LIMA BELAS

1497 Words
-15- Kota Bayan, kota besar dengan lebih dari satu SMA favorit. Setidaknya ada lima SMA dalam satu kota tersebut. Kita mulai dari SMA Bulan, SMA favorit nomor wahid dengan fasilitas yang memadai. Tenaga pengajar profesional, serta peraturan ketat yang menitik beratkan kedisiplinan per individu. Tentunya hanya anak konglomerat atau siswa berprestasi yang bisa masuk ke SMA tersebut. Di posisi berikutnya, diisi oleh SMA Bintang dan Langit. Kedua SMA tersebut adalah rival dari tahun ke tahun. Saling berebut gelar menjadi yang terbaik "ke dua" setelah SMA Bulan. Bahkan, dikabarkan kalau kepala sekolah dari dua SMA tersebut saling memperebutkan satu wanita yang sama. Diikuti SMA Awan, SMA yang terkenal kelonggaran dalam peraturan. Tetapi, tetap menerapkan sistem belajar mengajar yang sesuai prosedur. Hanya memberi sedikit ruang gerak bagi siswa/i agar tak terlalu merasa tercekik dengan yang namanya peraturan. Diposisi terakhir, ada SMA Surya yang menempati. Berbanding dengan SMA Bulan, SMA Surya terkenal dengan peraturannya yang super longgar, dikarenakan siswa-siswi di sana yang terbilang badung dan berjiwa rebel. SMA biasa dengan berjuta drama, mulai dari pemilik sekolah yang mana juga seorang pengusaha nomor satu di kota, tetapi mengalami keretakan dalam keluarganya. Untuk sekarang, mari kita menilik SMA Awan. Tepatnya di kelas 11 IPS 4, ada Abim dan Nino-juga kelima anak lain-yang berdiri berdampingan. Hanya ada tujuh anak di dalam kelas, wajar karena ini masih terlalu pagi untuk berangkat sekolah. Mereka bertujuh-yang semuanya berjenis kelamin laki-laki, berdiri di depan kelas, menatap ngeri papan tulis putih yang terpajang dengan gagah. Mereka sudah biasa menatap papan tulis itu, hal yang baru bagi mereka adalah apa yang tertulis di sana. Hanya dua kata! Ditulis dengan ukuran besar, memanjang dari atas hingga bawah. Tulisan berwarna merah pekat, berbau anyir dan jauh dari kata rapih, mirip coretan asal. Tetapi, siapapun yang melihatnya pasti bisa membacanya. "K AL I A N M A T I !" Eja Diki yang berdiri di sebelah Nino. Mereka menelan ludah bersamaan, terkejut 'pun bersamaan, padahal hanya nada dering dari ponsel Eza. "So-so-sorry guys," ucap Eza sambil menempelkan ponsel silver itu ke telinga. Eza mengangkat alisnya tinggi-tinggi, membuka mulut lebar-lebar dan ponselnya jatuh terlantar, karena si pemilik terlalu shock dengan berita yang baru ia dengar. "Guys," ucap Eza pelan. "Bu ... Bukan cuma kelas kita yang dapet beginian," ujarnya berat. Eza bingung, antara memungut hp nya atau memberi tahu teman-temannya. "Semua kelas juga dapat!" sambungnya lagi dengan nada amat lirih hingga hampir tak terdengar. Tak ada yang bersuara setelah itu, mereka terlalu panik, takut, khawatir dan juga ... Penasaran. ~~~ "Tika!" panggil seseorang dengan suara manja. Tika yang sedang berjalan sendiri di koridor 'pun berbalik, lalu mata sipitnya membulat. "Kak Rika?" ujarnya tak percaya, untuk apa Rika datang menemuinya? Bukankah Rika masih ada pelajaran? Dan lagi ... Rika ada di area sekolahnya?! Sikapnya sungguh biasa, seolah ia adalah salah satu siswi di sana. "Panggil Teteh aja, kayak yang lain," ujar Rika sambil memegang kedua bahu Tika. "Kak- eh. Teteh lagi ngapain? Bukanya Teteh masih ada kelas?" Rika memiringkan kepala sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Oh, Tika iri akan sikap manis Rika. Andai, itulah yang sering Tika batin jika berhadapan dengan Rika. "Enggak, sekolah Teteh pulang cepet hari ini." Rika menarik Tika menuju kantin, Rika memang sudah paham seluk-beluk sekolah ini. "Ada accident kecil di sekolah," terangnya lagi, Tika mengangguk mengerti. "Te-terus tujuan Teteh ke sini?" Rika mengulum senyum. "Mau nemuin kamu." Tika terhenyak. "Ma-maksud Teteh?" Rika tersenyum, kunci untuk mendapatkan Eno adalah Abim. Sebelum-sebelumnya, Rika terlalu bodoh untuk mencari kunci tanpa bertanya pada bertanya pada si pemilik kunci. Dan kini, si juru kunci yang ia maksud telah duduk manis di sampingnya, ia tak sabar menanti Eno jatuh ke pelukannya. Tika mengerutkan dahi, mendapati Rika yang tengah tersenyum sendiri. Kadang, senyum menawan itu berubah drastis menjadi seringai mengerikan. "Teteh cuma mau ngobrol kok," ucap Rika setelah selesai berfantasi. "Lagian, kelas kamu entar juga free ...." Tika menautkan alisnya, darimana Rika yakin kalau kelasnya bakalan free setelah istirahat ini? "Kamu kelas 11 ipa 3, kan?" Tika mengangguk membenarkan. "Habis istirahat ini pelajaran bahasa, kan?" Tika kembali mengangguk, tentu ia bingung dengan pengetahuan Rika. "Lihat aja, menurut penerawangan Teteh, pak Enggar gak masuk karena ibunya masuk rumah sakit," sambung Rika mantap. "Yang bener, Teh?" Rika mengangguk yakin. "Percaya sama penerawangan Teteh." Padahal, Rika tak sengaja mendengar pak Enggar yang tengah ijin pada kepala sekolah saat mencari Tika tadi. Soal pak Enggar dan kepsek, Rika sangat tahu wajah-wajah dan nama para pengajar di SMA Bintang, bahkan ia punya data dari para pengajar dari tiga SMA lain di sakunya. "Pulang sekolah ada acara enggak?" Tika menggigit bibir, mencoba mengingat jadwalnya. "Mm ... Kayaknya nggak ada deh, emang kenapa, Teh?" Rika menjetikan jari. "Ikut Teteh, kita girls time. Jalan-jalan, shoping, pokok semuanya. Entar Teteh jemput. Oh, ajak Dewi juga, ya. Sekalian Teteh mau kenalan." Tika mengangguk setuju, ia juga harus refreshing. "Teh." Panggil Tika, ia menyadari sesuatu. "Teteh tahu rumah aku?" bahkan tadi, kalau Tika tak salah dengar, Rika juga menyebut nama Dewi. Padahal seingat Tika, Rika belum bertemu atau mendengar tentang Dewi dari mulutnya. "Tahu donk," jawab Rika sambil berdiri. "Teteh juga tahu rumah Dewi," sambungnya, lalu berjalan menjauh seraya melambaikan tangan pada Tika. °°° "Capek, Teh," tukas Dewi seraya duduk bersandar di kursi kafe, Rika mengangguk setuju. "Iya, dari jam dua sampai ... Wah! Udah jam setengah enam?! pantes aja capek," kekehnya. Tika menyeka sedikit keringat di dahinya, tiba-tiba ponselnya berdering, Tika mengerutkan dahi saat membaca nama yang tertera di layar. "Ngapain kak Dian telfon?" "Halo," ucap Tika pelan. Rika dan Dewi menghentikan aktivitas mereka sejenak saat pelayan datang membawa pesanan yang lumayan banyak, Dewi tak habis pikir dengan pesanan Rika. "Ini ... Teteh semua yang makan?" Rika mengangguk. "Nasi goreng jeroan double porsi?" Rika kembali mengangguk. "Te-terus capcainya?" "Punya gue," sahut Tika, masih dengan ponsel yang menempel di telinga. "Eh, burger juga?" "Iya, kenapa emang? kamu juga mau?" tawar Rika, Dewi menggeleng pelan. "Teteh nggak takut ... Gemuk?" samar-samar Dewi mendengar Tika menggerutu dan mengeluh pada si penelpon. "Hahahaha." Rika tertawa renyah. "I am wonder girl, kuat makan dan gak gampang gendut." Dewi menghela napas lemas, ia iri dengan Rika, tetap langsing tanpa diet yang menyiksa. Andai, itulah yang sering dibatin Dewi jika berada di sekitar Rika. "Siapa, Tik?" tanya Dewi setelah Tika meletakan kembali ponselnya. "Kak Dian, tapi tadi kakek yang ngomong," jawab Tika lemah. Di mata Dewi, Tika terlihat seperti baru saja kalah dalam lomba karate. "Terus, kok kamu lesu sih?" tanya Rika penasaran. "Kakek nyuruh supaya nanti Abim diajak ke rumah," terangnya lemas, Rika membulatkan mata. Rencana yang belum ia susun sudah berjalan, pikirnya. "Masalahnya ..." Tika menjeda. "A-Abim kayaknya udah gak pengen ke rumah aku lagi deh. Kakek tetep maksa dan nggak mau tahu, Abim pokoknya nanti kudu dateng." Dewi ingat, kemarin Tika sudah cerita padanya. "Oh, masalah yang waktu itu?" tanya Rika memastikan. Tika dan Dewi saling pandang, beragam pertanyaan berputar di kepala mereka. "Ini yang hebat si Teteh atau Abim yang bocor sih?!" gerutu Tika. "Tenang aja, Tik. Kalau sama Teteh semua bisa diatasi," ujar Rika yakin. Dengan sigap, Rika mengetikkan pesan singkat pada Abim dan Tika, lalu meletakan kembali ponselnya. Tika mengerutkan dahi saat sebuah pesan masuk dari Rika. "Kenapa Teteh ngi-" "Kamu belum puny kontak Abim, kan?" Tika mengangguk pelan. "Fix, Teteh cenayang," batin Dewi. ~~~ Ruang pengap dan banyak sarang laba-laba, belum lagi tikus kelabu yang berjalan kesana-kemari, diikuti tikus-tikus lain. Banyak tumpukan kursi dan meja. "Gudang," gumam Abim yang tengah berbaring santai di antara tumpukan meja. Mengabaikan para penghuni gudang rumahnya yang berlalu-lalang. Kenapa ia ada di sana? Apalagi kalau bukan kabur dari cekcok berkepanjangan dan berakhir pintu yang terbanting, meninggalkan sedikit retak di tembok. Drt ... Drt ... Drt ... Abim merogoh sakunya dan mengangkat sebelah alisnya saat ia membaca nama si pengirim. Lalu, matanya membulat sempurna. Dengan geram, Abim bangkit dan berjalan ke arah garasi. Mengambil kunci dan men starter motor, lalu lekas menarik gas dan hilang di tikungan depan komplek. ~~~ 23 menit kemudian, ia sampai si rumah Tika, bersamaan dengan mobil Rika yang baru sampai. "Resek! Nggak usah macem-macem deh, Teh," gerutu Abim, membuat Rika tertawa renyah. Tika menatap mereka berdua heran. "Hebat juga si Teteh ..." "Kalau gak gitu lo gak bakalan dateng, kan?" ujar Rika cepat, ia memang tak menggunakan aku-kamu pada Abim. Abim diam, ia sungguh tak ingin berada di rumah ini. Menurutnya, atmosfir di rumah Tika berbeda dengan tempat-tempat lain. Di sini pengap dan amat sesak, bahkan ia tak bisa bernapas dengan benar. "Nggak usah disebar, oke?" Rika mengangguk pada Abim, rahasia memalukan Abim ada padanya. Tapi ia tak boleh terlalu sering menggunakannya, jika tak ingin Abim melakukan hal-hal di luar prediksinya. "Udah ya, bye Tik. Entar kalau Abim rewel tendang aja tuh muka songongnya," ujar Rika setelah masuk kembali ke mobil. Pemberhentian selanjutnya adalah rumah Dewi, lalu pulang dan berkirim pesan dengan Eno. Atau mungkin lebih, seperti telponan atau video call, mungkin juga ia akan berkunjung ke sana Dari lantai dua, seseorang berdiri di depan jendela. Menatap Abim penuh minat, lalu menyunggingkan sebuah seringai. "Selamat datang, Banu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD