TUJUH

1004 Words
Tika merutuki dirinya sendiri seraya bertanya, untuk apa ia datang ke SMA Awan, lagi? Bukankah seharusnya ia sudah selesai dengan yang namanya Abimanyu? Harusnya ia tak menginjakkan lagi kakinya di tempat terkutuk itu. Tika menyandarkan punggungnya ke kursi pengemudi. Menatap gerbang yang masih tertutup rapat. "Pelajaran masih belum selesai, kira-kira 15 sampai 20 menit lagi bel pulang." Begitu yang dikatakan pak satpam yang tengah berjaga, tadi. Tika merasa bosan, tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu. Perlahan Tika memejamkan matanya yang mulai terasa berat. ••• "Tika ...." Tika menegakkan tubuhnya. "Tika ...." Lagi-lagi suara itu memanggil dari belakangnya. Tika tak berani menoleh ataupun melirik spion. Ia mengenali suara yang memanggilnya, bahkan ia yakin kalau pemilik suara itu tengah duduk tepat di belakang kursi pengemudi. Tika bisa mendengar sedikit suara menggeram, merintih dan sauar-suara asing lainya. Tika merasakan sedikit hawa keberadaan tipis, namun mencekam. Tika tak bisa berkata apapun, lidahnya kelu dan tubuhnya beku. Keringat dingin bercucuran dari dahinya. Ada sesuatu di belakangnya, sayangnya bukan manusia yang bisa Tika hajar jika macam-macam. "Nggak! Itu bukan Siska." Tika menelan ludah susah payah. Suasananya semakin dingin mencekam, menyesakkan d**a. Seolah Tika merasa di alam lain, dunia lain yang seharusnya tak ia singgahi walau tak sengaja. "Tika ...." Bersamaan dengan suara lirih nan dalam itu, sebuah tangan putih pucat terulur dari belakang. Penuh luka dan penuh darah, bahkan Tika bisa mencium bau anyirnya. Tika tak bisa bernapas dengan benar. Perlahan, tangan itu mulai naik ke bahu dan meraih leher montok Tika. Jari-jemari pucat itu mulai mengerat, membuat Tika kesulitan bernapas. Tika berusaha menggerakkan tubuhnya, namun gagal. "Tik-" ••• Tok! Tok! Tok! Tika menarik napas kaget, ia terengah, lalu mengerjapkan matanya bingung. Menatap sekeliling dengan linglung. Setelah cukup lama Tika mengumpulkan kesadaran, ia menghembuskan napas lega. "Mimpi!" batinnya seraya menyeka peluh di dahinya, tubuhnya basah lantaran keringat yang membanjir. Tika kembali menyandarkan punggungnya, mencoba mengingat apa yang barusan terjadi padanya. Tok! Tok! Tika sedikit terkejut, ia baru ingat dan segera menurunkan kacanya saat suara ketukan itu kembali memecah lamunannya. "I-iya pak?" gugupnya pada seorang satpam yang membungkuk di depan pintu mobilnya. "Saya ingat, tadi kamu nunggu jam pulang, kan?" Tika mengangguk pelan. "Bel terakhir sudah bunyi sejak 10 menit yang lalu. Anak-anak sebagian juga sudah ada yang pulang dari tadi," terang pak satpam. "Takutnya kamu nggak ketemu sama temen kamu itu," sambung pria paruh baya itu. Tika mengangguk berterima kasih. Ia lalu segera turun dari mobil putih susunya dan melangkah masuk menuju parkiran yang tengah sepi. Ada beberapa perempuan yang menatapnya aneh, dan hal itu membuat Tika merasa amat risih dan jengkel. "Apa ini ulah Abim kemarin?" Entahlah .... Tika berhenti tak jauh dari kumpulan lelaki yang duduk di kursi panjang yang ada di area parkir. Ia menemukan seseorang yang ia cari, berada di kumpulan tiga cowok yang kelihatan nakal, duduk berjajar menghadap Abim dan membelakanginya. "Apa-apaan monyet jantan itu?!" gerutu Tika. Padahal jelas-jelas Abim melihat kedatanganya, tapi seolah ia tak melihat siapapun. "Emang, cewek yang kemaren tuh kayak setan!" Telinga Tika memanas mendengar penuturan salah satu dari tiga cowok itu. "Gila! tenaganya kayak cowok, belum lagi anak buahnya," timpal salah seorang sambil bergidik ngeri. "Ehm!" Tika berdehem agak keras, membuat ketiga cowok yang tengah membelakanginya menoleh ke belakang bersamaan. Ah! Tika ingat wajah-wajah di hadapannya ini, tiga orang yang mengganggunya kemarin di depan gerbang. "Eh, mbak ayu ...." ucap salah seorang dan langsung lari tunggang langgang, diikuti dua orang lainya. Abim tertawa lepas sembari memegangi perutnya. Satu hal, Tika baru menyadari kalau lengan kiri Abim penuh perban. Begitu pula tangan kanan dan jari-jarinya yang diplester, wjahnya pun tak jauh beda. "Mengenaskan!" Padahal, seingat Tika kemarin Abim baik-baik saja, tanpa lecet dan gores sedikitpun. "Hei, kaca mata," sapa Abim, Tika mengepalkan tangan kuat-kuat. "Sabar Tik, nggak boleh menyakiti orang yang udah tersakiti ...." "Ehm, ke-kenapa muka elo?" "Ini?" Abim menunjuk plester di pipinya. "Jatoh, tapi ini udah biasa, oke, nggak perlu panik." Tika memutar bola mata jengah mendengar jawaban asal dari Abim. Ia lalu mengedarkan pandang ke sekeliling parkiran yang sudah sepi. Bahkan motor gede milik Abim juga tak nampak. Abim menelan ludahnya seraya menggerutu frustasi dalam hati, "kaca mata nggak punya otak!" Ia heran, tak sadarkah Tika kalau seragamnya basah? seragam basah bukan hal baik untuk cewek seperti Tika. Rambut pendek sebahu, kulit putih mulus, mata sipit kayak Chinese, bibir mungil s*****l, wajah agak bulat dan juga ... Bentuk tubuh padat proposional, lekuk pinggang yang pas, dipadukan dengan b*******a yang ranum. Cukup besar, mungkin 35 atau 36B. Abim tak tahu, yang penting besar seperti pinggul dan pantatnya yang bulat. Abim tak bisa duduk dengan tenang, berkali-kali ia membenarkan posisi duduknya. "Motor elo ke mana?" Abim berdehem, berusaha menutupi kegelisahannya. "Rusak," jawabnya singkat dan menimbulkan satu pertanyaan di benak Tika. "Terus, elo pulangnya gimana?" Abim kembali menelan ludah susah. Ia tak ingin ketahuan sedang memperhatikan lekuk tubuh sintal Tika yang tercetak jelas. Abim bahkan tahu warna apa di dalamnya. "Biru- eh? em ... Ma-maksud gue ..." Abim menelan ludah untuk kesekian kalinya. "Gu-gue tadinya mau nebeng sama salah satu dari tiga orang tadi, tapi ya ... Makasih udah ngusir mereka," kekehnya. "Oh! Makasih, cuma gue doang yang liatin." "Tio ke mana?" tanya Tika penasaran. "Rumah sakit. Eh, lo nggak ngerasa ada yang aneh, gitu?" tanya Abim, ia merasa tak enak hati pada Tika, sudah memandangi tubuh indahnya gratis, walau nggak terlihat jelas. Tika memejamkan mata, lalu menggigit bibir bawahnya sambil berpikir keras. "Oh. Damn it!" Tika yang tanpa sadar telah menggodanya. Jangan salahkan Abim, Tika yang memulai. "Aneh sih, dari tadi banyak yang ngelirik gue, julid banget. Tapi itu kan gara-gara elo kemaren begok!" kesalnya. "Ya tuhan ... Kaca mata, ini sepenuhnya bukan salah gue." Abim mengeluarkan hoodie nya yang ia simpan di tas dengan agak susah, lalu menyodorkannya ke Tika dengan gemetaran. Tika mengernyit bingung pada tingkah Abim yang sok. "Ck! cepetan ambil. Keburu makin banyak yang liatin!" seru Abim sambil membuang muka. Tika memicingkan matanya, heran dengan maksud dari kata-kata Abim yang nggak jelas. Perlahan Tika menunduk mengamati apa ada yang aneh dengan pakaiannya. Di detik kemudian, ia membulatkan mata penuh. "Gu-gue keringetan!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD