DELAPAN BELAS

1012 Words
-18- Kantin, tempat yang ramai dan berisik. Itupun jika sedang jam istirahat, jam yang paling di tunggu oleh seluruh siswa-siswi, tapi tidak bagi pemuda bernama Rian. Ia berkali-kali menelan ludah saat masuk area kantin, banyak yang menatapnya penuh rasa penasaran dan jijik. Bukan rahasia lagi, jika Rian suka berbicara sendiri, melakukan gestur-gestur aneh dan berbagai hal tak masuk akal lainnya. Rian takut keramaian? Tidak juga, hanya saja mengemban tugas dari Abim memang terasa sangat berat baginya. Ia bingung dengan tugasnya, untuk apa ia disuruh mengawasi Tika? Tika kan salah satu anggota ekskul bela diri, siapa juga yang dengan bodoh macam-macam dengan macan betina berkaca mata? Pria terkuat di sekolah saja tunduk dengan Tika, apalagi seorang kroco seperti dirinya? Tapi berhubung ia sedang diancam, mau tak mau ia harus melakukannya. Rian sengaja duduk tak jauh dari Tika, berjarak dua meja, ia dengan jelas dapat melihat punggung Tika bersama beberapa punggung temannya. Terlihat sama saja, hanya rambut dan bentuk bahu yang membedakan. "Tik, lo main backstreet ya, sama Abim?" tanya Anggun di sela kunyahan baksonya. Tika mendelik. "Topik ini lagi ...." Ia tak habis pikir, kenapa perempuan mudah sekali bergosip, kenapa pula mereka menelan mentah-mentah sebuah berita yang belum pasti benar dan kenapa pula ia yang harus jadi bahan "hibahan" minggu ini? Padahal ada yang lebih menarik dibahas selain kabar percintaannya yang hingga kini tak ketemu pangkal ujungnya, ada yang lebih penting selain cowok aneh dari SMA Awan. Padahal banyak yang tampangnya lebih keren dari Abim, contohnya Bramantyo yang blesteran korea dari SMA Surya, atau siapapun. Tika hanya bosan setiap hari mendengar nama Abim disebut oleh teman-temannya. Beberapa orang di sebelah meja Tika ikut menoleh, memasang telinga dan menyimak, seperti yang Rian lakukan saat ini. "Udah deh, Nggun. Jangan bahas itu lagi, gue udah bilang kalau gue nggak ada apa-apa sama tuh monyet," Tika menjawab tanpa berpaling, membuat beberapa orang semakin menajamkan indera dengar mereka. "Abim tuh tipe cowok posesif ya, Tik?" Kini Dewi ikut bersuara, Tika mengusap dahinya pelan. Sepertinya topik ini tak akan ada habisnya. "Tadi, gue nggak sengaja baca pesan dari Abim. Dia ngancem temen sekelas gue buat ngawasin elo, dia nyuruh lapor segala lagi." Ah, ingin sekali Tika menggebrak meja. "Udah lah, lo pada nggak ada kegiatan lain, apa? Yang lebih bermanfaat daripada ngurusin seekor monyet!" Rian mendengar dengan seksama. "Apa yang harus dilaporin?" Ia bertanya dalam hati. Ia tak bisa membayangkan kalau setiap hari harus melakukan hal seperti ini, mengendap dan menguping setiap gosip perempuan. Membayangkan saja Rian tak mampu. "Tunggu, lo bilang Abim ngancem anak kelas elo?" Dewi mengangguk mantap, namun hatinya ragu untuk mengaku. Tika mengerutkan dahi. "Ngawasin gue?" Dewi kembali mengangguk, kali ini mencoba memantapkan hati. Para pendengar setia semakin penasaran dibuatnya, pasalnya banyak dari mereka yang mengenal atau sekedar tahu siapa itu Abim. "Mungkin, Abim pikir elo bukan tipe cewek setia," timpal Luluk yang sedari tadi diam. Tika mendengus, lalu ia mengedarkan pandangannya, mencari seseorang yang mungkin mengawasinya. "Siapa sih, Wik. Gue penasaran siapa yang diancam." Tika tak henti menoleh ke kiri dan ke kanan. Rian langsung panik dan bergegas pergi, kan gak lucu kalau ia ketahuan di hari pertama. "Ck, ngapain sih tuh monyet!" gerutu Tika, ia lalu mengambil ponselnya yang ia taruh di atas meja, mencari kontak bernama monyet lalu menghubunginya. Setelah tersambung, ia sedikit menjauh dari tempatnya.."Woy, gila lo!" bentaknya, membuat orang di seberang telepon menutup telinga. "So-sorry, ini siapa ya?" Tika membelalak. "Suara cewek?!" "Halo? Kalau cuma iseng gue mati in nih." "Tu-tunggu, lo siapa?" tanya Tika penasaran, nggak mungkin kalau Rika memberinya nomor palsu. "Gue Asri, tapi ini bukan hp gue sih." Tika mengangguk paham, walau tahu orang di seberang tak melihat anggukan Tika. "Terus, yang punya ke mana?" Tika lalu duduk di kursi sebelahnya berdiri tadi. "Maksud gue Abim." ulangnya. "Oh, Abim lagi latihan futsal sama temen-temennya." Tika mengerutkan dahi. "Kok hp nya ada di elo? Ada hubungan apa lo sama dia?" todong Tika setengah membentak, nyali Asri ciut seketika. "Gu-gue cuma temen sebangkunya doang kok, nggak lebih." Asri menjeda, ia takut kalau membuat kesalah pahaman pada hubungan orang lain. "Tadi gue dititipin sama Abim, karena nggak boleh bawa hp pas lagi latihan," terang Asri."Btw, ini siapa, ya? Soalnya nggak ada namanya." Tika berdehem. "Gue majikannya Abim," jawabnya asal, ia bingung harus Menjawab apa, teman? ia tak yakin kalau berteman dengan Abim, apalagi kalau ia menjawab selain itu. "Oh, majikan, ya?" Asri mengangguk. "Emang Abim kerja apaan?" Headshots! Tika diam seribu bahasa. "Ah, i-itu ...." Tika menggigit bibir, otaknya buntu. Ia menyalahkan mulutnya yang asal ceplos. "L-lo kepo banget, ya, sama Abim. Lo suka, kan, sama dia?" tanya Tika mengalihkan pembicaraan. "Ha?! Nggak kok, gue cuma penasaran, soalnya Abim keliatan misterius banget, apalagi gue, kan, anak baru," jelas Asri seraya duduk di kursinya, membuka bungkus roti dan mengeluarkan air mineral yang telah ia beli tadi. "Misterius, maksud lo?" Tika beranjak menuju kelasnya, setelah menerima uang kembalian dari Anggun. "Pertama kali gue liat Abim, dia pakek kalung." Tika kembali menggigit bibir, ia tahu seperti apa kalung yang dimaksud Asri. "Terus gue bilang, kalungnya bagus." Asri menggigit rotinya sedikit. "Eh, dianya malah melototin gue, gue bergidik, serem banget mukanya, sumpah!" Tika berbelok ke arah kelasnya, masih dengan hp yang setia menempel di telinga kirinya. "Gue takut banget, masak di hari pertama udah punya musuh, temen sebangku lagi." Tika berjalan tanpa menoleh, melewati beberapa ruang kelas. "Otomatis, gue minta maaf, dan anehnya ... Dia bilang jangan pikirin yang tadi, habis itu sikapnya biasa banget, kayak gak pernah ada apa-apa." Asri membuka tutup air mineralnya dengan satu tangan, lalu menenggaknya. "Hm, bener-bener aneh tuh bocah. Gue ingetin, jangan sekali-kali lo nyindir kalungnya jelek." Tika melangkah masuk ke kelasnya yang agak sepi. Wajar, masih jam istirahat. "Kenapa emang?" tanya Asri penasaran, sambil meremas bungkus rotinya. "Temen gue pernah dihajar cuma gara-gara jelek-jelekin kalungnya." Tika mendudukkan pantatnya di kursi dan merapikan anak rambutnya yang sedikit berantakan. Dan bla bla bla ... Kedua mahkluk berkacamata itu berbincang dengan heboh, saling tukar kontak, berkenalan dan janjian akan bertemu untuk menghabiskan waktu. Setelah sambungan tertutup, Asri memberi nama pada kontak Tika. Jari-jarinya mengetik dengan lincah. "IBU RATU GALAK!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD