TUJUH BELAS

1222 Words
-17- Kamis pagi di awal bulan April, bulan kemarau yang paling dibenci Tika. Panas dan bisa membuat kulitnya gosong. Walau bergelar pendekar berkacamata-kata Abim-Tika tetaplah seorang perempuan yang harus menomor satukan perawatan tubuh, kulit putihnya adalah salah satu aset berharga baginya. Banyak orang bilang kalau Tika itu kayak chinese, karena matanya yang terbilang sipit dan kulitnya yang putih s**u. Apalagi ada dua tonjolan besar nan bulat di dadanya, membuat banyak pria melirik. Tika tahu itu, makanya ia jadi benci jika didekati laki-laki. Malah pernah ada yang bilang kalau Tika seperti "milf" begitu menggiurkan, dan jangan tanya bagaimana nasib manusia yang mengatakannya. "Hari ini ada latihan nggak, Tik?" tanya Eka seraya meletakan tasnya dan mendekati Tika yang tengah sibuk dengan bukunya. "Nggak ada, tapi nggak tahu deh Edo, dia kan cowok plin-plan." Eka mengangguk setuju. "Bener tuh, kalau Abim plin-plan nggak?" godanya dan dihadiahi tatapan tajam Tika. Gara-gara Eka, satu sekolah mengira ia dan Abim ada something. Ya ... Setidaknya Tika bisa terbebas dari gangguan Raka untuk sementara waktu. "Eh, gue denger Raka bonyok gara-gara ... Abim?" Tika terlonjak kaget, lalu segera menoleh pada Eka. "De-denger dari mana lo?" "Tadi gue denger dari anak kelas 10, kakak kelas juga ada beberapa yang ngomongin sih." Tika tak habis pikir, bagaimana mungkin berita itu bisa menyebar secepat ini? "Yakin deh, kalau gue jadi Abim, gue juga bakal habisin tuh cowok. Nggak tahu apa kalau udah ada yang punya? Masih aja ngejar-ngejar. Dasar pebinor!" dumel Eka dengan satu tarikan napas. Tika masih diam, mencoba untuk tak mendengar dan mengingat. Hanya ia dan Dian yang tahu kalau Abim sampai memukul wajah anak orang hanya gara-gara sebuah kalung berbandul keris berwarna perak. Harganya terlalu mahal, tak sebanding dengan resiko berurusan dengan Raka. Kalau tak salah ingat, Tika sempat mendengar saat Abim mengancam Raka dengan sorot yang siapapun akan mengatakan hal yang sama ... Mengerikan! "Eh, Tik. Lo sama Abim masih punya utang sama Dion." Tika menoleh bingung. "Utang?" tanyanya ragu. "Ho oh, lo lupa? Waktu itu lo sama Abim makan di warung lesehan pak Eko. Semeja sama gue dan Dion." Tika mengingat, kemudian bibirnya membentuk huruf O. "Sorry, sorry. Ntar gue bayar deh." Eka mengangguk. "Harus!" ~`~ Rian menatap layar ponselnya yang bergetar di atas meja, nomor baru tanpa nama. Rian ragu untuk mengangkatnya karena tangannya yang tak henti gemetar. "Nggak diangkat?" tanya Disya yang duduk tepat di depan Rian. "I-iya, ini lagi mau diangkat." Dengan ragu, Rian mengangkat ponselnya dengan keringat yang membanjir. Tangannya juga bergetar hebat tanpa sebab, Rian sendiri juga bingung. "JANGAN DIANGKAT!" Rian kembali meletakan ponselnya dengan panik, hingga getarnya berhenti. Keringatnya bercucuran dari dahi, mengucur dan jatuh bebas. "Sen-sensasi ini?!" Rian tahu, ia kenal dengan sensasi yang menyesakkan dadanya, rasa takut yang tiba-tiba menjalari tulang punggungnya. Perasaan yang hanya ditimbulkan oleh orang-orang tertentu. "PASTI DIA!" "Ma-maksudmu ... Orang itu?" Tiba-tiba ponselnya menyala, menampilkan sebuah pesan masuk dari nomor yang tadi. Rian beku, wajahnya pias dan rasanya ia ingin pingsan saja. "Rian, lo gak papa kan?" tanya Dewi yang baru datang, sedikitnya ia khawatir akan wajah pucat Rian. Rian menggeleng pelan. Dewi mendekat dan menatap ponsel Rian, ada sebuah pesan yang belum dibuka. Dengan iseng, Dewi menggeser layar yang tak dikunci itu dan membuka pesan. Dewi menautkan alisnya saat membaca baris pertama. "Rian Hanafi, gue tahu rumah elo, keluarga dan segala hal tentang elo. Kontak, sosmed juga ID line elo. Gue tahu lo gak bakal angkat telepon dari gue. Gue punya perintah buat lo, awasi terus Tika, laporin semuanya sama gue. Dan satu lagi, jangan harap lo lepas dari gue!" Rian hampir pingsan saat Dewi membacakannya. Tidakkah ia bisa bersekolah dengan tenang? Dewi menelan ludah."Benar-benar pesan ancaman." "JADI, KITA TURUTI?" "Ma-mau bagaimana lagi?" Rian mengepalkan tangannya, ia benci keadaan seperti ini, dimana ia hanya bisa diam menurut tanpa perlawanan berarti. ~~~ "Udah? Gitu doang?" tanya Abim pada Rizal yang duduk di depannya sambil menghadap Abim. Abim memandangi ponselnya yang ada di tangan Rizal, sedikitnya tak rela jika Rizal macam-macam, walau dia sendiri yang meminta bantuan padanya. "Kalau dia tadi nggak angkat telpon elo gara-gara takut, berarti chat kayak gini bakalan ampuh buat nundukin dia." Abim menopang dagu. "Tapi gue gak yakin kalau dia beneran takut sama gue." Rizal mendongak saat Asri datang dan duduk di samping Abim. "Gini aja, kita tulis kalimat terakhir yang drama banget," ucapnya sambil kembali menekuni ponsel Abim. "Nih gini, jangan harap lo bisa lepas dari gue!" ucapnya bangga seraya memperlihatkan layar pada Abim. "Kalian mau neror orang?" tanya Asri yang tak sengaja membaca pesan itu. "Enggak lah, mana ada cowok baik kayak gue bully atau neror orang," bela Rizal. "Noh, Abim. Mentang-mentang udah punya pac-" "Bukan pacar gue!" potong Abim cepat. "Terserah, lagian lu gak kasian apa sama ... Siapa tuh?" "Rian," sahut Abim. "Nah, Rian. Lo nggak kasian apa sama dia?" Rizal menyerahkan kembali ponsel hitam di tangannya pada si pemilik. "Enggak," jawab Abim enteng. Jawaban yang sudah bisa ditebak oleh Rizal. Asri yang sedari tadi hanya mendengar, kini menoleh pada Abim pelan dan sedikit ternganga. Memang, Asri beberapa kali mendapat peringatan, untuk tak macam-macam pada Abim, demi kebaikannya sendiri. "Benar-benar tak punya hati." Asri meletakan tasnya, lalu dengan tiba-tiba Abim merebut tas tersebut, Asri dan Rizal menegakkan tubuh lantaran kaget. "Lo bawa kembang?!" tanya Abim sedikit membentak. Asri menautkan kedua alisnya, bingung dengan maksud Abim. "Kembang?" cicit Asri. "Zal, lo gak nyium bau kembang?" Rizal membungkuk dan mengendus tas Asri. "Iya juga sih, tapi baunya samar banget. Kayaknya bukan kembang doang deh," jawabnya sambil menegakkan tubuh. "Kayak ... Udah ah, buka aja daripada tebak-tebakkan." Abim mengangguk, lalu membuka tas Asri perlahan. Deg! Mereka bertiga menganga bersamaan. "Pa-paku?" gumam Rizal tak yakin. "Rambut?" bingung Abim seraya menarik gulungan rambut putih yang sekilas mirip benang yang ruwet. "Melati?" Asri mengeluarkan kumpulan melati dari dalam tasnya. "Lo ...." Rizal bingung ingin berkata apa. Ia tak tahu harus menggunakan susunan kata yang bagaimana. "Lo dapet ini dari mana?" tanya Abim tanpa memalingkan pandangannya. "Gu-gue nggak tahu," jawab Asri bingung, membuat Abim dan Rizal juga bingung. "Mending kita buang dulu, bentar lagi masuk," usul Rizal yang diangguki Asri. °°° "Jadi, kita mulai dari mana?" tanya Tio pada Abim, Asri dan Rizal. Setelah bel istirahat berbunyi, Abim menyuruh Tio ke kelasnya dengan iming-iming semangkok bakso. "Coba lo ceritain, ada kejadian apa aja selama lo berangkat tadi." Rizal bersuara, Asri mengangguk lalu mengambil napas dalam. "Gini, biasanya gue berangkat dianterin bokap naik mobil, tapi pagi ini bokap gue mendadak sakit. Dan ya ... Gue naik grab aja. Sebelum abang grab dateng, ada kakek-kakek yang nyamperin gue di depan rumah." Abim menopang dagunya. "Kakek-kakek?" Asri mengangguk pasti. "Kakek itu nanya ke gue, kenal Banu?" Abim terhenyak, ia membulatkan matanya. "Secara, gue kan orang baru di daerah itu, jadi gue jawab gak kenal. Kakek itu malah senyum terus pergi gitu aja." Abim menelan ludah susah, firasatnya mengatakan akan ada hal buruk. "Aneh juga sih itu kakek, pakaiannya kuno banget." Abim semakin merasa tak tenang, perkataan Asri mengingatkannya akan sosok yang selalu menunggunya di alam mimpi. "Kakeknya pakek belangkon cokelat?" tanya Abim hati-hati. "Ah, iya!" Jawab Asri antusias. Ia sedikit mengingat saat Abim memberinya clue. "Pakek satu anting di telinga kiri doang?" Asri kembali mengangguk, kali ini agak ragu. "Lo kenal, Bim?" tanya Tio, bagaimana mungkin Abim mengetahuinya. "Enggak," jawab Abim singkat dan malah menimbulkan kecurigaan bagi Rizal. Kecurigaan yang berlarut dan menimbulkan masalah besar bagi mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD