TIGA PULUH

1414 Words
-30- Pecel lele Teh Uwi ... Menyediakan beragam kuliner bercita rasa tinggi, seperti, ayam geprek, bebek penyet dan tempe penyet. Tapi, yang paling diminati di warung tenda itu tetap satu, pecel lele! Tika sudah banyak menghabiskan waktu di warung itu, sedari kelas 9 hingga kini. Tapi kunjungannya kali ini yang paling beda. Sebelumnya ia hanya datang ke sini dengan Dewi atau Siska, ia juga pernah ke sini sendiri beberapa kali. Namun kali ini, pertama kali dalam hidupnya ke warung tersebut dengan seorang cowok. Cowok yang tak ada keren-kerennya sama sekali di mata Tika. "Hp lo bunyi, tuh!" Abim melongok ke hp nya yang ada di samping piring putih, gelas bening yang yang isinya hampir tandas. Deringnya amat lirih hingga hampir tak terdengar olehnya. "Oh, bentar. Gue angkat dulu." Tika mengangguk sesaat. Abim meraih hp nya dan ke luar dari warung tenda yang lumayan ramai. Tiba-tiba ada dua orang gadis yang dengan sengaja menduduki bangku Abim. Tika memperhatikan dua gadis di sebelah yang menatapnya aneh. "Anak Awan?" "Hai kak, kenalin nama aku Siwi," ucap gadis yang duduk tepat di sebelahnya. "Dan ini Kinzie." Tika beralih melongok gadis di sebelah Siwi yang memasang wajah jutek, sikap tak bersahabat yang terang-terangan. "Udah, Wi. Gak usah basa-basi!" Tika memicingkan mata saat nada permusuhan meluncur dari bibir Kinzie, matanya melotot, memandang Tika tak suka. "Diem dulu!" bisik Siwi menekan suaranya. "Ehm, itu tadi kak Abim, kan?" "Iya, kenapa?" jawab Tika tak kalah ketus. Siwi menghela napas berat, tampak banyak keraguan dalam matanya, bimbang dan kecewa jadi satu dalam hati Siwi. "Gini, tadi pagi ada 'kejadian' enggak enak di sekolah ..." Ah, Tika ingat saat Abim mengatakan soal sekolahnya yang pulang pagi hari ini, tapi Tika tak tahu ada kejadian apa hingga sekolah Abim pulang pagi, itu juga karena Abim enggan bercerita padanya. Siwi menarik napas dalam. "Ada salah satu temen kami yang ... Mati." Siwi membungkus empat huruf terakhir dengan nada yang amat pelan, Tika hampir tak dengar. Berulang kali ia meyakinkan diri kalau memang kalimat larangan itu yang diucapkan Siwi. "Namanya Jully, dan dia sahabat gue!!" Kinzie menekan setiap kalimatnya, matanya memandang Tika nanar. Tika tak suka dengan tingkah Kinzie, jika saja ia tak ingat di mana ini, mungkin Kinzie akan pulang dengan wajah memar. "Ingat, ya, kak! Sebelum ada elo, kak Abim deket sama Jully!" sungut Kinzie. Tika mengeratkan genggamannya. "Tadi pagi gue lihat kak Abim sedih banget karena Jully." Kinzie menelan ludahnya pahit, kembali terkenang bayang-bayang sahabatnya yang selalu menceritakan sosok Abim padanya, tak perduli banyak orang yang berusaha menjauhkan mereka. "Tapi ..." Kinzie merendahkan suaranya. "Gue gak nyangka kalau kak Abim bakalan ngelirik cewek lain setelah Jully gak ada." Tika makin mengepalkan tangannya erat-erat. Ia berusaha tak membuat onar di tempat ramai seperti ini. "Memang pantes kalau kak Abim di benci semua orang ..." Siwi merapatkan mulutnya. Ia tak suka cara Siwi yang terlalu blak-blakan. Tetapi ia juga setuju dengan Kinzie soal Abim yang belakangan ini tak terlalu perduli pada mendiang sahabatnya. "Dan gue bakalan seneng banget kalau kak Abim—" Plak!! Hening. Tak ada suara lagi di warung tenda itu. Seluruh penghuninya menatap penuh tanda tanya ke arah tiga orang gadis di ujung meja. Siwi membelalak saat tangan Tika melayang dengan cepat melewatinya dan mendarat di pipi mulus Kinzie. Cap tangan tergambar jelas, merah dan rasanya amat panas. "Ulangi lagi, gue pengen denger," ucap Tika dingin. Tatapannya menusuk tubuh Kinzie, menyalakan sinyal bahaya pada Gadis itu. "Gue—" Plak!!! Lagi, tamparan keras mendarat di tempat yang sama untuk kedua kalinya, namun kali ini lebih keras. Mata Kinzie berair, ia tahan cairan bening itu agar tak jatuh. "MULUT LO GAK PERNAH SEKOLAH, HAH?!" bentak Tika. Nyali Kinzie langsung ciut. Siwi terpaku di tempat, ia merasakan rasa takut yang sama dengan Kinzie. Para pengunjung sebagian mengelus d**a miris, sebagian ada yang tersenyum getir, ada juga yang menjadikan kejadian tersebut sebagai tontonan gratis. Tika sudah bersiap, ia kembali mengangkat tangannya. Tanpa mengurangi kecepatan dan tenaga, sebuah tamparan keras melayang membelah udara. Namun ... Dalam waktu sepersekian detik, tangan Tika terhenti, jauh dari tempatnya mendarat barusan. Abim, pemuda itu menatap Tika angkuh, tangannya menahan tangan Tika dengan mudah. Tika membuang muka, berusaha lepas dari kontak mata yang selalu membuatnya takut tanpa sebab. "Dua kali enggak cukup?" Abim tak bermaksud bertanya, lebih tepatnya menyindir Tika yang sudah dua kali melayangkan tamparan. "Dan kalian ..." Abim beralih melirik Siwi dan Kinzie. Siwi menelan ludah sudah. Baru lepas dari Tika, Abim menghakiminya dengan tatapan yang paling di hindari di sekolahnya. Tatapan yang memberinya gelar, namun harus ditukar dengan sebuah olokan yang akan di tanggungnya sampai kapanpun. "Jangan dibiasain nuduh orang," sambung Abim dingin. Keadaan kembali tegang, para pengunjung merasakan atmosfer yang mendadak berat. Sebagian menahan napas saking gugupnya. "Ta-tapi ini karena Ju-Jully—" "Masalah gue sama Jully lebih simpel," potong Abim. Kinzie yang sudah mati-matian bersuara terpaksa bungkam. Rasa takutnya belum reda, ditambah aura kakak kelasnya yang kini mencekiknya, memaksanya berpikir seratus kali sebelum bicara. "Mampus lo!" Dalam hati Tika bersorak. °°° Abim memarkirkan motornya di depan sebuah butik megah yang cukup ramai. Ia menoleh ke belakang, menatap lelah pada Tika yang masih anteng di jok belakang sambil mendumel tak jelas. "Udah sampai, yok turun," ajaknya seraya menyetandarkan motor. "Ngapain lo ngajakin gue ke sini?" Tika menajamkan mata sipitnya. Abim mengacak rambut frustasi, bisa gila dia kalau terus-terusan mendapat omelan Tika. "Udah, turun dul—" "LO MAU NYUAP GUE PAKEK BAJU-BAJU BUTIK? LO PIKIR GUE MAU LEPASIN DUO CABE ENGGAK TAHU DIRI ITU?!" Abim ingin mengumpat, ingin mengabsen nama hewan yang ada di kepalanya. Jika bisa, ia ingin memukuli setiap orang yang lewat di hadapannya. Abim hanya bermaksud baik, ia tak tega dengan kedua adik kelasnya yang dijadikan korban bad mood Tika. Di sisi lain, ia juga merasa tak enak hati dengan pemilik warung berikut konsumen yang terganggu ketenangannya. Apapun yang sudah terjadi, di mata publik, Tika lah yang bersalah, karena melakukan tindak k*******n. Ia heran, memang apa saja yang Kinzie katakan hingga mendapat oleh-oleh berupa cap lima jari dari Tika. "Tik, udah deh ... Enggak usah ngomel mulu, cepet tua tahu rasa lo." Kontan saja Tika memukuli bahu Abim gemas. Dan Abim? Ia hanya bisa pasrah. "Mas Abim!" Abim dan Tika menoleh ke sumber suara bersamaan. "Mas Abim lama banget sih, Desi capek nunggunya," rajuk Desi setelah mendekat. "Sorry, mas tadi nungguin mbak Tika. Dandannya lama," bisik Abim pada kalimat terakhir. Tak mungkin ia bilang, "Sorry, mas tadi nungguin mbak Tika. Berantemnya lama." "Oh, pantesan mbak Tika cantiiik banget," puji Desi tulus. Tika mengulum senyum, jarang ada yang bilang Tika itu cantik. Kebanyakan orang akan bilang kalau Tika itu galak dan ringan tangan pada orang yang mengatakan hal tersebut. "Yuk, mas, papa udah di dalam." Abim mengangguk dan membiarkan Desi memimpin jalan dengan semangat. "I-ini butik om Bayu?" tanya Tika seraya turun dari motor, Abim hanya menjawab dengan mengedikkan bahu. Tika mendecak sebal, ia mengekori Abim dengan sedikit menghentakan kaki dan bibir yang bergumam entah apa. Sampai di dalam, Tika membulatkan mata sipitnya. Ia berjalan ke sana-ke mari demi melihat beragam model kain batik yang menarik minatnya. Mulai dari; kebaya yang terlihat sedikit kuno namun berkesan elegan, kemeja lengan pendek dengan bawahan berupa rok hitam selutut, dengan corak batik yang sama dan masih banyak lagi. Ia berjalan tanpa arah, hanya mengikuti ke mana kakinya melangkah. "T I K A . . ." Deg! Tika menghentikan langkahnya saat sebuah suara terdengar lirih di telinganya. Bisikan seringan angin yang seolah disuarakan di depan telinga. "T I K A . . ." Lagi, suara itu terdengar lirih membuat tengkuk Tika terasa berat. Tika menoleh ke sembarang arah, sialnya ia berada di pojokan belakang butik yang tentunya sepi. Hanya ada banyak -semacam- selimut putih yang di gantung menjuntai ke bawah hingga lantai. Jantung Tika berpacu saat aroma menur menusuk hidungnya. "Sepi banget ..." Hening, suara yang tadinya terdengar, kini makin samar di telinganya, seolah ia berada di dimensi lain. Tangan Tika bergetar, punggungnya terasa dingin menusuk. Perlahan, kumpulan selimut putih mulai melambai-lambai, seolah tertiup angin. Tika sangat yakin tak ada angin nakal yang berhembus sepoi-sepoi di sudut ruangan. Tika mengusap tengkuknya berkali-kali. Selimut-selimut yang tadinya melambai pelan, kini lekas bergerak tak beraturan, seolah ada yang sengaja menggerakkannya. Tika melihat sesuatu! Siluet seorang perempuan dari balik selimut, matanya mengenali setiap lekuk dan bahu dari sosok tersebut. Wush ... Tiba-tiba angin bertiup kencang, hampir menerbangkan selimut yang tadi dan memperlihatkan sosok perempuan mengenakan sweater berwarna cream, kulit pucat pasi, sebilah pisau di tangan kanan dan sebuah "pocongan" di tangan kiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD