ENAM

1017 Words
"Uh ..." Tika mengeluh panjang, lalu mengerjapkan matanya berkali-kali. Kemudian, mendudukkan dirinya dan menatap ling-lung sekitar. Rasanya puding, bagian belakang kepalanya terasa ditekan kuat. "Tika!" panggil Dian sambil mengetuk pintu agak keras. "Apa?" sahut Tika tak kalah keras, masih dengan posisinya. "Hari ini mobil merah gue pakek. Lo pakek yang putih aja," sambung Dian dengan suara lantang "Ck, iya!" jawab Tika malas. Ia segera bangkit dan menatap malas kucing yang tidur di ranjangnya. benar-benar salah posisi, harusnya Tika yang tiduran di ranjang. "Siska," desahnya. Ia segera melangkah ke kamar mandi, tubuhnya sakit karena semalaman tidur di lantai. °°° Pyar! Tika mengeluh lagi, ini sudah kali kedua Tika menjatuhkan gelas hari ini, mungkin jika diteruskan Tika bakal memecahkan sebuah piring atau mangkok. Tika membungkuk, jemarinya meraih pecahan beling yang berserakan di dekat sepatunya. "Lo nggak papa, Tik?" tanya Intan yang ikut membantu Tika memunguti pecahan gelas. Keduanya kini jadi sorotan penghuni kantin, tak ada yang berniat membantu, hanya prihatin. "Nggak papa, kok," jawab Tika lemas. Tika sudah kehilangan fokus sejak kemarin pagi. Apalagi, setelah kejadian semalam, mimpi buruk paling nyata bagi Tika. "Mending lo istirahat aja, Tik." Tika mengangguk lemah. Saat hendak berdiri, tanpa sengaja ujung matanya menangkap sosok perempuan yang amat ia kenal. Berdiri mematung tanpa gerakan sedikitpun, Tika mengenalinya, sosok itu yang harusnya tak ada. "Sis-siska?" ucapnya ngeri, setengah tak percaya dengan penglihatannya. Buru-buru ia menengok ke ujung lorong kantin yang remang-remang. Kosong! Intan mengikuti arah pandang Tika, lalu beralih menatap Tika heran setengah iba. Tangannya terulur, mengusap punggung tangan Tika lembut. "Tik, udah, Siska udah ... Nggak ada!" ujarnya pahit. Jujur, Intan juga merasa kehilangan. Begitu pula dengan teman-temannya yang lain, Intan sadar jika ia tak boleh larut dalam kesedihan. "Ta-tapi, itu ...." Ucapanya terpotong karena Intan yang segera menggeleng cepat. Tika berani bersumpah kalau ia melihat sosok Siska yang berdiri di ujung lorong. Dengan seragam putih yang dibalut sweater berearna cream. Hanya saja, banyak sekali darah yang mengucur dari tangan kirinya. Menetes ke lantai dan menggenang saking banyanknya. "Rian!" panggil Intan pada seorang pemuda yang baru saja lewat. "Anterin Tika ke UKS, ya?" pintanya. Rian menunuduk mengamati ujung sepatunya. Gelagat aneh, seharusnya seorang pria tak melakukan gestur tersebut. Dengan sedikit ragu Rian membuka mukut. "I-iya," jawab Rian gugup. °°° "Ka-kamu nggak papa?" tanya Rian setelah Tika berbaring. Badanya lemas, wajahnya pucat dan tenggorokannya terasa kering, bibirnya berwarna abu-abu dan pecah. Tika mengangguk lemah, sebagai jawaban. Rian tengah kebingungan mencari topik yang pas untuk kondisi saat ini. Ia tak pernah akrab dengan siapapun, karena orang-orang bilang Rian itu aneh, gila dan bermacam hal lainya. "Hanya diam saja, hm?" Rian menggeleng cepat. "Ja-jangan mengajakku bicara saat tengah bersama orang lain!" "Tapi ... Kau harus di peringati, Rian!" Tika memandang heran pada Rian yang kelihatan, er ... Aneh! Bayangkan saja, tiba-tiba cowok itu terlihat marah, menggelengkan kepala dan mengepalkan tangan. Seolah Rian tengah bicara pada sesuatu yang tak ada. "Hati-hati ...." Rian mendengus, lalu menoleh pada Tika yang sedari tadi memperhatikannya. Rian menelan ludah dengan susah, ia tak ingin mendapat diskriminasi lagi gara-gara kelainannya. Brak! Pintu UKS terbuka secara paksa, mungkin dengan tendangan ringan.. Rian dan Tika sedikit terlonjak, kaget. Lalu menoleh ke arah pintu dan mendapati seorang pemuda berjalan masuk dengan angkuh. Tampan dengan segala pesona yang ia miliki, namun dari kelakuannya bisa sudah bisa ditebak, jenis orang yang bagaimana. Pemuda itu menuding Rian dengan telunjuk kirinya seraya berkata dingin, "Ke luar!" Rian segera beranjak pergi, ia tak ingin cari ribut. Tika sendiri menghela napas lelah setelah Rian hilang dari balik pintu. "Ngapain lo ke sini?" ketusnya kepada cowok yang berdiri tegap di samping tempatnya berbaring. Raka Sanjaya, begitu tulisan di name tag yang terpampang jelas di d**a sebelah kanannya. "Karena lo lagi sakit, jadi gue jenguk," ujarnya lembut, seraya duduk di tepi brangkar. Memberikan perhatian yang tak pernah ia beri pada siapapun, hanya Tika seorang. Bukan rahasia lagi kalau Raka mengejar Tika. Namun sayang, Tika bukan tipe cewek yang mudah leleh. Ia akan dengan tegas menolak Raka, apapun yang Raka lakukan, Tika mencoba tak peduli. "Lo mending pergi aja deh." Raka menghela napas berat. "Sabar, Tika mungkin lagi banyak pikiran," batinya menenangkan. Memberi semangat dan sugesti bahwa suatu saat, Tika akan ada di sisinya. Raka mengangguk lemah dan beranjak pergi. "Masih jutek aja lo sama Raka ...." Tika melengok ke bilik sebelahnya yang terhalang tirai, ia kenal suara itu. "Sejak kapan lo di situ?" tanya Tika sambil menyibak tirai, memperlihatkan Dewi yang masih berbaring di sana dengan santai. Dewi mengedikkan bahu, lalu menarik tirai yang menjadi pemisah antara dirinya dan Tika. "Sejak tadi sih," kekehnya. Tika mendengus, ia jadi ingat untuk menceritakan pengalamannya berhadapan dengan makhluk bernama Abim. Lalu berkata, "Sumpah, kemaren gue karatan nungguin elo!" Dewi mengangkat sebelah alisnya. "Tahu nggak, kemaren tuh, Abim bikin masalah. Mana pakek adu mulut sama kak Dian lagi, dan ... Uh! Kak Dea cuma nonton doang!" cerocos Tika. "Kalau soal Abim aja ember banget," cibir Dewi dalam hati. "Ya sorry, gue kan nganterin Tio ke rumah sakit." Dewi beranjak dan duduk di sisi brangkar Tika. "Di sana nyokapnya, baik banget lagi. Bayangin aja, gue ditraktir makan sepuasnya," terangnya bangga. Tika hanya mendecak sebal. "Abim udah cerita?" tanya Dewi yang langsung diangguki Tika. "Walau enggak semua sih." Dewi ber oh ria menanggapi. "Cuman, kemaren Abim bilang kalau dia suka sama ... Siska." Tika memelankan suara saat menyebut nama sahabatnya itu, ada rasa ngilu di ulu hatinya. Di detik berikutnya Dewi tertawa lepas. Tika memandangnya dengan heran. Ada yang lucu dari ceritanya itu? "So-sorry Tik, gue kebawa suasana," ujar Dewi setelah tawanya reda. "Kemaren Tio cerita banyak ke gue. Bahkan dia kasih gue wejangan," kekehnya sambil mengusap air di sudut matanya "Tio bilang, jangan terlalu percaya sama omonganya Abim, karena nggak sampai 50% yang diceritain Abim itu bener." Tika menganglat kedua alisnya. "Enggak sampai 50%?" "Tio bilang, Abim sering bohong karena ... Ada yang gak bagus buat diceritain." Setelah itu hening, mereka menyadari satu hal yang sama. Mereka menarik kesimpulan yang sama, dan memikirkan dua buah kenyataan mengejutkan. Jika yang dikatan Tio adalah kebenaran, maka ... Apa yang tak Abim ceritakan karena tak ada yang baik di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD