DUA TUJUH

1551 Words
-27- Abim menurunkan kembali lengannya setelah merapikannya terlebih dahulu. "Gue dapet ini tadi malem," lirihnya. "Gue nyuruh elo kemari karena gue mau minta tolong ..." Tio tercekat, ia tersedak ludahnya sendiri. "Minta tolong?!" Ini kali ketiga Abim minta tolong padanya, sejak persahabatan mereka yang di mulai dari kelas 7. Seingatnya, yang kedua saat orang tua Abim meninggal. "Jauhin mas Jun!" Tio membelalak. "Apa lagi ini?!" "Gue juga gak tahu kenapa, feeling gue bilang kalau mas Jun itu ... Berbahaya!" Abim meneguk ludah, sekedar memberi sedikit jeda. "Cerita gue kemarin enggak sepenuhnya benar, dan mas Jun tahu itu ..." Tio menyimak sambil mengamati wajah Abim yang kian pucat. Abim menelan ludahnya susah payah, keringat dingin mengucur dari keningnya yang mengerut, terlihat bahwa ia tengah menahan rasa sakit yang amat sangat. "Satu lagi ..." Tio mengangguk pasti, membuat Abim menghembuskan napas lega. "Tolong bilangin sama Tika, hari-hari ini gue belum bisa nganterin Rere pulang. Kalau dia mau jemput Rere, jemput gue sekalian." Tio ingin tertawa, tapi ia tak bisa. Ia geleng-geleng kepala, bisa-bisanya Abim memikirkan nasib kucingnya di saat seperti ini. "Lah, lo gak bawa motor?" tanya Tio saat baru menyadari sesuatu dari kata-kata Abim barusan. "Enggak, tangan kiri gue mati rasa, gak bisa digerakin." Abim merutuki motor sialnya yang berkopling. Dulu, ia tak menyangka kalau akan ada adegan seperti ini. "Udah? Itu doang?" Abim mengangguk lemah. "Oke, bisa gue atur." Abim tersenyum tulus. Kepalanya terasa amat pusing, dan tubuhnya sangat panas. "Lo mending tiduran di UKS, ntar gue yang bilang," tawar Tio. Abim terkekeh kecil karenanya. "Lama-lama elo kayak Teteh, deh. Geli gue." Tio mendengus, ia memang jadi cowok cerewet kalau Abim dalam keadaan demikian. °°° 14.09 Tika menggigit bibir bawahnya seraya mencengkram erat setir kemudinya. Ia telah bersumpah untuk tidak menginjakkan kakinya lagi di SMA Awan, dan kini ... Ia harus menunggu dengan sabar di depan gerbang belakang SMA tersebut, seperti beberapa Minggu lalu. Kalau saja Tio tak memaksanya dengan membawa-bawa keadaan fisik Abim yang menghawatirkan, Tika tak akan sudi! ••• "Tik, lo jemput Abim ya, please ...." rengek Tio memohon, Tika hampir saja menjatuhkan hpnya karena nada bicara Tio yang aneh. "Enggak!! Emang tuh Monyet kenapa?" bentaknya, Tio bahkan sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga. "Lo bakalan nyesel kalau sampai Abim kenapa-napa." Tika mengerutkan keningnya. "Abim sakit parah, dan lo bakalan gak bisa ketemu sama si Rere kalau Abim sampai diopname." Tika membuka mulutnya, bersiap memuntahkan beragam cercaan pada Tio, dan sebelum semua itu terjadi ... "Saking parahnya, tangan kirinya mati rasa. Gue yakin kalau tangan kanannya bakalan nyusul." Tika mendecak sebal. Dalam hati ia menaruh dendam pada Tio yang seenaknya meminta. "Oke, gue jemput." "Thanks, Tik, gue enggak tahu harus gimana kalau enggak ada elo." ••• Kira-kira begitulah percakapan Tio dan Tika beberapa jam yang lalu. Tika turun dari mobil silvernya karena merasa bosan, bertepatan dengan bel tanda berakhirnya pelajaran. Pintu gerbang dibuka oleh seorang satpam, disusul para siswa yang berhamburan; ada yang bersama teman, pacar, ada juga beberapa grup yang terdiri dari jenis kelamin yang sama seperti dirinya, bahkan ada yang sendirian. "Tika?" panggil seseorang gadis berkaca mata. Tika menoleh dan mendapati Asri tengah berlari kecil menghampirinya. "Asri, lo ..." Tika memegang kedua bahu Asri dan mengamatinya dari ujung kepala hingga kaki. "Gue sampai pangling, gue kira siapa, taunya elo." Asri terkekeh kecil, sedikit malu-malu hingga matanya hampir hilang. "Bosan gue kuncir rambut, sekali-kali gue gerai, itung-itung ganti mood." Tika mengangguk-angguk paham. "Eh, btw elo mau jemput Abim, ya?" Tika mendengus berat. "Gue sih males, tapi ya ... Gitu deh." Asri ber oh ria, lalu menjentikkan jarinya. "Ah! Untung elo mau jemput, tadi Tio sempet bingung juga kalau elo nolak." Tika mengerutkan dahi tak mengerti. Lebih tepatnya, tak paham akan situasi yang sekarang. "Hari ini anak basket kumpul, Tio yang jadi kapten otomatis gak bisa nganterin Abim karena sibuk, terus teh Rika juga Ijin enggak masuk," terang Asri. Tika mengangguk pelan. Keduanya menoleh bersamaan saat Tio memanggilnya. Terlihat, Tio yang menyampirkan lengan kanan Abim pada bahunya, guna membantu sahabatnya berjalan walau susah. Tika memandang Abim dengan iba. "Pucat banget ..." gumamnya setengah khawatir. "Dari tadi Abim enggak mau disuruh pulang," tukas Asri lirih. "Nah, gue titip Abim, ya. Sorry kalau gue jadi bebanin ke elo," ucap Tio setelah memasukkan Abim ke mobil Tika. "Satu lagi, hari ini mas Eno enggak di rumah, jadi Abim bener-bener sendirian," sambung Tio yang diangguki Tika. "Hati-hati di jalan, Tik." Asri melambai pelan, melepas kepergian Tika. °°° Tika menghela napas berat. Baru saja ia membuka pintu rumah Abim, pemandangan kapal pecah tersuguh di depan matanya. Sampah di sana-sini, pakaian kotor berserakan, piring dan gelas berceceran di lantai dan masih banyak lagi. Memang, rumah seperti ini butuh sentuhan wanita, tentunya yang pandai bersih-bersih seperti dirinya. "Bukan waktunya ngomel, Tika ..." Tika menggeleng, ia telan semua omelan panjang kali lebar yang siap disemburkan setiap saat. Mengingat, si pemilik rumah belum siap kena semprot. Dengan telaten Tika memapah Abim pelan, membawanya ke kamar yang biasa Abim pakai. "Rere!" panggil Tika saat mendapati kucing hitam yang tengah memandangnya polos. "Sini sayang ..." ucapnya setelah membaringkan Abim. Dalam diam, Tika memandangi Abim yang sedikit terengah sembari memejamkan matanya. Napasnya hampir habis, panas menjalar dari punggung hingga d**a, dan rasa sakit mengekang kedua tangannya. Tika menghela napas, lagi. Meletakan Rere yang tadi nyaman di gendongannya dan beranjak menuju ruang tengah, lalu membereskan kekacauan yang Abim perbuat. Pakaian kotor, sampah kertas, plastik, dan semua barang tak berguna yang ada di sana, ia singkirkan dengan kejam, alih-alih melampiaskan kekesalannya pada Abim. Bahkan mencuci piring dan gelas ia lakukan! "Ini terakhir kali gue jadi pembokat gratisan di sini!" gerutunya sambil menggosok piring. "Enggak di kasih apa-apa, malah gue yang repot!!" Lagi, piring malang itu nampak retak sedikit. "DIBILANGIN NGEYEL, NYEBELIN, NGESELIN, ENGGAK JELAS!!!" Trak! Piring jadi dua. Tika menarik napas dalam-dalam, mengatur napas dan kembali bersikap tenang setelah membuang potongan beling di tangannya. Meow! Tika menunduk dan mendapati Rere tengah duduk dan mendongakkan kepalanya. Wajah polosnya menghipnotis. Tika tersenyum ramah, setidaknya ada pelipurnya di sini. °°° "Selesai ...." Tika meregangkan otot-ototnya. Setelah mengelap tangan yang basah ia segera menggendong Rere menuju kamar Abim yang berada di sebelah dapur. "Badan lo panas banget." Tika menarik kembali tangannya dari dahi Abim. Walau begitu masih ada kesan ketus dalam nada bicara Tika. Abim melempar senyum andalannya pada Tika yang mencebikkan bibir. "Enggak usah lebay!" Abim terkekeh geli mendengarnya. "Pokok ini terakhir gue lihat rumah elo berantakan!" tegas Tika tanpa tawar-menawar. "Lah, Tik. Ada yang lebih parah dari gue lho ..." celetuk Abim tanpa beban. "Bramantio Wijaya," sambungnya menerawang langit-langit. Tika membuka bibir sedikit, ia kenal siap yang Abim maksud. Tok! Tok! Tok! "Permisi! Mas Abim!" seru panggilan dari luar. Tanpa pikir panjang, Tika langsung beranjak menuju pintu untuk membukanya, seolah ia adalah nyonya rumah itu. Abim hanya melongo saat Tika pergi tanpa sempat berbuat apa-apa. Ceklek! "Mas Ab ... Bim?" Si pemilik suara ternganga mendapati seorang gadis berkaca mata asing yang membukakan pintu untuknya. Tika terhenyak, ia lupa kalau ini rumah Abim. Tika menutup mulutnya rapat-rapat. Ternyata si pemanggil tadi adalah seorang gadis cilik bersama seorang pria dewasa. "Eh ... Kamu siapa?" tanya lelaki itu bingung. "Tenang, Tik. Tenang ..." "Sa-saya Tika, om," jawabnya gugup. Pria di depannya mengerutkan dahi bertanya-tanya. "Terus, Abim nya di mana?" Tika menelan ludahnya dengan susah. Padahal ia tak perlu sampai sepanik ini. "Ada di kamar, om." Si gadis cilik langsung berhambur masuk, membuat Tika sedikit mundur lantaran terkejut, menjatuhkan Rere yang dari tadi anteng dalam dekapannya. "Boleh saya masuk?" tanya lelaki itu sopan. "Bo-boleh, boleh. Mari, om ...." Setelah pria itu masuk, Tika langsung menuju dapur, menyiapkan minuman atau sejenisnya. Ia panik, belum pernah menyiapkan suguhan, biasanya di rumah ada bi Iyem yang menyiapkan. Tapi di sini ... Hanya Tika yang keadaannya masih sehat, tak mungkin, kan, harus Abim. "Ini ... Om, minum dulu," ucap Tika kikuk. Ia ingin berteriak saja. Pria di depannya tersenyum ramah, memperhatikan sekeliling ruang dan menarik sudut bibirnya lebih tinggi. "Seingat saya rumah ini jauh dari kata rapih," tukasnya setelah menyeruput kopi buatan Tika yang terlalu manis. "Duduk dulu dong, saya pengen bicara sama kamu." Tika mengangguk pasrah, ia tak tahu harus bilang apa jika ditanyai macam-macam. "Nama saya Bayu." Om Bayu mengawali sambil mengulurkan tangannya. "Sa-saya Tika, om." Tika menyambut uluran tangan om Bayu dengan sedikit gemetaran. "Papa, mas Abim sakit!" seru gadis cilik itu sambil berlari kecil dan dengan semangat melompat ke pangkuan ayahnya. "Iyakah? Kalau gitu kita panggil dokter." Si gadis cilik itu mengangguk antusias. "Tapi, kenalan dulu dong sama temennya mas Abim." Si gadis turun dan memperhatikan Tika polos, lalu memiringkan kepala dan mengerjap imut. Ah ... Tika ingin punya satu yang seperti itu. "Mbak, temennya mas Abim?" Tika mengangguk kaku. Ia sudah coba rileks, namun sejauh ini masih nihil. "Nama mbak siapa?" "Tika, Kartika Sari," jawab Tika sambil melempar senyum manis. "Oh, kenalin mbak, nama aku Desi," sahutnya riang dan penuh semangat. Tika ingin sekali mencubit pipi gembul Desi. "Owh ... Desi kelas berapa?" Desi mengangkat satu tangannya dan melebarkan kelima jarinya. "Lima!" Tika mengangguk dan ber oh ria. "Desi pengen jadi cantik katak mbak Tika," tukas Desi polos. Tika tersanjung dan tertawa renyah. "Biar bisa nikah sama mas Abim," sambungnya, membuat Tika membeku untuk sesaat. "Tapi kalau ada mbak Tika, mbak Tika aja deh yang nikah sama mas Abim."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD