DUA LAPAN

1338 Words
-28- "Desi mana, om?" tanya Abim setelah dokter memeriksanya. "Ketiduran di sofa," jawab om Bayu seraya duduk di tepi ranjang. "Tika juga baru pulang," sambungnya seraya merapikan ujung selimut tebal. "Saya heran, enggak biasanya kamu down begini, sampai tangan mati rasa." Abim mendelik. "Namanya juga manusia, kalau robot, rusak tinggal beli sparepart lagi." Abim mendudukkan tubuhnya agak susah. "Nih, baju kamu basah tuh." Om Bayu menyodorkan kaos kelabu polos pada Abim. Jeda sekian detik, Abim melempar senyum tanpa dosanya. "Tanganku mati rasa semua," tukasnya santai, seolah itu adalah hal biasa dan tak gawat sama sekali. Om Bayu mendecak, lalu melepas kancing baju Abim satu-persatu. "Untung saya, kalau Tika mungkin kamu bakalan khilaf!" Abim terkekeh, ia juga berpikiran sama. Bagaimanapun juga, ia masih pemuda normal. Tentu ia tak akan menolak. "Bim!" seru om Bayu tiba-tiba, membuat Abim sedikit terlonjak. "Ka-kamu ..." Om Bayu melebarkan matanya, ia tak menyangka kalau perut bagian kiri Abim melepuh, parah! Walau tak terlalu besar, tapi cukup untuk membuatnya menahan napas sesaat. Abim menautkan kedua alisnya, ia sama bingungnya dengan om Bayu. "A-aku enggak tahu apa-apa," lirihnya sambil menggeleng pelan. "Sumpah, aku enggak tahu apa-apa!" ulang Abim sedikit berteriak. Om Bayu menepuk bahu Abim pelan, ia mencoba bersikap tenang di tengah kerumitan yang berputar di kepalanya. Ia mencoba berpikir bijak di tengah ketidak normalan kondisi Abim. "Sudah, kita bahas ini lagi nanti. Sekarang kamu istirahat," putus om Bayu menenangkan. Banyak hal ganjil di sini; selain rumah Abim yang mendadak bersih, luka bakar di perut, lengan kiri hingga punggung, tangan mati rasa, dan sebuah kalung berbandul keris perak kecil di leher Abim. Kalung beraroma kematian yang amat mengganggu pikiran om Bayu. ~~~ Tika bersenandung lirih sambil menggendong kucing hitam yang berkalung pita merah, kucing misterius yang ia beri nama Rere. Sudah tiga hari ini Tika terpaksa berpisah dengan kucingnya, dan sekarang Tika hanya ingin menghabiskan waktu bersama. Tika melangkah ke dapur terlebih dahulu sebelum ke kamarnya, ia mengulurkan satu tangan ke atas, membuka lemari paling atas dengan sedikit berjinjit agak susah. Ia meraih kotak kardus bergambar kucing dan ikan dengan tetap setia menggendong Rere pada tangan lainnya. "Dapat!" Sedikit keringat membasahi dahinya, membuatnya tampak lebih elok di pandang, apalagi dengan seragam yang masih membungkus tubuh proporsionalnya. "Shhh ..." desahnya sambil meringis perih. Tiba-tiba Rere yang dari tadi anteng-anteng saja, kini mengeluarkan cakar tajamnya hingga menggores lengan Tika. Tak hanya itu, Rere meraung-raung tak tenang, khas kucing menantang berkelahi, keras dan amat risih! Tangan mungil penuh bulu yang semula tenang, kini mecakar udara dengan ganas. Tika terkesiap dan tanpa sengaja menjatuhkan Rere beserta kardus pakan kucingnya. Rere jatuh dengan gaya, tanpa jeda dan segera memasang sikap waspada, mata tajamnya menusuk ke arah belakang Tika, taring-taring mungilnya keluar, tanda tak main-main akan peringatannya yang barusan. Tanpa menunggu lama, Tika segera menyambar Rere, mengangkat tubuh imutnya tanpa tahu ada bahaya apa yang coba Rere hadapi, tanpa tahu ada peringatan apa yang coba Rere utarakan. "Kucingnya kenapa, Non?" Tika menahan napas, sebuah suara tiba-tiba menegurnya tanpa hawa keberadaan manusia di dekatnya. Tika menoleh pelan, ia menelan ludahnya agak susah. "P-pak Jo?!" kagetnya. "Ya ampun, saya kaget banget lho, pak." Tika mengusap keringat di dahinya yang barusan bertambah beberapa tetes. Jantungnya berdegub dua kali. "Bapak di situ dari kapan?" tanya Tika, sedikit menjauhkan Rere yang tak mau tenang sama sekali. "Dari tadi, Non," jawab pak Jo darat. Di antara para pembantu, sopir atau satpam, hanya pak Jo yang selalu kelihatan lesu. Raut wajahnya juga selalu kelihatan murung, bahkan kadang tanpa ekspresi. Nada bicaranya seperti angin, ringan dan cenderung berbisik. Tatapan pak Jo sangat dalam, terkadang membuat anak-anak tetangga menangis lantaran takut. Tika hanya ber oh ria. Jeda cukup lama, karena keduanya sling diam. Hanya ada suara Rere yang meraung-raung tanpa lelah. Tika jadi gugup sendiri, pasalnya ia sangat jarang berinteraksi dengan pembantunya yang satu ini, atau lebih tepatnya, pembantunya yang satu ini memang jarang berinteraksi. "Saya permisi, Non." Tika mengangguk kaku pada pak Jo. Tubuh Tika mendadak beku, lamat-lamat ia dapat mendengar suara bisikan pak Jo yang sudah agak jauh darinya. "Habisi Banu ...." Butuh waktu lama agar Tika sadar. Ia menggelengkan kepala, mencoba berpikir kalau yang tadi itu mungkin cuma halusinasinya saja, ya ... Semoga. Selain itu, Tika merasa heran. Ia belum pernah melihat reaksi Rere yang seperti itu. Biasanya Rere hanya akan meraung atau mencakar kalau ada tangan lain-selain tangannya dan Abim-yang menyentuhnya. Tapi kini, Rere sudah siap menyerang bahkan sebelum pak Jo mendekat! "Ya ampun Tika ... Berisik banget sih?" gerutu ibunya yang baru datang dengan tampilan acak-acakkan. "Itu juga, makanan kucingnya kok disebar di lantai sih?" Tika menunduk, ia baru sadar kalau sedari tadi pakan kucingnya tersebar rata di lantai. "He he he, ini nih, Ma. Si Rere bandel, kayak ..." Tika bungkam, ia hampir mengatakan hal konyol seperti, "Kayak Abim." Ibunya hanya menggelengkan kepala, mencoba bersabar dengan kucing aneh puterinya. "Mama dari mana?" Tika berjongkok dan memunguti satu-persatu pakan kucing yang baunya aneh dengan satu tangan, malas. "Dari ... Kamar." Tika menghentikan aktifitasnya sejenak. "Siang-siang gini?" Ibunya mengangguk mantap. "A-acak-acakan?" Tika mendongakkan kepala. "Emang Mama ngapain?" Ibunya hanya mengulum senyum dengan sedikit rona di wajahnya. Tika mengerutkan dahinya curiga. "Jangan bilang kalau Mama sama Papa ..." ~~~ Selasa 09.45 WIB Tio Danuarta, pemuda itu melangkahkan kaki ringan, walau ia membawa tumpukan kertas yang amat banyak, hatinya berbunga-bunga. Setelah kemarin meminta Tika untuk menjemput sahabatnya, Dewi mendatanginya ke sekolah, mengajaknya untuk memantau Tika. "Gue penasaran, sejauh apa hubungan mereka." Tio ingat kata-kata Dewi kemarin. Walau Dewi bilang "cuma memata-matai" siapa tahu kalau Dewi juga ingin terus-terusan dekat dengan Tio. "Udah mulai gila, lo?" Tio menghentikan langkahnya, ia menoleh pelan dan seketika membelalak saat tahu siapa yang berani mengejeknya. "Abim, lo kok sekolah?!" teriak Tio. Ia tak percaya kalau orang yang kemarin dalam keadaan mengenaskan, kini tengah berdiri santai sambil menyandarkan punggungnya. "Emang aneh kalau gue sekolah?" tanya Abim balik. "Yang aneh malah elo, dari tadi senyum-senyum sendiri kayak orang gila!" tukas Abim seraya melepas headset hitam yang menyumpal telinga kirinya. "Gue udah sehat, lihat?" sambung Abim, ia lalu merebut setengah tumpukan kertas dari tangan Tio. "Tapi-" "Udah ah!" potong Abim. "Yuk, gue bantuin, elo mau ke ruang guru, kan?" Tio mengangguk pasrah. "Sip, kebetulan gue juga ada keperluan sama pak Samto. Biasa, laporan mingguan." Abim berjalan mendahului. Di depannya ada pemandangan yang hampir setiap hari di suguhkan, banyak murid yang mundur, lebih tepatnya menghindar saat Abim berjalan-jalan di koridor. "Eh Bim, lihat tuh, rame banget." tegur Tio agar Abim juga ikut menghentikan langkahnya di pertigaan, tak jauh dari ruang guru. Abim ikut berhenti dan menoleh pada kerumunan siswa/i yang memenuhi koridor. Tanpa pikir panjang, Abim melangkah tergesa membelah kerumunan. Firasatnya tak enak, dan ia tak mau bertaruh apa yang ada akan dilihatnya nanti. "Woy, Bim!" panggil Tio yang terkejut saat Abim melesat pergi. "Permisi, numpang lewat!" seru Abim panik. Ia menyerobot berusaha menuju kerumunan paling depan. Agak susah, karena ia masih membawa tumpukan kertas di kedua tangannya. Ia tak perduli keluh-kesah orang-orang yang tak sengaja ia injak kakinya, atau ia senggol agak keras. Kerumunan memberi jalan saat tahu kalau Abim datang, sebagian mencela, sebagian meludah dan mengumpat dalam hati. Suasana langsung hening, tak ada yang bersuara, bahkan berbisik pun mereka enggan. Abim menahan napas, pupilnya melebar saat ia sudah ada di bagian terdepan. "Ju-Jully?!" seru Abim tertahan. Di hadapannya, seorang gadis tergeletak di lantai, lantainya banjir darah merah pekat, masih hangat. Banyak luka sayatan di tubuh gadis tersebut. Abim meletakan tumpukan berkasnya hati-hati, lalu ... Dengan langkah berat ia mendekati jasad Jully. Abim menunduk, bertumpu pada lututnya. Ia amati Jully lekat, mengamati wajah pucat dan matanya yang membelalak ngeri, mulutnya sedikit terbuka. Seragam yang tadinya putih nan rapih, kini berubah menjadi kain yang penuh goresan dalam, warna merah melukis sebuah corak pada seragam yang masih membungkus pemiliknya, lengkap dengan dasi tanpa ada kancing yang hilang. "Abim!" panggil Tio yang datang bersama beberapa guru. Abim menoleh pelan, menatap Tio dingin. Tio menegakkan punggung, ia merapatkan mulutnya rapat-rapat. Ekspresi Abim satu setengah tahun lalu, awal dari semua kegilaan yang kini di tanggung Abim selama sisa sekolah menengah atas nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD