DUA SEMBILAN

1260 Words
-29- Abim berjalan dengan lemah dan tanpa semangat. Beberapa kali kakinya terantuk bebatuan atau kakinya sendiri. Sekolah memulangkan murid-muridnya lebih awal karena kejadian tadi, mungkin juga akan diliburkan beberapa hari hingga kabar tersebut mereda. Dan di sinilah Abim, di depan rumahnya sendiri sambil menempelkan dahinya ke pintu usang yang selama ini menemaninya. "Jully ...." desahnya lemah. Abim membuka pintu itu tanpa kendala, berjalan tiga langkah dan menjatuhkan dirinya ke lantai, tempat di mana kumpulan sandal dan sepatu berjejer rapih. Entah, seingatnya pagi ini tempat itu amburadul, tanpa sandal cewek yang kini terparkir manis di sebelah wajahnya. Abim tak perduli dan tak ingin tahu sandal siapa itu, feminin sekali hingga Abim merasa aneh. Ia memandang kosong langit-langit retak yang pudar warnanya, ada banyak hal yang mengganggu pikirannya; seperti indera penciumannya yang semakin tajam, perasaan aneh yang mengganggu, emosinya yang cepat naik-turun, dan lagi, jasad Jully. Ia sangat ingat, jari manis sebelah kiri Jully hilang! Terpotong rapih. Dan satu lagi yang tak bisa dilupakan Abim dengan mudah, bekas luka bakar berbentuk keris di lengan Jully, luka yang sama dengan milik Dika. Abim mendengus berat, lalu ia melepas dasi abu-abunya dan melemparnya ke sembarang arah. ia mendudukkan tubuhnya yang banjir keringat, melepas satu-persatu kancingnya dan melempar seragamnya, menanggalkan kaos abu-abu yang membungkus tubuh. "ARGHT!!!" jeritnya saat tiba-tiba telinganya tertarik ke atas. "Bagus ya, pinter emang elo. Udah capek-capek gue beresin, masih aja elo ulangi lagi!" omel Tika panjang. Abim menjerit saat Tika makin gemas menjewer telinganya. "Ampun, Tik! Iya, ga bakal gue ulangi!!" Abim memohon, telinganya hampir copot. Tika melepas tangannya lalu memunguti dasi dan seragam Abim. Abim memutar tubuhnya, dengan tanpa minat, ia menangkap pakaiannya yang dilempar Tika. "SEKALI LAGI BAKAL GUE BAKAR TUH SERAGAM!" Abim terdiam, ia hanya pasrah saat Tika mengomelinya. Tak mungkin kalau ia balik memarahi Tika, ujung-ujungnya Tika menangis dan Abim lah yang akan repot. Di detik berikutnya, Abim membelalak, ia menyadari saru hal. "Tik, lo ngapain di rumah gue?!" tanyanya, dan bukan hanya itu yang ingin ia tanyakan. Satu, Tika mengenakan pakaian santai, apakah Tika tak sekolah hari ini? Dua, Abim tak mendapati mobil Tika di depan, dengan apa Tika ke rumahnya? Jalan kaki, ojek atau antar jemput? Tiga, bagaimana cara Tika bisa masuk ke rumahnya?! Abim selalu ingat mengunci pintu rumah saat keluar. Ah, ia menyesal saat tak menyadari kalau ia tadi membuka pintu yang tak terkunci. "Harusnya gue yang nanya elo. Kenapa jam segini elo udah balik? Enggak sekolah, lo? Bolos, hah?" Abim menganga. Apa-apaan dengan sikap Tika. Bukankah harusnya Tika yang menjawab terlebih dahulu, ini kan rumahnya, di sini Tika sebagai tamu tak diundang. Dan lihatlah, Tika duduk dengan santai di sofa, seolah ia adalah sang nyonya rumah. "Sekolah gue pulang cepet hari ini," jawab Abim setelah melepas sepatu, berikut kaos kakinya. "Emang elo enggak sekolah?" tanya Abim setelah duduk di hadapan Tika, lebih tepatnya di lantai depan Tika. "Sekolah gue libur." Abim mengerutkan dahi. "Terus elo ngapain di rumah gue?" Tika diam, ia bungkam rapat-rapat bibirnya dan malah membuang muka. Abim garuk-garuk pipi lantaran bingung dengan apa yang harus ia perbuat. Bukan apa-apa, keadaan sepi dan hanya ada dia berdua dengan Tika. Apapun bisa terjadi kalau Abim mau, tapi ia masih sayang nyawa. Masalahnya yang ada di hadapannya adalah Tika, gadis yang bisa mematahkan leher semudah pensil. "Kayaknya banyak yang harus kita omongin ...." putus Abim. Mata mereka bertemu, terhalang kaca mata modis Tika yang berwarna merah. "Emang lo mau—" "Sejak kapan lo di sini?" potong Abim seraya mendekatkan tubuh mereka. Tika menahan napas. "Ba-baru 10 menitan," jawab Tika gugup, karena Abim yang semakin mendekatkan wajah. "Elo perhatian banget ya, sama gue," tukas Abim dingin. "Rumah, elo yang bersihin. Piring kotor, elo yang cuci. Gue sakit, elo juga yang jagain." Tika menelan ludah susah, jarak mereka hanya tinggal 20cm. Bahkan Tika dapat merasakan hangat hembusan napas Abim. "Perasaan, penting banget gue bagi elo." Tika membelalak, ia tak terima arti dari kata-kata Abim barusan. Abim sama sekali tak penting baginya! Hanya karena ia memberi perhatian lebih; egois terhadap Abim dan sedikit manja, bukan berarti Abim orang yang sangat penting bagi Tika, ya begitulah pikiran Tika. "Gue juga mau nanya!" Tika menajamkan mata sipitnya, membalas tatapan Abim. Abim sedikit mundur lantaran takut tinju Tika melayang padanya. "Elo baik banget, ya, sama gue," ketus Tika tanpa perduli tangan Abim yang bergerak-gerak gelisah. "Gue mau ini; elo turutin, gue pengen itu, elo beliin, gue bentak-bentak, elo diem aja." Tika menarik napas. "Gue jewer, elo meringis, gue jambak, elo cuma pasrah!" Tika mencengkram erat pinggiran sofa, mencoba berbagi rasa gugupnya. "Perasaan, elo sayang banget sama gue!" pungkas Tika tanpa berpikir panjang. Abim membelalak, itu adalah omelan terpanjangnya. "Kaca mata lagi enggak waras!" Abim lalu turun kembali ke posisinya. Duduk di lantai membelakangi Tika yang tengah merutuki mulutnya yang asal bicara. Hening, tak ada yang bicara di antara keduanya. Hingga, terdengar sebuah suara teguran dari perut Abim, lancang dan tak keren sama sekali! "Laper gue," lirih Abim seraya berbalik dan menatap Tika melas. "Lo enggak laper, Tik?" "Tinggal makan aja rempong bener, sih?!" sungut Tika. "Apa yang mau dimakan? Gue enggak punya apa-apa lho, Tik ..." Tika menautkan kedua alisnya. "Gue sih gak papa. Tapi terakhir elo gue tinggal sendiri, lo nangis histeris." Tika mengumpat dalam hati, padahal ia tadi sudah lupa kalau rumah Abim terlampau sunyi. Hingga tanpa pikir panjang ia datang ke sana sendiri. "Pesen kek!" Tika melipat tangan di depan d**a. Keputusannya bulat. "Gak ah, gue pengennya yang langsung dari wajan!" Tika mendengus kesal. "Ck, resek lo! Yaudah, sono ganti baju!" Abim terkekeh senang, lalu segera melengos pergi. "Jangan lama-lama!" teriak Tika was-was. °°° "Lo masih enggak mau ngomong, kenapa lo ada di rumah gue?" Abim bertanya setelah menggeser dua piring pecel lele yang telah tandas. Ia dan Tika kini duduk bersebelahan di warung langganan Tika. Siapa lagi yang meminta ke sana, kalau bukan Ibu Ratu. "Gue ... Lagi banyak pikiran," ujar Tika ambigu, Tika menunduk dalam, ia tak bohong soal banyak pikiran. Terlalu banyak yang ia pikirkan hingga tanpa sadar ia tersesat di depan rumah Abim. "Setelah gue ketemu sama elo, banyak hal aneh di hidup gue." Abim mengerutkan dahi, bukankah maksud Tika kalau Abim lah sumber hal aneh di sekitarnya? "Gue makin sering mimpiin Siska," lirihnya. "Bahkan, kadang-kadang gue lihat Siska ada di belakang gue." Tika meremas kedua tangannya. "Banyak hal ganjil, Kakek gue udah divonis lumpuh karena diabetes, tapi lihat sekarang ..." Tika mengangkat dagunya. "Dalam waktu semalam, Kakek gue bahkan bisa lari. Terus, kepala sekolah gue tiba-tiba ngasih pengumuman libur, 45 menit habis bel masuk." Abim membulatkan matanya, ia tak tahu kabar yang terakhir itu. Harusnya Rian sudah memberi tahunya, tapi lihat ... Tak ada notifikasi dari Rian, sama sekali! "Dan elo!" Nada bicara Tika naik seper empat oktaf, pertanda buruk bagi Abim. "Harusnya elo di rumah. Kemarin lo bilang kalau tuh tangan mati rasa, Des sampek khawatir karena panas elo gak turun-turun." Ah, Abim pikir soal apa, ternyata masalah itu. "Gue udah sehat, lihat sendiri, kan?" Abim meraih botol mineral dan meneguknya. "Tapi serius deh, elo ke rumah gue pakek grab?" Tika mengangguk pelan, setengahnya jengkel karena sikap Abim yang sok baik-baik saja. "Lha emang mobil elo ke mana?" "Ck, biasa aja kalau nanya, enggak usah nyolot mukanya!" Tika mendorong pelan pundak Abim yang mulai berani dekat-dekat. "Mobil gue di bawa kak Dian. Gue aja pulangnya tadi nebeng sama Intan." "Lha, emang mobil kak Dian kenapa?" tanya Abim dengan mimik penasaran. "Bengkel. Ditabrakin pohon beringin depan kampusnya." Abim tergelak, lalu tertawa renyah. Tanpa ia sadari, ada dua pasang mata yang sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya sambil menahan geram.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD