EMPAT BELAS

1141 Words
-14- Abim masih membuka matanya, sudah hampir seminggu ia mengalami gangguan tidur. Ia selalu merasa takut yang berlebihan tatkala bangun, entah apa penyebabnya. Bukan hanya itu, saat terlelap 'pun ia tiba-tiba terbangun karena selalu ada sosok yang menantinya. Bukan Siska, tapi seorang pria tua yang memakai belangkon dengan setelan baju ala jaman dulu, wajahnya tak terlalu terlihat jelas. Abim beranjak dari ranjangnya, meraih ponselnya yang tergeletak di nakas samping ranjangnya. 02.31 Abim mendengus, jam segini harusnya Abim masih berada di alam mimpi. Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di kepalanya. Ia mengambil ransel, memasukan buku pelajaran, baju seragam tak lupa dasi abu-abunya. Ia mengganti celananya dengan celana abu-abu sekalian mengenakan sepatu. Setelah semua persiapan selesai, Abim menggendong tasnya di punggung dan meraih kunci motornya. °°° "Mau kemana?" tanya Eno yang tanpa sengaja memergoki Abim yang sedang mendorong motornya ke luar garasi. Abim bungkam sambil meneruskan kegiatannya. Setelah kembali menutup garasi, Abim menoleh pada Eno yang masih terpaku di depan pintu, menampilkan raut wajah tak sedap. "Lo masih punya utang sama gue. Sore nanti, ayam goreng sama spaghetti udah harus siap di meja makan," ucap Abim dingin. Eno mengeratkan rahangnya, mengamati motor hitam yang ditunggangi Abim perlahan menghilang. "Bapak sama anak sama aja!" rutuknya sambil menutup pintu. ~~~ Abim berhenti di depan sebuah warung kopi langganannya. Apalagi? kalau bukan untuk ngopi-walau ia lebih sering pesan soda-sambil bermain game. Maklum, ia krisis kuota di akhir minggu ini. Ia sempat heran saat mendapati warkop itu dalam keadaan ramai, tak seperti biasanya. "Bim, dari mana lo?" Abim duduk di sebelah Tio, masih dengan raut heran. "Tumben Tio jam segini belum balik?" Tio menoleh pada Abim yang sedari tadi diam. Ia mengamati penampilan Abim yang berbeda dari biasanya. Sepatu hitam, celana abu-abu dan tas yang biasa Abim bawa saat sekolah. "Lo mau sekolah?" tanya Tio yang heran pada sahabatnya. Abim beralih memperhatikan penampilannya. "Iya, nanti. Gue gak bisa tidur soalnya." Tio menghentikan aktivitasnya, lalu tawanya meledak. Beberapa pasang mata memperhatikan Tio dengan heran dan risih. "Lah, kocak nih bocah. Ini malem minggu woy!" ujar Tio di sela-sela tawanya. Abim mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Ini nih, makanya nggak usah sok istri-istri an segala!" ejek Tio, Abim mendecak lalu mengumpat. Yang sudah biarlah sudah. Sekarang, ia hanya ingin have fun. Baru saja ia mulai log in, tiba-tiba listrik padam. Otomatis jaringan wi-fi juga ikut terputus. Abim sangat ingin berteriak, tapi kali ini ia cukup tahu diri. "Bangke, baru juga main!" gerutu Tio. "Bim, woy lo tidur ya?" Tio menoleh ke sembarang arah. Menyoroti sekelilingnya sambil bertanya, bukanya Abim tadi ada di sampingnya? Lalu kemana mahkluk itu sekarang? "Bim," panggil Tio lagi. "Apa?" Tio langsung terlonjak saat Abim datang tiba-tiba. "Resek lo, ngagetin aja! Dari mana lo?" "Kebelet, lo ... Takut?" ejek Abim setelah kembali duduk di samping Tio. "Cemen banget sih jadi co ...." Abim membelalakkan mata, ia lupa apa yang ingin ia katakan tadi. Tio mengerutkan dahi saat Abim tak kunjung bicara dan malah menatap kosong ke arah depan, tepatnya ke arah meja kasir yang gelap. "Bim, lo ... Ck! Jangan bikin parno b**o!" Abim menoleh pelan. "Lo gak liat?" Tio menyatukan alisnya, jangan bilang kalau Abim ... "Sis-Siska?" Abim menggeleng, Tio bisa sedikit bernapas lega. "I-itu." Abim mengangkat jari telunjuk dan menunjuk ke tempat kosong, membuat Tio semakin heran. "Ja-jangan bercanda!" Tio ikut merasa takut. Ia jadi was-was, ia sudah mengalami banyak gangguan akhir-akhir ini. "O-orang tua, pakek belangkon!" Abim mencoba mendeskripsikan. Tio bingung harus bereaksi seperti apa, karena cuma Abim yang melihat. Ia sangat tahu rasanya, saat berdua dan hanya dirinya sendiri yang melihat. "L-lo tenang dulu." Aneh rasanya Tio mengatakan demikian, jelas saja siapa yang bisa bersikap tenang di saat seperti itu? "AAA!" Teriakan dari seseorang di belakang, diikuti teriakan-teriakan lain yang seperti paduan suara, anehnya suara tersebut terasa jauh namun juga dekat di saat bersamaan. Tak hanya itu, langit yang tadinya cerah memperlihatkan beragam bintang, kini mendadak gelap. Mendung bergemuruh, menjatuhkan ribuan tetes air hujan, lebat diiringi guntur dan kilat, ditambah, teriakan histeris dari pengunjung asing di Warkop. Oh! dan jangan lupa listriknya juga padam hingga siang nanti, tepatnya sekitar pukul 13.03 ~~~ 13.03 Rika tak henti mengamati jam yang melingkar indah di tangan kanannya. Rika cantik? Tentu, paras ayu dan sikap kalemnya selalu jadi nilai plus di mata kaum adam. "Masih lama, Do?" tanyanya pada Edo yang duduk dengan tenang sambil menyesap chocolatte dinginnya. "Bentar lagi," ujarnya santai. Edo sangat bersyukur punya sepupu seperti Rika, ia hanya cukup menurut maka pundi-pundi rupiah akan datang menjemput. "Siapa tadi namanya?" Rika mengambil ponsel dan segera membidik gelas minumannya yang tinggal separuh. Suasana kafe yang cukup ramai membuat fotonya terlihat lebih instagramable, di matanya. "Tika, Kartika Sari," jawab Edo. Pagi ini Edo menghubungi Tika, mengajaknya ke kafe Ungu, dekat sekolah. Tika menolak, tapi karena Edo bilang ada cewek yang pengen ketemu dan sedikit kata urgent, juga traktiran, Tika menerima dengan senang hati. "Nah! Itu dia." Tunjuk Edo ke arah pintu masuk, ada Tika di sana dengan pakaian semi formal. Edo melambai. "Sorry, telat," ucapnya gugup sambil duduk. Rika memperhatikan Tika yang sedikit berkeringat, ia sekarang paham maksud Nino tentang "body" kemarin. "Nggak papa, sans aja kali," ujar Edo seraya membenarkan posisi duduknya. "Nih, kenalin sepupu gue dari SMA Awan," sambung Edo. Rika segera melempar senyum ramah andalannya. "Dia mau kenalan ama elo, penting katanya." Tika mengangguk paham. "Kenalin, Rika Saputri, biasa di panggil-" "Teteh!" Rika, Tika dan Edo langsung menoleh ke sumber suara. "Tio?!" Rika berdiri. Tio tersenyum kaku, Rika melirik Abim yang berdiri di samping Tio. Tika menatap heran pada kedua cowok yang baru saja datang. Penampilan mereka kacau, benar-benar kacau. Muka kusut, rambut acak-acakan, pakaian berantakan, mata panda dan sedikit luka gores di wajah mereka. Tio menarik lengan Abim, mendudukanya di samping Tika, lalu ia sendiri menarik kursi dari meja samping setelah mendapat izin dari si pemilik meja. "Teteh lagi ngapain?" tanya Tio setelah manggil pelayan. "Kok ada Tika juga, Dewi mana, Tik?" tanyanya lagi setelah memesan. Abim menguap. "Kalian sendiri ngapain?" tanya Rika balik. "Gue mau kenalan sama Tika, jangan ganggu oke?" Tio mengangguk, sebenarnya ia tengah menahan diri, ia parno. Ketakutan masih mengikutinya dari semalam. Ia mencoba menutupinya dengan lebih banyak berinteraksi dengan sesama manusia. Abim menjatuhkan dahinya ke meja, ia sangat ngantuk dan hanya ingin memejamkan mata. "Eh, masak gue nggak dikenalin sama pacar Teteh sih?" Tio kembali bersuara. Rika menoleh pada Edo. "Ini?" Tio mengangguk kaku, Rika terkikik geli. "Ini sepupu gue, namanya Edo, anak Bintang. Eh! Kok elo sih yang kenalan?!" Tika hanya mendengar, sesekali mencuri pandang pada Abim yang kelihatanya sudah tak sadarkan diri. Tika mengusap lengannya. Edo menangkap gestur itu, kebiasaan yang dilakukan saat Tika merasa resah atau ... Takut. "Setelah bangkai tikus, apa yang buat dia takut?" Tika tak bisa duduk dengan tenang, sesuatu mengganggu indera penciumannya sejak Abim duduk di sampingnya. Ia mencium aroma melati bercampur sesuatu seperti karat, mawar atau mungkin ... Darah!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD