SEMBILAN BELAS

1117 Words
-19- Cempaka Putih, pemakaman terbesar di daerah pinggir kota. Walau dibilang pemakaman terbesar, yang namanya kuburan tetaplah kuburan. Sepi dan sunyi, apalagi saat jam digital menunjukan empat buah angka nol, dipisah dengan titik di antara dua nol pertama dan dua titik yang lain. Suasana yang sangat tak mengenakkan, ditambah dengan seorang gadis berambut panjang, rambutnya digerai dan menutupi sebagian wajahnya. Kulitnya putih, lebih condong ke pucat. Mungkin ia sudah tak cocok di sebut dengan orang, karena pada kenyataannya, kakinya tak menapak pada tanah basah. Mungkin juga harus diingatkan lubang besar di kepalanya, lehernya yang memerah bekas jeratan tambang, belatung yang berceceran dan darah merah kehitaman yang mengalir dari lubang di kepalanya yang tadi. Mulutnya sedikit terbuka ... "M A T I . . ." Suaranya seringan angin, lebih seperti bisikan Yang tak bisa didengar. "Jangan macam-macam!" tukas seorang pria patuh baya. "Kembalilah ke alammu," ucapnya pada sosok itu. Ia memperhatikan sekitar tempat sosok itu mengambang, lalu mengangguk-anggukan kepalanya. "Ah! kuburan ilegal," ujarnya pelan, lalu berjalan menjauh."Siapa sih, yang tega membunuh seorang gadis, menguburnya pun tak manusiawi!" gerutunya sambil meraih sekop yang selalu menemaninya. "Huft ... Saya pun juga bukan manusia lagi," sambungnya seraya masuk ke pondok kecil dekat pemakaman. Bisa dibilang, satu-satunya tempat berteduh di sekitar area Cempaka Putih. ~~~ Tika mengedarkan pandanganya ke penjuru rumah sambil mengelus kucing hitam yang ada di gendongannya, seperti bayi. Tika tak bisa tidur, padahal sudah sangat larut. Terlepas dari kejadian di kamarnya beberapa hari lalu, ia memutuskan pindah ke kamar lain yang lebih dekat dengan kamar Dian. "Sepi banget ...." Tika melangkah menuju teras, kerena melihat pintu yang terbuka lebar. Ia berhenti di depan pintu saat mendapati Dian duduk selonjoran di lantai teras. Ada segelas besar teh hangat dan beberapa cemilan. Tika mendekati Dian yang sedang asik memainkan ponselnya . "Nggak dingin apa, malem-malem gini di luar?" tanyanya setelah menyadari kalau pakaian Dian terlalu v****r. Tika ikut duduk di samping Dian. "Anak kecil tidur aja," sahut Dian tanpa menoleh. Tika melirik sekilas, lalu mendumel tak jelas. "Tik, lo ngerasa aneh gak sama kakek?" tanya Dian lirih, memecahkan keheningan di antara mereka. "Ya ... Aneh sih," jawab Tika lirih. Siapa yang tak merasa aneh, saat orang yang divonis lumpuh, tiba-tiba bisa berjalan, bahkan berlari. "Jangan mikir aneh-aneh!" tukas Dian saat melihat Tika yang tengah melamun. "Mending elo tidur, bangun pagi terus sekolah. Udah jam satu, nih!" Dian mengingatkan, tangannya terulur untuk mengelus kucing hitam di gendongan Tika. "Aw!" jeritnya lirih, saat kucing itu tiba-tiba mencakar punggung tangannya. Tika yang baru sadar, langsung menjauhkan kucing itu dari sepupunya. "Gila, kucing lo gak mau banget dipegang orang selain elo." Tika mengingat saat ibu dan kakeknya juga mendapat perlakuan yang sama dari si kucing hitam. "Tau nih!" gerutunya sambil kembali mengelus kucing di tangannya. "Dapet dari mana sih, elo?" Tika mengedikkan bahu, pasalnya kucing itu sudah ada di rumahnya dan terus menempel padanya. "Kak Dian gak tidur?" Dian mengusap darah yang mengalir dengan ujung jemarinya, sambil menggeleng. "Besok gue kuliah siang, gak kayak elo," cibirnya. "Udah, sono tidur. Gue bilangin Abim tau rasa, lo!" lanjutnya, Tika memicingkan matanya. "Apa hubungannya coba?" "Emang lo mau dibentak Abim? Kalau gue sih enggak," jawab Dian santai. "Jangan mulai," geram Tika. "Kalau sampek Abim ngamuk sama elo, gue gak ikutan pokoknya. Mbak Tari sama mas Angga aja gak berani ...." Tika menelan ludah, memang benar yang dikatakan Dian, papa dan mamanya pun mingkem saat Abim meledak-ledak di rumahnya. "Jangan sampek gue aduin elo ke Abim." Tika mendecak dan beranjak pergi, ia sangat tidak suka saat Dian atau mamanya membawa-bawa nama Abim untuk memerintahnya. ~~~ "Sumpah, gue udah gak kerasan di sekolah!" gerutu Dika. "Iya, makin hari makin banyak aja hal yang aneh-aneh," sahut Anam. "Inget, kan? Waktu teror papan tulis seminggu yang lalu?" Eza mengingatkan. "Satu sekolah, bahkan papan tulis yang ada di kantor juga ada!" Tio menyahut, tak kalah antusias. "Tiga hari lalu, juga ada beberapa cewek yang dapet paku sama kembang," Nino ikut bicara, walau ia baru datang. "Beberapa? Berarti ada banyak, donk?" tanya Abim, sambil bergeser ke samping Nino. Pemuda yang tengah menyedot jus-nya itu mengangguk. "Yang Nino denger dari Teteh sih, ada sekitar ..." Nino menghitung dengan kedua tangannya. "Kira-kira 17 sampai 19 cewek." Kelima temannya saling pandang dan saling diam, walaupun suasana kafe tengah ramai pengunjung, tampaknya tak berpengaruh lebih pada suasana hati dan pikiran mereka. "Itupun, belum termasuk Asri sama beberapa anak yang belum kedata," sambung Nino lemah. "Tapi ..." sambung Nino setelah jeda yang agak panjang. Nampaknya, cowok kurus itu punya segudang info untuk teman-temannya. "Bukan cuma SMA Awan yang lagi bau menyan." Nino menelan ludah pahit. "SMA Bintang juga sama." Kelima temannya membelalak, keget dan tak percaya. "Bedanya," sambung Nino cepat. Ia belum selesai membuat teman-temannya senam jantung. "Di sana nggak sampai satu sekolah yang kena dampaknya, cuma beberapa gelintir orang yang ketar-ketir buat sekolah." Nino menarik napas panjang. "Eh, bentar deh," Eza angkat bicara. "Bukanya kita ke sini buat refreshing?" Nino mengangkat kedua alisnya. Benar yang dikatakan Eza, kenapa ia bisa sampai lupa? "Gini nih, main sama sekumpulan jomblo, se kelamin lagi." Anam menyandarkan punggungnya di kursi. "Sorry guys, gue udah nggak jomblo." Dika menepuk d**a, bangga. "Gue juga lagi diorder," timpal Tio, membusungkan d**a angkuh. "Baru juga PDKT, belum tentu juga si Dewi connect," timpal Abim malas, membuat Tio tertohok. "Yang udah punya istri diem aja!" gertak Tio, diiringi tawa renyah teman-temannya. Seragam yang basah oleh keringat tak lantas membuat mereka langsung pulang, mereka malah memilih nongkrong di kafe selama berjam-jam. Abim dan kelima temannya sedikit terkejut, saat tiba-tiba ponselnya berbunyi dengan lantang. Abim mengerutkan dahinya saat mengeja sebuah nama di layar ponselnya. "Ibu ratu galak, siapa Bim?" tanya Nino yang ikut memperhatikan layar. "Gak tahu," jawab Abim singkat dan padat. "Angkat aja, terus di loudspeaker biar kita juga denger," usul Anam. Abim mengangguk, menuruti permintaan Anam. "WOY MONYET s****n!" teriak orang di sebrang sambungan, yang tak lain adalah Tika. "NGAPAIN LO-" "Wow ... Kalem neng," potong Anam. "DIEM LO, ITEM! GUE GAK ADA URUSAN SAMA ELO!" Keenam cowok itu membeku seketika. "Darimana dia tahu kalo gue paling item di sini?" "Sa-santai mbak, kalem donk biar cantiknya gak ilang," bujuk Nino setengah menggoda. "Heh kurus! Mulut lo lemes banget ya, belum pernah digampar apa?" Nino menelan ludah, amarahnya sedikit terpancing. "ABIM!" Bentak Tika. "I-iya, apaan ...." Abim melebarkan matanya saat tanpa sengaja ia melihat Tika yang menatapnya tajam. "Lo liat apaan?" tanya Tio panik, karena Abim yang tiba-tiba saja seperti melihat penampakan. "Tuh," tunjuk Abim, kelima temannya mengikuti arah telunjuknya. "Tika?" gumam Tio tak percaya, apalagi Tika berjalan mendekat ke arah meja mereka diikuti Dewi, Asri dan Hesti. "Mampus," lirih Abim. "Jadi ... Itu istri elo?" tanya Anam, dahinya basah oleh keringat. "Bukan, itu ... Ibu ratu galak!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD