TIGA DUA

1063 Words
Ps: maaf kalo ceritanya agak gimana gitu di chap ini, soalnya ada beberapa konflik yang jadi satu, parahnya konflik itu beda genre ... -32- Cempaka Putih Malam Jum'at pukul 23.01 Terlihat siluet seseorang pria di kejauhan. Tepatnya di tengah-tengah pemakan, tak begitu jelas karena gelapnya malam juga minimnya pencahayaan. Jika dilihat dari dekat, pria itu memiliki rambut panjang yang ia kuncir agak berantakan, kumis tipis dengan rahang kokoh dan hidungnya yang mancung. Pemilik toko buku Juna, sebuah kedai teh ran rental ps. Benar! Pria itu tak lain adalah mas Jun. Mas Jun tengah sibuk mengais gundukan tanah yang sedikit basah dengan kedua tangan. Ia terus menggali tanpa istirahat hingga mengumpat. "Hilang?!" gumamnya tak percaya. Ia yakin sudah mengubur jasad gadis itu di tempat ini, dan sekarang ... Hanya liang kosong tanpa sisa. Mas Jun lalu mengoarkan sumpah-sarapahnya, menendang segala yang ada di dekatnya dan bergegas pergi. Dari balik kegelapan, muncul percikan cahaya merah yang kian lama kian mendekat. Cahaya itu sempat redup, kemudian terang kembali hingga terlihat sebuah wajah tua yang kini sedang menghembuskan polusi dari mulutnya. "Dasar gila," lirihnya. Bibirnya kembali disumpali sebatang rokok yang tinggal seper empat. Orang itu mengangkat cangkuklnya dan menimbun liang yang barusan digali. "Enggak tahu, apa, Kalau pemakaman ini ada yang nunggu?" gerutunya sembari menggerakkan kedua lengan. "Tapi biasanya, 'orang gila' kayak tadi cepet dapat karma!" kekeh nya ringan. "Ngomong sama siapa kamu, Ji?" Pria yang tengah menimbun lubang itu langsung terlonjak kaget. Ia lalu menoleh ke kiri dan membulatkan matanya saat menyadari ada orang yang tak asing baginya. "BO-BONDAN?!" jeritnya tak sadar. "Hush! Jangan teriak-teriak, nanti bangun semua bisa gawat," tukas kakek Bondan sambil mengibas-ngibaskan tangannya. "Kapan kamu ke sini?" Pak Aji menyipitkan mata, tanda tak suka atas kehadiran pria tua yang kini melempar senyum jenaka padanya. "Ji, Aji ... Kami pikir selama kamu hilang, aku bakalan lupa cara jalan di atas tanah?" kekeh kakek Bondan, tak lupa seringai licik ia tampilkan, guna memanas-manasi pak Aji yang kelihatan tak perduli. "Terus, kenapa kamu ke sini?" Pak Aji kembali mengangkat cangkulnya pada posisi. "Bukanya semua sudah selesai, sampai kamu mengusir saya?" Kembali, pak Aji menimbun lubang yang seharusnya sudah selesai. "Kamu sudah tahu jawabannya, kan?" Pak Aji menghentikan aktifitasnya sejenak, pikirannya melayang ke mana-mana. Dalam hati, ia merutki diri sendiri, menyesal karena ia tahu sebagian besar fenomena yang akan terjadi baru-baru ini. "Mas Banu, kan?" Kakek Bondan menggeleng, namun senyumnya tak luntur, membuat pak Aji kian bingung. "Banu sudah keok! Sekarang giliran cucunya ..." Pak Aji menoleh pelan, ia harap ia salah dengar. Bersamaan saat bulan mulai kembali terlihat, setelah sebelumnya tertutupi mendung padat. Juga, mulai tampaklah berbagai penghuni kuburan yang kini perlahan mendekat dan mengerumuni dua orang tua itu. "Kamu, sih, tadi teriak-teriak, jadi bangun semua, kan!" gerutu kakek Bondan. Ia menatap malas jam tangannya, memperhatikan kedua jarum berbeda panjang yang berhenti di angka yang sama. 12! ~~~ "Eh, katanya Rio ... Mati!" "Yang bener?" "I-iya, katanya kondisi mayat Rio gak normal." "Ish, ngeri banget ...." "Ho oh, di sekolah gak aman." "Kira-kira bakal ada korban lagi gak ya?" Kira-kira begitulah bisikan-bisikan yang kini terdengar memenuhi lorong, kelas, kantin maupun perpus. Hampir semua siswa/i membicarakannya. Namun, adapula beberapa yang memilih untuk bungkam, atau bahkan acuh pada kabar yang sedang hangat-hangatnya. Seperti 4 orang berikut ini: Geo, Age, Raka dan Faza. Di saat yang lain tenggelam dalam kepanikan, ke-empat cowok itu lebih memilih pergi ke rooftop, duduk memutar dengan dua bungkus rokok, pemantik dan minuman kaleng. "Gue up!" tukas Geo setelah memahami inti pembicaraan dari Raka. Isinya hanya rencana balas dendam pada Abim. "Enggak asik, lo, gak setia kawan!" sindir Aga. Geo mendecak tak suka. "Rak, ini urusan elo, jangan bawa-bawa orang lain. Bentar lagi ujian, dan inget itu baik-baik!" tegas Geo, ia angkat tangan untuk satu persoalan ini. Ia tak menyangka Raka akan mengambil jalan pengecut seperti itu, apalagi karena seorang wanita. "Ge, gue ingetin sama elo ... Enggak ada yang boleh macem-macem sama Raka Sanjaya!!" sengit Raka. Tatapannya beradu dengan Geo yang kini mengeraskan rahang. "Gue bakalan bales dia 10 kali lipat! Dan gue gak perduli sama ujian!!" Dada Geo bergemuruh, ia benci situasi yang bisa menyulut seperti ini. Ia hanya tak ingin membuat masalah baru, ditambah, ia dengar kabar burung soal Abim, kabar yang tak pernah duga. Kabar lama, satu setengah tahun yang lalu. Kabar yang dulu sering kali ia dengar di tiap lorong kelas. "Oke, terserah mau lo. Gue tetep gak ikut!" putus Geo. Ia sudah tak ingin berdebat, maka dari itu ia mengambil langkah mundur, menyerahkan semua pada keberuntungan kawannya yang kini menggali kubur sendiri. "Ge! Tunggu!!" panggil Faza. Ia berhasil menyusul Geo di dasar tangga dengan napas setengah-setengah. "Gue tahu apa yang lagi elo pikirin," ujarnya sesekali mengambil napas. "Gue juga mikir hal yang sama ..." Geo bergeming, ia kembali mengambil langkah. Faza mendecak dan segera menyusul, mensejajari langkah Geo yang tak terlalu panjang. "Raka lagi ketakutan." Geo berhenti seketika. Ditatapnya mata Faza yang menyorotkan rasa lelah. "Gue udah temenan sama Raka dari kecil." Faza menepuk bahu Geo sekali, namun memberi kesan tersendiri bagi Geo. "Lo tahu, kan, fisik sama mental Raka yang gak mudah patah?" Geo mengangguk sedikit, ia mengingat kisah seputar orang tua Raka yang berpisah penuh drama, hingga membentuk pribadi Raka yang demikian kerasnya. "Kalau Raka sebegitu takutnya sama cowok Tika ..." Faza menjeda, menyusun kalimat yang dirasa pas dalam situasi mereka. "Artinya, kabar miring soal 3 Antagonis bukan sekedar delusi orang, bukan cuma guyonan sehabis tragedi atau hal konyol lainnya!" Geo mengangguk setuju. Faza menelan ludah susah, tenggorokannya terasa kering. "Awalnya gue udah curiga waktu Raka bilang kalau 'ngeliat matanya aja dia gak berani' ditambah, Raka yang cuma diem dan gak ngelawan waktu dihajar." Faza menyandarkan punggungnya, ia lelah. "Buat jaga-jaga," suara Faza lirih, tapi terkesan dalam. "Jauhi Tika, jangan buat masalah sama dia!" ~~~ "Ha-halo ..." gugup Tika. Ia menautkan kedua alisnya saat ponselnya berdering dan menampilkan sederet nomor asing. "Ini siapa-" "Tika, lo di mana?" potong suara di seberang. Tika membulatkan mata, ia kenal suara itu. "K-kak Dian?!" "Udah, gak penting itu, sekarang elo di mana?" "Ck! Di sekolah, kenapa emang?" Terdengar helaan napas berat dari Dian. "Jemput gue, ya? Please, urgent banget soalnya." Tika mengerutkan dahinya. "Ya ... Gak papa sih, tapi gue pulangnya sekitar dua jam lagi lho ..." "Enggak papa, pokok elo jemput gue." Tika mengangguk setuju, walau agak penasaran. "Oh iya ..." Dian agak berbisik. "Jemput gue di ... Kantor polisi!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD