ENAM BELAS

1232 Words
-16- "Kaca mata, berat nih!" Tika masih berjalan dengan santai, diikuti Abim yang menggerutu dan mengeluh sambil menenteng kantung belanjaan Tika. "Apaan sih isinya?" Tika berhenti di ruang keluarga dan segera menyuruh Abim meletakkan belanjanya di sofa, Abim menurutinya dengan tak ikhlas sambil mendumel tak jelas. Tika memperhatikan Abim, lalu mengulum senyum. Benar yang dikatakan Rika, Abim tipe cowok yang nurut pada cewek. Apalagi kalau cewek tersebut pernah menangis karenanya, Abim pasti menurut. "Apa aja yang Teteh bilang sama elo?" Abim bertanya sembari duduk di sofa, menyelonjorkan kakinya yang terasa pegal. "Banyak, jadi lo jangan macem-macem sama gue!" ancam Tika, Abim mendengus. "Lama-lama kayak Teteh, deh elo." Abim merebahkan tubuh, mengistirahatkan punggungnya yang seharian ini tegang. "Kalem di luar, dalemnya kayak singa– ARGH! IYA, AMPUN TIKA!" Abim menjerit, lalu mengusap telinganya yang memerah. "TURUNIN KAKI ELO, BELANJAAN GUE RUSAK DODOL!" teriak Tika karena Abim berbaring dengan menindihkan kakinya di atas belanjaan Tika. Dian dan tante Tari berjalan pelan menuju ruang tengah, telinga mereka menangkap suara teriakan yang tak asing. Dan alangkah terkejutnya mereka melihat Abim yang dijewer dengan gemas oleh Tika. Dian dan tante Tari saling pandang, kemana perginya aura milik Abim kemarin? Padahal Dian sangat yakin kalau Abim tak akan mau menginjakan kakinya di sini lagi. Jujur, sebenarnya Dian sedikit merasa takut pada Abim. "Ehm!" tante Tari berdehem agak keras, Tika langsung melepas kedua tangannya dari kedua telinga Abim yang merah padam. "Tika, nggak boleh gitu. Nggak baik kalau cewek main tangan, kasian Abim, kan?" ujar mamanya. Tante Tari menatap iba pada Abim, padahal pemuda itu tak mempunyai hubungan serius dengan putrinya, tapi harus mendapat perlakuan seperti itu. Debenarnya tante Tari takut sewaktu-waktu Abim mengamuk, waktu itu saja ia bungkam mendengar bentakan Abim. "Terus aja belain Abim," rajuk Tika sambil mengambil kantung-kantung belanjaannya yang berserakan. Abim mendecak, ia tak tahu kenapa Rika menyuruhnya ke sini, apakah cuma iseng? Atau ... Untuk jadi samsak tinju Tika? "Bim, lo ditungguin kakek tuh di kamarnya," ucap Dian, ia baru ingat kalau tadi kakeknya memaksa menghubungi Tika untuk membawa Abim. "Ck, bilang dari tadi," gumam Abim seraya beranjak dan mengusap kedua telinganya. Awas aja kalau tidak ada hal penting! °°° "Masuk," seru suara dari dalam kamar, membuat Abim membulatkan mata penuh. Ia bertanya-tanya, darimana si pemilik kamar tahu? Bahkan Abim belum mengetuk pintu. Dengan ragu, Abim memutar kenop pelan, lalu masuk ke dalam dan menutup pintu tanpa suara. Abim bersandar pada pintu, di hadapannya ada seorang kakek yang ia tahu bernama Bondan. "Selamat datang, Banu ...." Abim masih bergeming, ia memperhatikan kakek Bondan yang senantiasa duduk di kursi rodanya. "Sekali lagi," ucap Abim penuh penekanan. "Aku bukan Banu!" sambung Abim penuh penegasan. Kakek Bondan tertawa renyah, tawa yang menurut Abim amat menjengkelkan. Abim memejamkan matanya, lalu ... Brak! Abim tertahan dan bahunya membentur pintu saat ingin melesat dan memberi sedikit pelajaran pada kakek Bondan. Ia membelalakkan matanya saat menyadari bahwa kakek Bondan lah yang membenturkannya. Kakek Bondan menahan leher Abim dengan lengan kanannya, lalu tangan kirinya menarik kalung Abim hingga putus. Abim tak bisa bicara lantaran kaget, ia terlalu bingung dengan keadaannya sendiri. "Si Tua ini bisa berdiri?! Lalu, untuk apa ia duduk di kursi roda selama ini?" Abim sangat tak mengerti, dan lagi, tenaga orang tua ini sangat gila. Abim tak bisa berhenti memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja terjadi dalam keadaan dan posisi seperti ini. "Ini ..." ucap kakek Bondan menggantung, sambil menggerak-gerakan kalung itu di depan wajah Abim. "Kalau bukan milik Banu, lalu milik siapa?" Abim mengeraskan rahangnya, ia selalu merasa marah saat seseorang membicarakan atau menanyakan perihal kalung itu, apalagi saat orang lain menyentuhnya. Untuk sekarang, Abim berusaha untuk tetap tenang. "Saya ingat, Banu pernah memakainya." "Ah, persetan dengan kesabaran!" umpat Abim dalam hati. "Memangnya penting? Kalau iya kenapa, kalau tidak juga kenapa?" Abim menyingkirkan lengan kakek Bondan dengan kasar, lalu menatap nanar pada orang tua di depannya. "Jangan sentuh kalung ini dengan tangan keriput dan bau tanahmu!" gertak Abim dengan menekan setiap kalimatnya. Abim tak perduli, ia sangat merasa marah. Ia lalu merebut kalung itu dengan cepat, membuat kakek Bondan terdiam cukup lama. Kakek Bondan tersenyum samar. "Banu, bahkan tingkah kalian sama." ~~~ "Romantis banget," sindir Dian yang berdiri di ambang pintu bersama tante Tari, Tika menoleh sekilas, lalu kembali meneruskan kegiatannya. Mengeluarkan belanjaannya yang terdiri dari berbagai macam aksesoris dan beberapa potong pakaian, menjejerkan ya di ranjang, mengamati dan memadukan atasan dan bawahan. "Please, jangan mulai deh," ucap Tika tanpa berpaling. "Mama juga, jangan percaya mulu sama Kak Dian, sekali-kali percaya sama anak sendiri," lanjutnya. "Tika, Mama percaya kok." "Iya, Mama percayanya sama Kak Dian," interupsinya. "Jangan ngambek mulu ih, entar keriput baru tahu rasa." Mamanya mengingatkan dengan sedikit candaan yang tak lucu sama sekali. "Keriputan, ntar Abim gak cinta lho ...." sahut Dian sambil berlari kebluar, khawatir kalau benda-benda padat di sekitar Tika melayang ke arahnya. "Ih, ngeselin banget!" omel Tika, tante Tari tersenyum sambil geleng-geleng kepala. "Tik, ada tamu nih!" teriak Dian dari bawah. "Nyariin elo, temen sekolah katanya!" Tika beranjak turun dari ranjangnya sambil berpikir, siapa yang malam-malam begini mengunjunginya? "Dewi kah?" Tika bermonolog, ia tak akan tahu sebelum bertemu dengan tamu tersebut. °°° "Raka?" Raka lalu berdiri dari duduknya saat Tika datang, ia melempar senyum terbaiknya. "Ngapain lo ke sini?" Raka tersenyum kaku, Tika tak pernah lelah bersikap dingin padanya, tapi ia akan tetap semangat dalam mengejar Tika. Setidaknya dengan memperlihatkan keseriusannya, Tika akan memberi kesempatan. Ya, Raka harap begitu. "Ehm, gimana ya ... Gue—" "Kaca mata!" potong Abim yang datang dengan mendorong kursi roda milik Kakek Bondan, namun hanya kursi roda saja tanpa penumpang. Dian dan Tika membelalak kaget, Raka juga tak kalah kaget saat ada seorang cowok di rumah Tika. Raka ingat pernah bertemu dengan Abim tanpa berkenalan waktu itu, ia sudah positif thinking kalau Abim dan Tika cuma sepupu. Tapi, belakangan ini nama Abim tengah santer bersanding dengan nama Tika. "Ngapain sih bawa-bawa kursi roda, Kakek mana?!" omel Tika. "Tuh, di dalem. Udah gak butuh katanya," ucap Abim santai, ia lalu menoleh pada Raka yang sempat terlupakan. "Oh, lagi ngapel, ya? padahal bukan malem minggu," sindir Abim. "Lo siapa?" tanya Raka sengit sambil mendekati Abim. "Gue Abim, gue inget kita pernah ketemu sih," jawab Abim santai. Tanpa ia sadari, Raka tersulut oleh candaan ringannya. "Lo cowok, kan? Ngapain lo sok-sok an pakek kalung? Kenapa gak pakek anting sama rok sekalian? Kalung terjelek yang pernah gue liat, gak berduit banget sih lo!" Habis sudah, Dian merasakan jika aura di sekitar Abim berubah jadi kelam. Abim mengepalkan tangannya lalu menarik kerah Raka. "Ulangi lagi," ucap Abim dingin. Abim menstap Raka penuh keangkuhan, awalanya Raka sempat kaget, namun ia tepis rasa kaget itu seketika. Raka ingin tahu, apakah Abim mampu menandinginya. Ia berjanji akan menghabisi Abim di lain waktu. "Kalung je-" Bugh! Abim menarik Raka dan membenturkan dahinya ke hidung Raka. Darah segar mengalir dari hidung mancung Raka, ia menyekanya dengan sedikit gemetar, ia merasa ketakutan, perasaan yang selama ini tak pernah mampir di hatinya. "Sekali lagi gue liat elo," ucap Abim penuh penekanan. "Gak bakal gua lepasin!" ancamnya, nyali Raka ciut seketika, ia menelan ludah berkali-kali. Tika dan Dian hanya terdiam tanpa bisa melakukan apa-apa. Raka gemetar ketakutan, bagai kelinci di hadapan singa, Raka bahkan lupa menarik napas untuk beberapa saat. Seolah bukan Abim yang ada di hadapannya, tapi sosok lain, sosok yang pernah murka beberapa waktu lalu di rumah yang sama. Tika tahu satu hal, Abim begitu mengintimidasi hanya dengan tatapan, dengusan ringan dan gemertak giginya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD