DUA ENAM

1077 Words
-26- Raka Sanjaya, cowok populer dengan gelar most wanted. Tampan, kaya dan bisa segalanya. Cewek mana yang menolak keelokan Raka? Tinggi, putih dan bentuk badan atletis. Pastinya cewek itu katarak! Tapi, kalau berani bilang begitu pada Tika, sudah pasti besoknya orang yang mengatakan itu akan sekolah dengan gips di kedua tangan atau paling tidak jalan pincang. Entah itu cowok atau cewek! "Rak, mau sampek kapan itu muka mau elo tekuk?" sindir Aga yang tengah menyulut sebatang rokok. "Rak, udah deh ... Lo lupain aja si Tika. Yang lain kan banyak," sahut Geo. "Iya, nih, geli gue lihat tampang galau elo, Rak!" timpal Faza yang baru datang seraya menutup pintu rooftop, basecamp kekuasaan mereka. "Bisa enggak sih, lo semua enggak manggil gue 'RAK' emang gue apaan?!" sungut Raka tak terima. Raka merogoh sakunya, mengambil sebatang rokok dan memain-mainkannya di antara jemari. "Lebam di pipi elo masih juga kelihatan ..." tukas Geo yang kini juga menyulut rokok di bibirnya, ia penasaran dengan bekas luka itu, terlalu kentara untuk sebuah bogem mentah. Raka meraba rahang hingga pipinya pelan sambil meringis. Ia heran, bahkan rasa sakitnya tak kunjung reda. "Gila, emang elo enggak ngelawan?" tanya Aga sambil menghembuskan asap pelan. "Gue enggak bisa ...." lirih Raka setelah jeda yang lumayan panjang, membuat ketiga kawannya saling pandang dalam diam. "Gu-gue enggak sanggup lihat mukanya, bahkan gue masih gemetaran kalau bayangin tuh cowok!" terangnya kecut. Geo menautkan kedua alisnya. Ia mengenal Raka cukup lama, Raka adalah tipe cowok arogan yang pantang mundur. Kini? Di mata Geo, Raka bagai seekor anak kucing di hadapan serigala. "Cowoknya Tika, kan?" Faza mendekat seraya menepuk bahu kokoh Raka. "Gue enggak yakin kalau itu cowoknya." Faza menghembuskan napas kasar. "Come on man, tunjukin siapa elo. Kasih tahu siapa itu Raka Sanjaya!" Raka mengangkat dagu, matanya membentur netra cokelat Faza. Perlahan, binar di mata Raka kembali pada tempatnya. Namun, masih saja sosok itu terlihat asing bagi Geo. "Ya, bakal gue tunjukkin siapa itu Raka Sanjaya!" ucap Raka dingin namun penuh keraguan. Geo termangu, ia heran dengan sosok Raka yang sekarang, bagi Geo, Raka seolah menyembunyikan sesuatu yang besar. "Emang elo mau apa? Elo bilang, kalau lihat mukanya aja elo enggak berani?" tanya Aga sambil menginjak putung rokoknya yang sudah habis. "Lihat aja, seorang Sanjaya enggak akan tinggal diam. Kalau dia kasih satu, Sanjaya bakal bales sepuluh kali lipat!" ~~~ "Nik, pinjem pulpen donk ..." pinta Tika. Niko yang duduk di belakangnya mendengus, ini sudah kali ke tiga Tika meminjam pulpennya. Bukannya pelit, hanya saja kalau sampai pulpen itu berpindah ke tangan Tika maka dalam kurun waktu dua jam lagi, pulpen itu raib! "Nih, yang terakhir," ucapnya ketus, Tika menerimanya dengan senang hati. "Eh, Tik, lo kemaren ke mana aja? Di cariin Raka." Intan yang duduk semeja dengan Tika berbisik, ada pak Enggar di depan yang tengah duduk di meja guru dengan tampang serius. "Gue pulang, lah," bisik Tika di tengah kegiatannya mencoret-coret buku. "Enggak usah ngeles, kemarin gue lihat elo bareng cowok di toko buku Juna." Tika menoleh pelan. "Gue enggak cuma bareng satu cowok, lagian gue juga bareng-" Brak! Seluruh siswa yang tadinya fokus dalam tugas kini mendadak hening, semua saling pandang dan bertanya satu sama lain. Setelah keheningan yang cukup lama, kini bisik-bisik terdengar rata dari belakang hingga depan. "Harap tenang!" teriak pak Enggar sambil berdiri. Pria paruh baya itu berjalan pelan menuju pintu cokelat yang tertutup rapat. Jika ingin tahu apa yang ada di luar, hanya pintu itulah akses satu-satunya. Jendela? Jangan harap bisa mengintip ke luar melalui jendela kaca yang dilapisi plastik super buram. Di SMA Bintang, pada saat belajar, ya harus fokus belajar. Tinggal satu langkah dari pintu, pak Enggar ragu untuk membukanya, ada banyak suara bisik-bisik yang terdengar dari luar, ada banyak hingga membuat pak Enggar menelan ludah. Ada aroma menur yang tercium samar, membuat pak Enggar hampir mundur. Ada terlalu banyak pertanyaan di benaknya, banyak keraguan yang menahan kakinya. Brak!! Lagi, suara sebuah benda tumpul yang dihantamkan langsung ke pintu. Bukan hanya dua kali. Semua diam, kesunyian merambat amat cepat, beberapa anak mengusap tengkuk mereka yang terasa tegang. Keringat dingin mengalir dari pelipis, punggung dan bagian-bagian tertentu. Sebagain ada yang menahan napas saat suara dobrakan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras dari yang sebelum-sebelumnya. Dan ... Di gebrakan itu pak Enggar segera menarik kenop secepat yang ia bisa. Tak ada apa-apa! Pak Enggar melongok keluar, menoleh ke kiri-kanan seolah sedang menyebrang jalan. Tapi sayang, yang ia cari tak kelihatan, sama sekali! Pria paruh baya itu mendongak dan menatap lekat CCTV yang ada di ujung pertigaan koridor, merekam tepat ke arah depan kelasnya. "Siapapun yang iseng tadi, akan kena batunya!" gumamnya sambil tersenyum simpul. ~~~ "As, lo mau ke kantin?" tanya Abim pada Asri yang baru beranjak setelah bel istirahat. "Iya, mau nitip?" Abim mengangguk lemah. "Apaan?" "Titip salam buat Tio." Asri mengernyitkan dahi bingung. "Bilangin, gue ada perlu sama dia. Urgent, darurat, terserah lo mau bilang apa, intinya sekarang!" tukas Abim lemah. "Hp gue ketinggalan," sambungnya. Ia sendiri bingung harus apa, pasalnya tinggal enam orang yang kini masih bertahan di kelas, termasuk ia dan Asri. Empat lainya perempuan ahli gosip, sangat tak mungkin kalau ia meminta tolong pada mereka. "Udah, sana lo ... Keburu masuk entar," usir Abim. Asri mencibir sambil berlalu. Abim membuang napas berat, ia lalu menempelkan dahinya ke meja. Samar-samar ia dapat mendengar percakapan perempuan-perempuan yang masih tinggal di kelasnya. "Ternyata si Utami juga dapet," bisik salah seorang. Abim hafal dengan suara cempreng itu, kalau tak salah namanya Tiwi. "Beneran? Habis Asri, Juwi, Utami, entar siapa lagi, ya?" bisik Ika. "Tahu enggak, siapa yang pertama dapet?" Riri menimpali, memberi sebuah tebakan. "Yang pertama dapet ternyata teh Rika," lirih Riri. Abim menahan napas, sedikitnya ia terkejut dengan info itu. "Kalau dihitung, teh Rika udah dapet kiriman tiga kali! Mulai dari pertengahan Maret." Riri semakin melirihkan suaranya. Abim merapatkan bibirnya. "Hebat banget ..." pujinya. Padahal, yang ia tahu kalau sumber info itu cuma Nino atau Eza, ternyata cewek lebih tahu segalanya. "Bim, lo mau sampek kapan tiduran mulu?" Abim langsung mendongak, menatap heran Tio yang sudah duduk di bangku Rizal sambil menghadapnya. "Sejak kapan lo di situ?" bisik Abim . "Sejak Riri bilang Teh Rika dapet," jawab Tio tanpa tahu apa yang para perempuan itu maksud dengan kode dapet. "Lo kenapa sih? Heran gue," sungut Tio saat Abim malah diam. "Gue ..." Abim menelan ludahnya, lalu perlahan mengulurkan lengan kirinya. Menyingkap lengan bajunya hingga ketiak dan menunjukkan sebuah luka bakar pada sahabatnya. Tio menganga, ia ingin bicara tapi tak bisa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD