api, ia sudah lupa bagaimana ekspresi Abim saat marah, ia lupa akan aura yang menekan nyalinya kuat-kuat. "Iya," jawab Abim pasrah."Gue emang nyuruh orang buat ngawasin elo," Abim mengaku, kepalanya menunduk dalam, tak ada gunanya juga ia ngeles. "Tapi gue disuruh orang," sambung Abim cepat. Tika mengerutkan dahi. "Siapa?" Abim menghela napas berat. "Kakek elo." Dewi membelalakkan matanya, begitu juga dengan enam orang lainnya. "Bokap elo juga," imbuh Abim, membuat Tika semakin bingung. "Jadi, yang harusnya elo bentak itu mereka." Tika merasa agak takut dengan nada bicara Abim yang tiba-tiba merendah, tapi penuh penekanan, seolah menahan amarah. ~~~ Abim membuka pintu rumahnya dengan malas. Sebenarnya, ia tak ingin pulang untuk saat ini. Apalagi baru pukul lima sore. Biasanya ia akan pulang sekitar pukul dua belas atau pukul satu dini hari. Tapi karena ibu ratu yang memaksa, ia bisa apa? "Rumah elo gak pernah beres, ya?" sindir Tika. "Itu bajunya kenapa di lantai?" gerutunya sambil menunjuk tumpukan kain yang menggunung.."Itu piring belum dicuci juga?" Tika berjalan ke arah tumpukan piring di meja. "Bukunya! ya ampun Abim ... Kalau punya buku tuh diurusin!" Tika beralih merapikan buku-buku pelajaran yang ada di bawah meja, berserakan. "Ini apa lagi sih, lo ngerokok? sampah, plastik, botol! ini rumah apa tempat sampah, HAH?" Abim mengacak rambut, frustasi. Ia menyesal saat menuruti kemauan Tika yang ingin ke rumahnya. Alasannya jelas, apalagi kalau bukan bertemu Eno. Ia ingat saat Tika cekcok dengan kakeknya dan bilang kalau ia tak akan pulang. Sialnya kakek Bondan malah menantang Tika, meremehkan cucu perempuannya. "Abim! ini lo nggak punya sapu apa?" Ingin sekali Abim berteriak lantang, ia tak tahan mendengar teriakan Tika, telinganya panas. Ia menoleh pada Tika yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. "Abim! ini handuk masih basah jangan ditaruh di sini!" Abim masih diam. Tidak bisakah Tika berhenti mengomel sejenak? "Ini panci juga, wajan ... Ish, jorok banget sih!" teriak Tika dari dapur, entah sejak kapan ia ada di sana.."Rumah lo nggak ada yang ngurus apa?" gerutu Tika setelah keluar dari dapur dan mendekati Abim yang mematung tanpa tenaga. "Nggak ada," jawab Abim membuat Tika bungkam, ia lupa kalau Abim sudah tak punya orang tua dan tinggal sendirian. "Ka-kalau mas Eno?" Abim menarik napas panjang. "Gue nggak tahu, dia biasanya kesini tiga minggu sekali, nggak pasti sih, gue gak paham jadwalnya." Tika menggigit bibir kecut, Abim yang menyadari perubahan air muka Tika buru-buru menyahut. "Biasa aja kali, nggak usah nangis, katanya pendekar." °°° Abim menyeka keringat di dahinya, ia tak menyangka kalau membersihkan rumah terasa sangat melelahkan. Padahal rumahnya tak terlalu besar, sederhana tanpa banyak kamar atau sampai bertingkat. Abim melirik Tika yang memunguti pakaian-pakaian kotor yang berserakan di lantai. Tika cuma mengenakan kaos abu-abu tanpa lengan, cardigan hitam yang tadi ia kenakan sudah terlipat manis di atas meja. Abim memperhatikan dengan seksama, cara Tika membawa keranjang, mengambil pakaian dan membereskan buku. "Nggak usah lihat-lihat!" sentak Tika tanpa menoleh. Setelah selesai, Tika berjalan menuju kamar mandi yang ada di sebelah dapur, memasukan pakaian kotor ke dalam mesin cuci dan lekas mencuci piring serta gelas. Ia heran, bisa-bisanya ia beres-beres rumah orang. Ia tak habis pikir, ini hampir gelap dan ia hanya berdua di rumah seorang lelaki. Tika sebenarnya was-was kalau Abim berniat melakukan hal yang tidak-tidak. Walau ia ahli dalam bela diri tapi tetap saja, tenaga wanita bukan apa-apa dibanding tenaga pria. "Hm ... Tika bisa masak gak, ya?" gumam Abim sambil terus memperhatikan punggung Tika yang tengah sibuk dengan piring dan gelas. Meong! Abim langsung terlonjak, bahkan ia hampir jatuh dari duduknya. "Kucing?" ia menatap heran pada gumpalan daging berbulu hitam yang tengah menjilati tangan tanpa mempedulikan si pemilik rumah yang masih diam lantaran bingung. Kucing itu perlahan mengangkat kepalanya, menatap lekat manik mata Abim. "Kalung?" Abim memperhatikan kalung merah yang melingkar di leher. Beragam pertanyaan memenuhi benak Abim. °°° Tika yang baru saja selesai dari pekerjaannya langsung menuju toilet untuk sekedar mencuci muka. "Bim!" panggilnya setelah ke luar dari kamar mandi. "Abim!" panggilnya lagi agak keras. Tika berjalan pelan menuju ruang tengah, ia hanya mendapati ruang itu sudah sepi, sapu yang tadinya Abim pakai kini tergeletak di lantai begitu saja. Walau pekerjaan Abim sudah selesai, Abim seharusnya tak meninggalkan Tika begitu saja. Tak tahukah Abim kalau Tika sebisa mungkin tak menangis? Kejadian baru-baru ini membuatnya gampang takut, apalagi kalau sendirian di rumah. Sialnya malam menjelang tanpa Tika duga, ia terlalu fokus dengan piring, pakaian, handuk basah dan segala t***k-bengek milik Abim. "Bim ..." suara Tika bergetar. Tika boleh seperti macan kalau berhadapan dengan lawan, ia tak akan segan-segan melayangkan pukulan atau tendangan. Tapi kini, ia hanya jadi seekor anak kucing, lawannya tak terlihat dan tak tersentuh. Sebisa mungkin Tika akan menghindar sebelum berhadapan dengan lawan tersebut. "Abim ...." Setetes air matanya luruh, Tika benar-benar takut, ia trauma. Tika terduduk lemas di lantai, sisi paranoid nya bangkit. Ketakutan pada sesuatu yang tak terlihat, rasa takut yang amat-sangat hingga kerap terbawa mimpi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD