DELAPAN

1684 Words
Hiks! Hiks! Tika masih belum berhenti sesenggukan, tangisannya sudah agak reda dibanding 25 menit yang lalu. Mereka—Abim dan Tika—kini tengah duduk di dalam mobil putih milik Tika. Abim mengemudi dengan santai sambil sesekali melirik Tika yang sedikit terisak, menundukkan kepala dengan bahu naik turun di balik hoodie abu-abu milik Abim. "Kesannya malah gue keliatan berengsek!" rutuknya sambil menghela napas kasar. "Lo nggak laper?" Abim menghentikan mobil yang dikemudikannya di depan sebuah warung lesehan yang mulai sepi. Terlihat beberapa pengunjung mulai keluar dari warung tersebut, bergegas pulang dengan bungkus plastik besar di tangan mereka. "Lo udah nangis hampir setengah jam!" ujar Abim mengingatkan, walaupun sebenarnya belum genap 30 menit Tika menangis. Abim mendengus kesal, ia benci situasi seperti ini, ia selalu kesal saat seorang perempuan menangis, karena ia terlihat seperti orang t***l yang tak tahu harus berbuat apa. Ia kebingungan, tak tahu bagaimana cara menenangkan seorang perempuan yang dirundung duka. "L-LO NGGAK TAHU PERASAAN GUE!" Tika kembali berderai air mata. Hancur sudah mukanya. Apapun yang terjadi, ia tak akan pernah lagi menginjakan kakinya di SMA Awan, ia bersumpah! Abim menggaruk pipinya yang panas, karena luka yang masih baru, ditambah tamparan keras dari Tika. Perutnya keroncongan meronta-ronta dan telinganya dipaksa mendengar isak tangis Tika yang entah kapan selesainya. Abim menempelkan dahinya ke kemudi, frustasi dengan kekacauan di hidupnya yang tak kunjung reda. °°° Abim mengerjapkan matanya berkali-kali, kemudian menegakkan badan setelah suara tangisan Tika sudah tak terdengar lagi. Berganti jeritan perutnya yang bersuara dengan tak sopan. Ia sampai ketiduran menunggui Tika yang menangis. "Udah?" Tika mengangguk, mengusap ujung mata dengan jari lentiknya. "Yuk turun, laper." Tika kembali mengangguk namun tak juga beranjak, ia malah diam dan terus bungkam, membuat Abim menggaruk kepalanya gatal. Mereka berdua turun dari mobil setelah jeda beberapa saat. "Tika?!" Spontan, Abim dan Tika menoleh bersamaan ke belakang mobil. Tika langsung balik badan, buru-buru mengusap wajahnya, berharap tak ada jejak air mata yang terlihat jelas. "Lo siapa?" tanya seorang cowok yang berdiri di samping cewek yang barusan memanggil Tika. "Abim," jawab Abim santai, lalu melempar senyum ramahnya. Tika perlahan menoleh. "E-Eka, Dion?" Tika bergegas mendekat pada dua temanya itu, bersikap seolah tak terjadi apa-apa. "Tika habis nangis?" batin Eka. Lalu, melirik pada cowok berseragam SMA bertuliskan "Awan" yang berada tepat di bawah name tag-nya. "Ka-kalian mau makan si-siang?" tanya Tika gugup. Eka dan Dion mengangguk bersamaan. "Barengan aja." Tika lekas menggandeng tangan Eka dan membawanya masuk ke dalam duluan, meninggalkan Abim dan Dion yang geleng-geleng kepala. "Bro, yuk masuk." Ajak Dion. Abim mengangguk dan mengekori Dion dengan was-was, feeling-nya tak enak. Ia merasa ada yang terus mengawasinya semenjak turun dari mobil. Dari kejauhan, seseorang pria berseragam SMA Bintang memperhatikan gerak-gerik Abim dengan degub jantung yang berpacu. Tanganya bergetar hebat, lalu orang itu segera menjauh dari tempatnya memantau dengan tangan mengepal kuat. °°° "jadi, lo dari SMA Awan?" Abim mengangguk mantap, dengan sesekali menyuapkan sendok ke mulut. Ia menatap Eka dan Dion bergantian. "Couple?" batinya betanya. "Terus, badan lo kenapa? Dikeroyok atau apa?" Eka bertanya penasaran. Siapakah sosok Abim ini, hingga membuat seorang Kartika Sari menangis. "Jatuh," jawab Tika cepat, mendahului Abim yang sudah pasti menjawab dengan asal. "Oh, jatuh ya?" Eka mengangguk-angguk, ia semakin penasaran. Sudah sejauh mana hubungan Tika dengan Abim. Apalagi hoodie abu-abu yang dikenakan Tika, ia berani bertaruh kalau itu bukan milik temanya. Mereka berempat-ralat! Mereka bertiga larut dalam pembicaraan, sedangkan Tika, kesadarannya entah pergi ke mana. "Kaca mata?" panggil Abim sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah kosong Tika. Eka menampik tangan Abim agak keras dan memelototinya, Abim mendecak sebal dibuatnya. " .... " gumam Tika lirih, Abim tersedak liurnya sendiri, Eka dan Dion saling pandang. "Ti-Tika?" panggil Eka khawatir, sembari mengguncang pelan tangan kiri Tika. "Eh! I-iya?" jawab Tika gelagapan. Tika memundurkan kepalanya karena merasa aneh, diperhatikan oleh tiga orang yang duduk semeja dengannya. Abim menghela napas lega. "Gue pikir kesambet." "Tik, Abim ngajakin balik tuh." Abim mengangkat alisnya tinggi-tinggi, ia tak percaya Eka dengan santainya berkata demikian. "Oh, gi-gitu. Yuk balik," ajak Tika langsung beranjak meninggalkan Abim yang masih diam tak percaya. "Kaca mata juga bisa kalem?" "Eh! Lo habis apain Tika, hah?" sungut Eka berapi-api. Dengan sigap, Dion segera menarik bahu pacarnya agar tidak kalap. Ia hanya kasihan pada Abim, jika Eka melayangkan satu atau dua tendangan pada cowok yang tengah cidera bahu, entah pulang dengan keadaan bagaimana lagi cowok itu. "Kok gue?" tanya Abim bingung, sambil menunjuk dirinya sendiri. "Gue tahu Tika habis nangis tadi, lo apain?" Abim bangkit dari duduknya, menatap angkuh pada Eka. Suasana mendadak berat, dan Dion benci itu. "Bukan urusan elo," ucapnya dingin. Eka membungkam mulutnya rapat-rapat, ia merasa bahwa yang berbicara tadi sudah bukan orang yang sama. Dion tak suka situasi ini, ia jelas tak suka pada sikap Abim barusan. Tapi, disatu sisi ia setuju dengan ucapan Abim. Abim berlalu tanpa menoleh ke belakang, menyusul Tika yang sudah duduk melamun di kursi sebelah pengemudi. "Nah, gitu Bim. Mending elo pergi," batin Dion lega. "Ih, lepasin!" Dion segera menarik kedua tanganya sebelum sang pacar melintir dan membantingnya. "Kok bisa sih Tika sampe segitunya?" Eka melipat tangan di depan d**a. "Sumpah, baru kali ini gue liat Tika jalan bareng cowok. Apalagi, tadi Tika habis nangis!" Dion kembali duduk. Memang, ia sempat melihat jejak air mata di pipi Tika, matanya juga terlihat sembab, pertanda kalau Tika menangis dalam durasi yang agak lama. "Dan lagi, ngapain Tika pakek hoodie nya tuh cowok?" kesal Eka. Dion memandang heran pada kekasihnya, darimana Eka tahu kalau hoodie tadi milik Abim. Dari ukuran kah? Tapi bukan itu yang harus Dion pertanyakan. Ia tadi sempat mendengar gumaman Tika yang lirih. Ia tahu, siapa yang Tika gumamkan tadi, tapi setiap kali Dion mendengar nama itu disebut, entah kenapa bulu kuduknya merinding. Ia merasa ngeri setiap kali mendengar beberapa cewek di sekolahnya tengah bergosip ria tentang si pemilik nama. Satu hal yang masih Dion pikirkan. "Ada yang aneh di sini ...." Ia merasa tak enak, entah apa itu. Ada yang tak beres, ada yang kurang dari pemikiranya. "Eh, Yank ...." Dion menoleh pelan ke Eka yang menarik sedikit lengan bajunya. "Apa?" tanya Dion penasaran saat mendapati raut panik Eka. "A-apa lagi ini?" batinya bertanya-tanya. "Eum ... Makanan mereka kayaknya belum dibayar deh." ~~~ "My home sweet home," ucap Abim malas, membuka pintu pelan dan mempersilahkan Tika masuk terlebih dahulu. Tika melangkahkan kakinya dan berhenti di depan sofa ruang tengah. Ia mengagumi rumah minimalis yang ditempati Abim. Rumah yang terlihat lebih nyaman daripada rumahnya yang besarnya keterlaluan. Hanya saja, banyak barang-barang yang kurang tertata rapi. Gelas dan piring berserakan di meja, beberapa sampah plastik di lantai, bersandingan dengan kain-kain lusuh, juga terdapat beberapa buku dan majalah berceceran di sofa. Tika menghampiri dinding coklat yang penuh dengan foto. Mengamati dan mengagumi wanita paruh baya yang masih terlihat menawan, menggendong seorang anak kecil yang tengah menangis. Bocah laki-laki yang terlihat menggemaskan di mata Tika. "Minum." Tika berbalik, mendapati segelas air berwarna orange di meja. Tika merapikan buku dan majalah. Lalu, menghempaskan tubuhnya yang terasa amat lelah ke sofa. Matanya terpejam sembari menyandarkan punggung. Abim tengah duduk di lantai di sebelah kaki Tika. "Beginikah sikap Abim di rumah?" Tika merasa heran. Seingatnya kemarin Abim juga memilih duduk di lantai daripada di kursi. "Bokap sama nyokap lo mana?" tanya Tika memecah keheningan. Sebenarnya ia merasa aneh melihat situasi rumah yang kacau balau. "Mati," jawab Abim tenang, bahkan sangat tenang. Tika jadi ragu akan kebenaranya. "Y-yang bener?" tanya Tika tak percaya. Abim masih menunduk, menatapi pesan yang baru saja masuk, entah dari siapa. "Iya," jawab Abim mengangkat dagunya." Kalau lo pengen tahu makamnya, gue bisa anter kok." Tika menggeleng, ia tak habis pikir dengan jawaban Abim. Apakah Abim tak merasa sedih atau kehilangan saat mengingat orang terkasih yang sudah tiada? Tika menoleh saat tiba-tiba pintu yang berada tak jauh darinya terbuka lebar, menampilkan sosok berseragam polisi yang cukup tampan, mengampit map biru di lengan kiri dan menenteng plastik hitam besar di tangannya yang lain. "Abim?" panggil pria itu heran. Abim masih tetap sibuk dengan layar pipih di tangannya, tak menghiraukan panggilan seorang petugas negara yang berjalan mendekat padanya. "Ck, apaan sih?" gerutu Abim tak peduli saat Tika mengguncang bahunya yang ngilu. "Abim pulang sama kamu?" Tika mengangguk kikuk sambil mengulas senyum termanisnya. Abim melirik sedikit. "Femininnya kumat!" cibir Abim. "Saya belum pernah lihat kamu sebelumnya." "Tika, em ... Kak." Tika mengulurkan tangannya, memperkenalkan diri. Pria itu menyambut uluran tangan Tika lembut. "Perkenalkan, saya Eno. Ayah Abim." Jedar! Tika menganga tak percaya, hatinya serasa hancur seketika, bak disambar petir. Sejenak, Abim menghentikan aktivitasnya dan menatap tajam Eno. "Tiri," sambung Eno lirih. Tika menghela napas lega. Rasanya mubazir sekali jika malaikat setampan Eno menjadi Ayah kandung Abim. "Saya ke dapur dulu, ya, kebetulan saya bawa makanan. Dan maaf, rumahnya terlalu berantakan." Tika mengangguk seanggun mungkin. Setelah punggung Eno menghilang ia melancarkan aksi yang sudah sejak tadi ia tahan. "AAA-ADUH. KACA MATA!" jerit Abim. Tika tanpa ampun menjewer telinganya, menariknya keatas dan makin keatas. "Ngapain sih? Kayak bocah banget kelakuan lo!" Abim mendumel mendengar omelan Tika, ia merasa selalu salah jika berada di sekitar gadis berkaca mata yang duduk di sebelahnya. "Apalagi sih Tik, ya ampun ...." Tika memelototi Abim dan berkata, "Ngapain sih lo diemin bokap elo? walaupun tiri, itu tetep bokap elo!" Tika menekan bahu Abim gemas. Tika mengeratkan hoodie yang dikenakannya, karena makin lama tubuhnya menggigil. "Maaf lama." Eno datang dengan pakaian santai yang memperjelas aura ketampanannya. Oh, rasanya Tika melayang mendapat senyuman menawan itu. "Saya perhatikan, dari tadi kamu kedinginan, saya buatkan teh jahe biar hangat." "Cakep, peka tinggi, berotot. Di mana lagi ada paket yang kayak gini?" Tika tersenyum kikuk. "I hate them all!" Abim memasang earphone pada kedua telinganya. Jangan sampai ia mendengar dialog drama romance yang sebentar lagi dimulai. °°° "Ayah tiri, heh?" tanya Abim pada Eno, tanpa berpaling dari hp nya, setelah Tika pamit ke kamar mandi. Tak menyia-nyiakan waktu, Abim segera bangkit dan menatap angkuh Eno yang tengah duduk. "Ikuti aja," ujar Eno datar. Abim masih bergeming, menatap dingin pada pria yang perlahan memasang evil smirk di hadapannya. "Ayam goreng sama sepagethi, fullday." "Deal!" sahut Abim singkat, lalu kembali duduk di lantai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD