TIGA SATU

1370 Words
-31- "Jika kamu pergi bersama seorang perempuan ke pusat perbelanjaan, jangan lupa gandeng terus tangan tangan perempuan tersebut." Abim ingat, ada yang pernah mengatakan hal itu sebelumnya. Tapi ia lupa siapa dan untuk siapa kalimat itu dimaksudkan. Kini, ia mencoba menelaah arti dari kata-kata tersebut setelah terpisah dari Tika. Gadis itu sebelumnya mendumel tak jelas dan menuduhnya tengah membela dua adik kelasnya. Lalu, Tika hilang entah ke mana. Abim cemas, ia takut sumber uangnya kenapa-napa. "Njir, baru juga masuk butik, belum 5 menit udah lenyap!" gerutunya. Ia heran dengan Tika yang tiba-tiba hilang, padahal tadi saat masuk Tika ada tepat di belakangnya. "Ketemu enggak, Bim?" tanya om Bayu yang baru saja datang. "Belum, om." "Emang kamu enggak ada kontaknya? Biar ga perlu capek-capek nyariin." Abim membulatkan matanya. Bagaimana mungkin ia tak berpikir sampai situ? "Oh iya, he he he ...." Om Bayu memutar mata jengah. Ia pikir Abim memang sengaja melakukannya, hitung-hitung olah raga. "Yuk, om. Sambil jalan aja," ajak Abim setelah beberapa langkah mendahului. Tak lama, ia menghentikan kakinya, bukan bermaksud untuk menelpon Tika. Gadis berkaca mata itu ia dapati tengah mematung di pojok ruangan, tempat beberapa kain putih polos digantung hingga menjuntai ke lantai. Abim berbelok mendekati Tika. Amat pelan tanpa suara, dan bermaksud menjahili Tika sedikit. "Si-Sis-ka?!" gumam Tika lirih. Abim mengerutkan dahi, ia tak terlalu dengar apa yang Tika gumamkan. Puk! "KYAAA!!!" jerit Tika saat Abim menepuk pundaknya pelan. Jika Abim yang teriak, pasti sudah dapat tamparan dari Tika. "Enggak usah teriak-teriak ..." Tika memegangi dadanya lantaran kaget, ia lalu mengerjap-ngerjapkan matanya cepat. "Udah sadar?" Tika menoleh ke sekeliling, mengamati keadaan yang tak berubah dari sebelumnya dengan tampang heran. "Yuk, ditungguin sama om Bayu." Abim meraih pergelangan tangan Tika dan menyeretnya menjauh, ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dan tanpa mereka sadari, ada satu bunga melati yang tergeletak manis di lantai, tepatnya di bagian terdalam, tertutupi beberapa selimut putih yang digantung. ~~~ Kita beralih ke salah satu kantor polisi kota Bayan. Tepat di sebuah ruang tertutup, dua orang berseragam tengah menekuni beberapa dokumen, berkas foto dan catatan penting lainya. "Pembunuhan di SMA Awan, huh?" tukas salah seorang, polisi yang akrab disapa Kade itu memulai pembicaraan ringan dengan rekannya. "SMA Awan, bukannya itu sekolahnya Bima?" Kini orang di depan inspektur Kade menegakkan punggungnya yang mulai lelah. Inspektur Kade mengangguk setuju. "Benar, kira-kira sudah berapa lama, ya, Bima enggak ke sini?" Inspektur Kade menerawang jauh. "Eh, satu lagi, pak Didi." Sang inspektur mengangkat satu jarinya, lalu mengeluarkan beberapa lembar berkas yang ada di tas hitamnya. "Pagi ini juga terjadi kasus yang sama di SMA Bintang." Pak Didi menautkan kedua alisnya, ia hampir lupa dengan laporan yang terakhir ini. "Korban dari SMA Bintang bernama Rio, anak yang malang," sambung pak Kade dengan akhir lirih. "Tim forensik menemukan beberapa memar di sekitar perut; terdapat setidaknya 17 sayatan sepanjang 15cm di area punggung, tepi leher dan paha bagian dalam." Pak Kade menjeda. Pak Didi menelan ludahnya. "Terakhir ..." Pak Kade kembali menarik napas. "Terdapat beberapa bunga kamboja di dalam mulut korban!" ~~~ Tika menarik paksa tangannya setelah menjauh dari tempat itu. Dengan cepat pula Abim kembali meraih pergelangan tangan Tika. "Enggak usah pegang-pegang!!" ketus Tika sambil berusaha melepas genggaman tangan Abim yang makin erat. "BIM, LEPAS!" Beberapa pengunjung dan pekerja yang ada di sana hanya menatap kedua muda-mudi sambil bertanya-tanya dalam hati. "Bim ..." keluh Tika yang mulai merasa perih pada pergelangan tangannya. Abim menoleh pelan, ia berhenti tepat di tengah, pusat butik yang bentuknya segi empat. Tika mengatupkan mulutnya rapat-rapat, Abim kembali memandangnya dengan tatapan itu. Marah, benci dan kecewa! "Jangan berisik ...." bisik Abim pelan. Bagi Tika, suara Abim terdengar penuh penekanan dan perintah agar Tika tak banyak ulah. Matanya memanas, Tika sangat takut jika Abim sudah bersikap seperti itu. Tak ada lagi Abim yang ribut dan penuh ulah di matanya. Tes ... Tanpa Tika sadari air matanya luruh, mengalir ke pipi dan jatuh bebas. Abim menganga. "Lah, Tik?!" bingungnya. Ia tak tahu apapun, ia hanya menyuruh agar Tika tak teriak-teriak, malu dilihatin orang. Abim menggaruk pipinya saat Tika mulai terisak kecil, ia melepas genggaman tangannya dan beralih menahan kedua bahu Tika. "Tik, jangan nangis donk ..." pintanya lirih sedikit memelas. Suara bisik-bisik mulai terdengar di telinganya, ia jadi panik. "O-oke, lo minta apa aja gue turutin. Lo mau kemeja, rok atau kebaya? Ambil aja yang elo mau." Abim memohon sambil mengguncang lembut Tika. "Mbak Tika kenapa nangis?" tanya Desi -yang entah dari mana- polos. Abim terlonjak kaget. "I-itu ..." Tika langsung menghapus paksa air matanya, meninggalkan jejak samar yang menyedihkan. "A-anu, tadi mbak Tika pengen dress yang itu." Tunjuk Abim asal. Jarinya mengarah pada dress selutut yang tengah dipakai manekin. Dress yang menguatkan kesan anggun dan glamour pada pemakainya. "Tinggal dikasih aja, kan, mas. Jadi mbak Tika enggak usah nangis lagi." Abim ingin mengumpat, ia merutuki jawaban asalnya yang kini malah melilit lehernya. Abim menghela napas dalam. "Iya deh," putusnya. "Mbak!" Abim memanggil salah seorang karyawan wanita yang kebetulan lewat. "I-iya mas Bima?" jawab karyawati itu dengan kikuk. Tika tercekat saat melihat reaksi karyawati yang menyebut bagian dari nama Abim. "Kenal?" "Tolong dress yang itu dibungkusin, ya." Karyawati di hadapannya melempar tatapan ragu, hanya tatapan memelas tanpa berani bertanya. Abim mengangguk pasrah, memberi ijin. Ia tahu arti dari tatapan karyawati itu. "Udah, kan, mbak? Yuk ke ruangan papa," ajak Desi seraya menggamit lengan Tika. Tika melirik Abim yang tertinggal beberapa langkah di belakangnya, dalam hati bertanya arti dari sorot mata sendu Abim yang barusan. Abim hanya menatap punggung Tika yang kian menjauh, ia mengusap lehernya pelan. Tubuhnya kembali merasa panas, dadanya seolah terbakar. Ia lalu membelalak saat mengintip dari balik kaosnya, dadanya melepuh! Lalu, sebuah suara riang namun berat bergema dalam kepalanya. "Jangan mati dulu ... Banu!" ~~~ Tio Danuarta, siswa SMA Awan. Kelas XI IPA 4, kapten tim basket tahun ini. Selain tinggi, Tio juga terkenal ramah juga murah senyum. Tapi, sosok keren Tio hilang seketika jika ia berada di sekitar Abim. Banyak gadis yang menyayangkan hal tersebut, tapi Tio sendiri merasa biasa saja, malah cowok itu kini malah berbahagia. Pasalnya, setelah pulang tadi, ia menerima pesan dari Dewi kalau SMA Bintang juga diliburkan. Dan di sinilah Tio sekarang, duduk berdua di kafetaria bersama Dewi. "Pembunuhan?" tanya Dewi setelah menyedot minumannya. Ia sudah mendengar garis besar yang Tio ceritakan dari kejadian di sekolah tadi. "Bisa jadi," jawab Tio seraya menyandarkan punggungnya. "Gue tadi kaget banget, apalagi si Abim." Dewi mengernyit bingung, masih tak tahu apa hubungannya dengan Abim. "Emang ada hubungannya sama Abim?" Tio menarik napas dalam, lalu mengangguk singkat. "Jully, anak kelas tujuh. Bukan rahasia lagi kalau Jully suka sama Abim. Dan dari gelagatnya, Abim juga suka sama Jully." Dewi merapatkan mulutnya tak percaya. "Modelan Abim juga ada yang suka?!" "Semua orang ngiranya gitu. Tapi ..." Tio sedikit membungkuk, agar lebih dekat dengan Dewi. "Abim sama sekali enggak punya perasaan sama Jully!" Dewi kembali terkejut. Ia sempat lupa bernapas beberapa detik. "Satu-satunya alasan kenapa Abim ngebiarin orang-orang ngira kalau dia pacaran sama Jully, cuma sebatas kasihan, juga permintaan maaf ..." Tio menelan ludah susah. "Enggak kurang, enggak lebih!" pungkas Tio kecut. Hening, Dewi masih memperlukan waktu lebih untuk memproses info super mengejutkan dari Tio. "Ehm!" Dewi berdehem kecil, mencoba mengusir perasaan tak enaknya, ia khawatir kalau Tika mendengar info ini. Pasti sahabatnya akan ngamuk gak jelas. "Kalau gue pikir sih, paling cuma beberapa anak doang yang tahu." "Kasihan banget si Jully," gumam Dewi simpatik. "Hm ... Tapi kalau soal kasihan, gue juga kasihan dan enggak tega sama Rian." Tio menegakkan tubuhnya. Bisa-bisanya Dewi mengasihi cowok lain di depan Tio? "Pagi ini Rian pulang lebih cepet karena tangannya kebakar." "Ma-maksud lo?" Tio tak mengerti. "Gini, saat mau bel masuk, Rian, gue sama Egi disuruh ke lab sama pak Iza. Terus, pas Rian mau ngambil tabung di rak atas, tiba-tiba aja tangannya ketumpahan tinner, habis itu WUSH ... Kebakar," terang Dewi dengan gaya agak aneh. "Ketumpahan? Kebakar?" Tio masih tak mengerti. "Iya, padahal tinnernya tadi ada di rak paling atas. Gak tahu deh tumpahnya gimana." Tio menggaruk kepalanya yang terasa gatal, ia mengangguk walau tak sepenuhnya paham dengan penjelasan Dewi. "Terus, apinya dari mana?" Dewi ragu, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Tio. Tio senang bercampur penasaran. "Enggak ada yang tahu, tiba-tiba setelah ketumpahan tinner, langsung ada api!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD